USEP SAEPUROHMAN

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
JANGAN ADA KASTANISASI BIDANG STUDI

JANGAN ADA KASTANISASI BIDANG STUDI

Sampai saat ini, pelaksanaan pendidikan di sekolah kita terjebak pada paradigma sempit yang mengerdilkan kompetensi (kemampuan) yang dimiliki setiap siswa di sekolah. Ukuran kemampuan siswa yang dianggap baik, keren, berwibawa dan mendapat label siswa pintar adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan standar kompetensi pelajaran-pelajaran matematika, IPA, dan bahasa. Sedangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan standar kompetensi pelajaran-pelajaran olahraga, seni, dan IPS dianggap tidak baik, tidak keren, dan sama sekali tidak pernah mendapat label siswa pintar.

Akibatnya, terjadilah dikotomi terjal antar-mata pelajaran dan kastanisasi bidang studi. Kasta tertinggi miliknya matematika, IPA, dan bahasa, yang lainnya kasta kedua. Di SMA, siswa yang masuk jurusan IPA, biasanya mendapat label “siswa unggul” dan “pintar” dengan iming-iming masa depan cerah dan bahagia. Sedangkan mereka yang masuk jurusan IPS dianggap “siswa tidak unggul”, biasa-biasa dan siswa yang “madesu” alias “masa depan suram”. Bahkan kastanisasi ini pun terjadi pada gurunya, guru matematika dan IPA biasanya menganggap dan dianggap lebih keren, lebih berwibawa dan merasa lebih penting daripada guru-guru bidang studi yang lain. Kastanisasi ini menyebabkan persepsi bahwa pelajaran matematika dan IPA paling utama dan jauh lebih penting daripada pelajaran-pelajaran yang lain, sehingga beban jam belajar pun sangat kentara bedanya dengan pelajaran-pelajaran yang lain dan menjadi “pelajaran wajib” bagi setiap siswa di sekolah.

Kastanisasi bidang studi ini seolah sudah menjadi langgeng dan harga mati yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Ujungnya, setiap enam bulan sekali dan di ujung akhir tahun pelajaran, derajat seorang siswa ditentukan oleh deretan nilai yang tertera di raport. Raport inilah yang seolah menjadi “kitab suci” bagi siswa dan orang tuanya, isinya berupa nilai-nilai yang siap menghakimi dan memvonis naik/tidak naik atau lulus tidak lulusnya seorang siswa untuk melanjutkan pendidikannya ke level yang lebih tinggi.

Tidak hanya sampai di sini, ketika ujian akhir sekolah selesai dan kenaikan kelas menjelang, sekolah membanggakan diri dengan kegiatan seremonial yang bernama yudisium. Yudisium telah menjadi legitimasi aneka penghargaan kepada para siswa yang unggul dan berprestasi dalam pelajaran matematika dan IPA, sementara siswa yang unggul di bidang seni dan olahraga yang selalu mewakili sekolahnya dalam setiap lomba seni dan olahraga tidak diapresiasi sebagai juara kelas, bahkan mereka terancam tidak naik kelas karena nilai matematika dan IPA dibawah standar kelulusan.

Gambaran ini menjadi fakta bahwa para guru dan sekolah benar-benar tidak adil dalam menilai beragam kemampuan dan kecerdasan setiap siswa. Pendidikan di sekolah kita telah mebuat definisi yang tidak manusiawi tentang kemampuan dan kecerdasan. Kenyataannya, kemampuan siswa hanya dihargai dari sisi prestasi akademik (kognitif) semata, tanpa melihat dimensi kemampuan dalam diri siswa secara luas dan menyeluruh. Padahal sejatinya, kemampuan dan kecerdasan setiap siswa itu seluas samudra, tetapi kita para gurulah yang menyempitkan samudera itu menjadi selokan-selokan kecil yang terlihat mata.

Howard Gardner (1983) telah menyampaikan ragam kecerdasan setiap siswa; kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial-visual, kecerdasan kinestetis, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis dan kecerdasan eksistensialis. Sangat tidak adil jika ukuran prestasi siswa di sekolah hanya ditentukan oleh kecerdasan logis-matematis semata. Bahkan Gardner mengatakan, “salah besar apabila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah satu entitas atau besaran tunggal dan tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas.”

Masatoshi Koshiba, peraih penghargaan Nobel Fisika 2002, memperoleh nilai fisika sangat rendah dan mendapat “cap kehinaan” dari gurunya saat SMA. Begitu juga dengan kisah hidup Hellen Keller, Thomas Alva Edison, dan Albert Einstein yang dikisahkan pernah dicap sebagai “anak-anak bodoh” dan dianggap mengganggu guru dengan pertanyaan mereka yang dianggap tidak wajar dan aneh. Ada Shakespeare, Steven Spielberg, Mike Tyson, Chris John, Erwin Gutawa, Ahmad Dhani dan nama-nama besar lainnya yang telah membuktikan bahwa kesuksesan hidup mereka sama sekali tidak ditentukan oleh nilai matematika dan IPA atau sekedar nilai raport dan selembar ijazah.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita sadar bahwa sekolah bukan warung, bukan pabrik. Sekolah adalah institusi sumber daya manusia tingkat tinggi yang harus mampu memanusiakan manusia. Para siswa dengan kecerdasannya yang beragam harus mendapat penghargaan di bidangnya masing-masing, sehingga tidak ada lagi kastanisasi bidang studi yang menganggap tinggi derajat bidang studi yang satu dan merendahkan derajat bidang studi yang lain.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju Pak Usep. Kalau saya menyebutnya, sekolah bukan bengkel.

03 May
Balas



search

New Post