Mendidik Itu Seni
“Mendidik itu seni” kalimat ini tiba-tiba muncul dalam pemikiran setelah berbincang dengan istri seputar dinamika anak-anak yang terjadi di sekolah, strategi mengajar, dan perkembangan anak. Kami cukup sering berdiskusi terkait tema-tema ini ketika di rumah atau tempat lain di luar aktivitas sekolah. Berangkat dari hal ini, saya berkesimpulan bahwa seorang guru maupun orang tua yang memiliki tanggung jawab mendidik seorang anak harus memahami bahwa Mendidik itu Seni.
Saya coba paparkan beberapa pandangan saya terkait kesimpulan itu:
1. Dari sudut pandang seorang pendidik (guru)
Mendidik bukan hanya soal mentransfer pengetahuan, namun lebih kepada bagaimana menyentuh hati, memahami karakter, menjaga rasa ingin tahu murid, dan menemukan pendekatan yang paling tepat untuk setiap murid. Setiap murid adalah dunia yang unik—dengan latar belakang, cara berpikir, dan emosi yang berbeda sehingga tidak ada satu pendekatan yang cocok untuk semua. Begitu pun semisal hari ini guru merasa berhasil dengan strategi pembelajaran A, belum tentu di hari esok akan merasakan hal yang sama dengan strategi itu meskipun dengan murid yang sama. Di sinilah seni itu bekerja dalam kemampuan guru membaca situasi kelas, berimprovisasi saat pembelajaran tidak berjalan sesuai rencana, dan meramu strategi agar setiap anak merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Kondisi hati seorang guru sangat mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar di kelas dan hal itu tercermin dari ekspresi maupun gesture guru yang dimana murid-murid juga dapat melihat dan merasakannya dengan jelas. Oleh karena itu, guru jangan hanya jadi penyampai materi, melainkan dia juga perlu belajar menjadi layaknya seorang aktor. Dalam kondisi apapun, ketika pertunjukan sudah dimulai seorang aktor dituntut harus professional menunjukkan keterampilan dan keahlian terbaiknya.
Dalam analogi lain, guru juga layaknya seorang pelukis yang setiap harinya berhadapan dengan kanvas-kanvas kosong bernama murid. Setiap anak memiliki tekstur, warna dasar, dan potensi goresan yang berbeda. Seorang guru tidak bisa menggunakan kuas dan warna yang sama untuk setiap kanvas, karena hasilnya tidak akan memberikan kejenuhan dan kurang bermakna. Maka, ia harus peka membaca kebutuhan setiap murid—kapan harus menebalkan warna, kapan harus menyapukan garis dengan lembut, dan kapan harus memberi ruang kosong agar anak belajar mengisi sendiri.
Sebagaimana pelukis mengandalkan rasa, intuisi, dan pengalaman untuk menghasilkan karya yang bernilai, guru pun menggunakan kepekaan hati, kreativitas, dan kesabaran untuk membentuk pribadi yang tumbuh dengan utuh. Ia bukan sekadar mengejar hasil akhir, tetapi menikmati setiap proses pembentukan karakter dan kecerdasan muridnya—sebuah proses yang tak bisa diulang, namun abadi dalam ingatan.
2. Dari sudut pandang orang tua (guru di rumah)
Jika melihat dari sisi orang tua maka mendidik anak bukan sekadar memberi aturan atau menjejalkan nasihat semata. Ada seni dalam setiap interaksinya, seperti seni dalam menyampaikan nilai, seni mendengar dengan sepenuh jiwa, seni bersabar di tengah letihnya rutinitas, dan seni berkomunikasi yang tidak hanya menjangkau telinga, tapi juga menyentuh perasaan anak. Mendidik anak menuntut kehadiran yang utuh, jiwa dan raga yang hadir secara penuh, karena mendidik sejatinya bukan hanya soal apa yang dikatakan, tapi bagaimana kehadiran itu dirasakan dan bagaimana keteladanan itu dimainkan.
Mendidik anak bukan sekadar tugas teknis, tapi panggilan fitrah. Ia melibatkan intuisi, empati, dan konsistensi—tiga hal yang tidak bisa hanya dipelajari dari buku, seminar, atau konten parenting digital. Anak bukan objek didik yang bisa diberlakukan dengan rumus pasti seperti sains atau matematika. Mereka adalah jiwa-jiwa yang hidup, yang memiliki akal, rasa, dan kehendak, sebagaimana kita—orang tuanya. Maka, setiap anak adalah unik, setiap fase tumbuhnya adalah tantangan sekaligus anugerah, dan setiap proses mendidik menjadi perjalanan spiritual yang harus dijalani dengan niat lurus dan hati yang lapang.
Dalam Islam, orang tua memiliki peran penting sebagai pembimbing fitrah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, mendidik anak bukan hanya soal membentuk perilaku, tetapi tentang menuntunnya agar tetap berada dalam cahaya fitrahnya—dengan kasih sayang, keteladanan, dan doa yang tak putus.
