Usman Umar

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pendidikan Keluarga di Sekolah

Pendidikan Keluarga di Sekolah

Saya mendapat kesempatan menghadiri sebuah kegiatan bertajuk Bimbingan Tekhnis Penyelenggaraan Pendidikan Keluarga. Kegiatan itu diadakan di ibukota provinsi, dimediasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur.

Peserta terdiri dari ketua komite sekolah, kepala sekolah, dan pengawas sekolah yang bernaung di bawah pemerintah provinsi, yaitu SMA, SMK, dan SDLB. Saya kebetulan hadir mewakili kepala sekolah saya yang berhalangan.

Pada sesi pertama, fasilitator dari Jakarta memandu. Peserta diformat berkelompok dengan sistim acak agar peserta bisa saling mengenal. Maklum pesertanya cukup beragam. Ada perwakilan dari sekolah yang berlokasi di kota ada pula dari hulu. Kata hulu identik dengan hulu sungai yang juga bisa bermakna pelosok atau pedalaman.

Sebuah kesempatan berharga bisa berkenalan dan berbagi pengalaman dengan mereka, walaupun pada kenyataannya saya yang lebih banyak bertanya mengenai kisah-kisah unik mereka. Mulai dari perjuangan mereka mencapai lokasi pengabdian dengan mengarungi beberapa jeram maut hingga kemampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan dan budaya yang sama sekali baru.

Pada sesi itu, di kelompoknya, setiap anggota diminta menyampaikan isu-isu aktual terkait problematika remaja di daerah masing-masing. Lalu, setelah dielaborasi bersama, setiap kelompok merangkumnya menjadi satu kesatuan isu utama kelompok.

Pada sesi ini lah setiap peserta berbagi data dari hasil pengamatan dan pengalaman pibadi. Hampir semua anggota kelompok mengangkat ancaman narkoba dan fenomena anak sekolah mabuk lem sebagai isu paling krusial. Bagaimana tidak, mabuk lem salah satu bentuk penyimpangan prilaku yang bisa menjadi cikal bakal pecandu minuman keras dan narkoba. Padahal negara sudah dinyatakan dalam keadaan darurat narkoba.

Masih di kelompok yang sama. Juga mencuat isu pergaulan bebas remaja yang semakin masif, keluhan kecanduan gadget, dan temuan motivasi belajar siswa yang cenderung menurun. Bahkan ada yang mengungkapkan nasionalisme siswa yang memudar. Khususnya di perbatasan.

Lokasi sekolah yang berada di pedalaman mengharuskan guru dan kepala sekolah harus bekerja ekstra keras untuk memotivasi anak usia sekolah untuk mau masuk sekolah. Tak jarang mereka harus didatangi ke rumah-rumah yang lokasinya menyebar. Mengharapakan orang tua mereka yang mendorong anaknya sepertinya terkendala pola pikir.

Mereka pikir, sudah mendaftarkan anaknya sebagai siswa berarti tanggungjawab mendapampingi dan memotivasi diserahkan ke sekolah. Mereka merasa tanggungjawabnya hanya berusaha mencarikan nafkah untuk mendukung kehidupan keluarga mereka. Kalau anaknya sudah tidak mau sekolah, ladang sudah menunggu. Sesederhana itu cara berfikir mereka. Demikian keluhan salah satu perwakilan dari hulu.

Selanjutnya dia menambahkan bahwa tugas kepala sekolah dan guru semakin menantang ketika memasuki musim berladang. Orang tua kadang berhari-hari harus meninggalkan anak mereka untuk membuka ladang. Hal ini yang membuat anak mereka kehilangan perhatian. Mereka kadang datang ke sekolah kadang tidak. Belum lagi, di musim panen, anak-anak itu ikut orang tua mereka ke ladang. Sekolah pun jadi sepi.

Memperkokoh nasionalisme memang terus menjadi isu sentral di sekolah yang berada di dekat garis perbatasan. Tak jarang bila diperlakukan sedikit tegas dalam hal disiplin, siswa pun tak sungkan mengancam akan pindah negara. Guru kadang menjadi serba salah. Bagaimana pun juga guru tidak boleh menyerah. Pihak sekolah harus pandai-pandai melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan orang tua.

Setelah isu-isu terkait generasi mudah itu dipresentasikan oleh setiap kelompok, diskusi pun menjadi hangat. Peserta saling memberi saran dan gagasan mengatasi masalah. Ada beberapa sekolah yang ternyata juga pernah menghadapi masalah yang hampir serupa dan berhasil meminimalisasi.

Ternyata situasi kelas di atas sengaja diciptakan oleh instruktur untuk membawa peserta masuk kedalam kesadaran bahwa anak sekolah hari ini dihadapkan pada berbagai keadaan yang menuntut perhatian serius. Masalah yang dihadapi semakin kompleks sehingga penanganan harus menggunakan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi.

Komprehensif artinya permasalahan harus diatasi dari akar dan menyeluruh sedangkan terintegrasi artinya segala upaya mencegah atau menangkal hal yang mengancam masa depan anak harus dilakukan bersama-sama, terencana dan terukur. Istilah integratif dalam penyelenggaraan pendidikan keluarga lebih dikenal dengan istilah kemitraan. Pada poin ini lah pemerintah punya tanggungjawab menyediakan dasar hukum dan petunjuk tekhnisnya. Agar di samping semua pihak merasa terikat, bentuk hubungan juga semakin jelas dan terarah.

Ditekankan lagi oleh sang instruktur bahwa mengharapkan hanya kepada sekolah untuk mengatasi problematika siswa menjadi hal yang tak mungkin. Masalah siswa harus dipandang sebagai masalah bersama. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus merasa bertanggungjawab dan bekerjasama mengatasi penghambat perkembangan generasi penerus.

Memang diyakini bahwa pendidikan pertama dan utama ada di keluarga karena di keluarga lah anak mendapat sentuhan pertama. Sentuhan yang membentuk karakter anak. Seperti yang disampaikan para pakar bahwa 80 persen otak anak terbentuk di usia lima tahun ke bawah. Artinya karakter dasar anak sangat diwarnai oleh pola pengasuhan di rentang usia itu sebab di masa itu intensitas dan frekuensi interaksi dengan keluarga sangat tinggi.

Meskipun begitu, disadari bahwa tidak mungkin anak hanya selalu berada di lingkungan keluarga. Mereka juga harus disiapkan sebagai mahkluk sosial yang berinteraksi di sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Begitu pun terkait sekolah. Anak hanya menghabiskan beberapa jam di sekolah, selebihnya di masyarakat dan keluarga. Jadi, menyerahkan sepenuhnya pada sekolah untuk membentuk karakter anak juga tidak bijak.

Masalahnya adalah tidak semua orang tua memiliki pengetahuan yang sama seputar bagaimana menerapkan pola asuh terhadap anaknya. Bisa jadi karena orang tua memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Tidak bisa dipungkiri masih banyak orang tua yang belum memiliki pengetahuan memadai mengenai tumbuh kembang anak beserta pola asuh positif yang dibutuhkan.

Anak yang tidak mendapatkan pola asuh positif cenderung akan menunjukkan perilaku yang menyimpang dan menggangu. Perilaku itu mulai terlihat ketika anak sudah masuk lingkungan yang lebih luas seperti sekolah. Ketika ditangani, justru terkadang melahirkan kesalahpahaman antara pihak sekolah dan orang tua. Saling menyalahkan dan lempar tanggungjawab.

Berdasarkan kondisi tersebut, pendidikan keluarga berbasis sekolah diharapkan bisa ikut membantu meminimalisasi kesenjangan pemahaman dari semua unsur yang terlibat dalam dunia pendidikan anak, sehingga pada gilirannya anak akan mendapatkan pengasuhan positif baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Pengasuhan yang penuh kasih sayang, penghargaan, dan bebas dari kekerasan.

Untuk membangun kesepahaman dibutuhkan komunikasi yang intensif dan terprogram. Selama ini komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah hanya terjadi ketika anak baru masuk sekolah, dan ketika orang tua mendapat undangan karena anak bermasalah. Oleh karena itu, pembentukan wadah bersama dalam bentuk forum komunikasi atau apa pun namanya akan sangat bermanfaat.

Orang tua siswa dalam satu kelas yang sama bisa berhimpun dalam wadah komite kelas atau paguyuban kelas. Wadah ini menjadi tempat orang tua saling mengenal, berbagi pengetahuan, dan saling menginspirasi. Melalui wadah ini, para orang tua bisa ikut terlibat aktif memikirkan dan mengatasi faktor penghambat kelancaran pendidikan anak mereka. Melalui wadah ini pula, komunikasi orang tua dan sekolah melalui wali kelas bisa terbangun. Manfaat lainnya, anak-anak akan terpantau keberadaan dan kegiatan yang terkait sekolahnya. Pertemuan rutin bisa dilakukan di ruang kelas anak-anak mereka selain komunikasi berbasis social media group.

Pengurus paguyuban kelas ini yang selanjutnya menjalin komunikasi intensif dengan pengurus komite pada tingkat sekolah untuk menyelenggarakan program penguatan pemahaman merespon kendala-kendala yang dihadapi sekolah secara umum. Misalnya komite sekolah dan paguyuban menginisiasi kegiatan penguatan pemahaman pola asuh anak dalam bentuk kelas orang tua atau parenting class. Bisa juga kegiatan diarahkan ke siswa dalam bentuk kelas inspirasi atau inspiration class. Kedua program bisa saja menghadirkan salah satu orang tua untuk berbagi kisah dan pengalaman inspiratif.

Semua kegiatan bisa diselenggarakan di sekolah, dimana pihak sekolah berperan sebagai fasilitator. Peran ini juga menuntut perubahan pola manejemen sekolah yang semakin inklusif. Diperlukan pola hubungan terbuka yang memungkinkan orang tua ikut peduli dengan kondisi sekolah tempat anak-anak mereka belajar.

Besar harapan program penyelenggaraan pendidikan keluarga berbasis sekolah ini bisa berjalan sebagaimana mestinya sehingga segala keluhan terkait problematika yang melanda anak-anak sekolah bisa diatasi bersama.

Program ini sejatinya terkait dengan program penguatan pendididikan karakter yang dicanangkan presiden tahun 2017 lalu. Sehingga muara dari penyelenggaraan pendidikan keluarga adalah terciptanya generasi yang berkaraket kuat dalam hal religious, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan gotong royong. Karakter tersebut diharapkan terbangun kokoh melalui pembiasaan baik, tauladan, dan penegakan disiplin positif, yaitu disiplin yang bebas dari kekerasan fisik maupun mental.

Pendidikan merupakan jalan yang bisa mengantarkan generasi hari ini menaklukkan masa depan yang diyakini sangat kompleks. Oleh karena itu peran serta seluruh komponen dalam proses pengelolaannya menjadi sangat penting. Pendidikan keluarga berbasis sekolah menjadi salah satu ikhtiar untuk membangun kesadaran kolektif guna menghimpun rasa tanggungjawab bersama dalam menyiapkan generasi penerus bangsa dan negara. Semoga program tersebut bisa diselenggarakan dengan penuh kesadaran oleh semua pihak terkait.**

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menarik ceritanya pak

11 Aug
Balas

Terima kasih Bu apresiasinya

14 Aug



search

New Post