Selain itu, anak adalah amanah mulia dan ladang pahala yang tak terhingga. Karena anak adalah titipan dari Allah, maka jangan sampai kita lalai untuk terus bergantung kepada-Nya—sang pemberi amanah. Dalam menjalankan peran sebagai pendidik di rumah, orang tua memerlukan bimbingan, kekuatan, dan kelapangan hati. Sebab, mendidik bukan hanya soal strategi dan metode, tetapi soal ketaatan dan ketundukan kepada Allah dalam menjaga titipan-Nya.
Seni mendidik tidak hanya tentang bagaimana anak menjadi "pintar" dalam arti akademik, tetapi tentang bagaimana ia tumbuh menjadi shaleh, berakhlak mulia, dan beradab dalam berpikir dan bertindak. Dalam Islam, adab mendahului ilmu—karena kecerdasan tanpa akhlak bisa menyesatkan, sedangkan akhlak yang baik akan membimbing ilmu menuju manfaat. Maka, kasih sayang menjadi dasar dari setiap nasihat, dan kelembutan menjadi alat dalam setiap koreksi. Sebab, anak-anak akan lebih mudah menyerap nilai ketika hatinya disentuh.
Setiap fase tumbuh kembang anak sejatinya adalah ujian sekaligus medan belajar bagi orang tua. Kita ditantang untuk terus menyesuaikan pendekatan, mengganti metode tanpa mengganti tujuan, serta menjaga komunikasi yang tulus dan terbuka. Maka, ketika orang tua mampu menyesuaikan gaya mendidik dengan fitrah, kebutuhan, dan keunikan setiap anak, sambil menanamkan nilai-nilai Islam secara lembut dan konsisten, di situlah tampak bahwa mendidik sejatinya adalah seni—seni yang penuh hikmah, cinta, dan keberkahan.
3. Sudut pandang murid
Dalam sudut pandang murid ini saya coba mengajak para pembaca untuk merefleksikan diri terutama bagi yang sekarang sudah memiliki anak. Kenapa? Karena kita pernah menjadi seorang murid, tentu dulu kita seorang anak yang sekarang kita sudah menjadi orang tua. Mari sejenak kita berfikir dulu mejadi seorang anak maupun murid.
Sebagaimana kita dulu pernah menjadi seorang murid tentu kita juga mengetahui dan merasakan bahwa guru yang "mengajar dengan hati" lebih mudah dipahami dan disukai. Bukan hanya di dalam kelas melainkan interaksi guru di luar kelas juga akan menjadi momen yang kadang tidak akan terlupa. Guru yang melibatkan hatinya dalam mendidik maupun mengajar, tidak hanya menjelaskan materi namun dia perhatian, memberikan motivasi, memberikan bantuan bahkan menjadi tempat untuk berkeluh kesah bagi murid-muridnya. Kita tentu sangat bersyukur dan bahagia jika ketika sekolah mendapati sosok guru seperti itu.
Begitu juga dengan orang tua. Ada masa-masa kita pernah merasa tidak dimengerti, merasa hanya disuruh ini dan itu. Kemudian jika tidak mengikuti, kebanyakan dari kita akan mendapat teriakan dan kemarahan orang tua. Namun ada momen-momen ketika orang tua kita duduk mendengarkan, bukan menghakimi. Ketika mereka mencoba memahami perasaan kita, meski mungkin tidak selalu setuju, kita merasa lebih terbuka, lebih ringan. Dan ternyata, itu sangat berpengaruh. Sehingga kita jadi lebih mudah mendengarkan mereka kembali, lebih percaya. Itu bukan hal besar secara teori, tapi sangat terasa di hati. Maka mendidik anak memang bukan hanya soal memberi aturan atau memberi tahu mana yang benar. Tapi soal hadir dengan hati yang terbuka, dan telinga yang siap mendengar.
Jika melihat ke belakang, kita bisa belajar bahwa cara guru dan orang tua memperlakukan kita adalah bagian dari seni dalam mendidik—seni yang tidak kaku, tidak bisa dibakukan, dan tidak cukup hanya dengan teori. Itu seni yang membutuhkan empati, kepekaan, dan cinta. Mungkin itulah sebabnya, pelajaran yang biasanya paling diingat bukan hanya yang berasal dari papan tulis, namun juga yang datang dari sikap, perhatian, dan cara mereka hadir dalam hidup kita.
…
Mendidik adalah seni yang hidup di ruang-ruang interaksi antara guru, orang tua, dan murid. Setiap peran membawa sentuhan, intuisi, dan cinta yang tak bisa digantikan oleh rumus kaku. Seorang guru mendidik dengan keteladanan dan hati, orang tua mendidik dengan kesabaran dan kasih sayang, dan seorang murid belajar bukan hanya dari apa yang diajarkan, tapi dari bagaimana ia diperlakukan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar