Uzlifah Rusydiana

Belajar dan terus belajar... ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tusukkan Satainya

Tusukkan Satainya

Tahap ketiga dari teori perkembangan kognitif Jean Piaget adalah operasional konkret. Tahap ini berlangsung dari usia tujuh hingga sebelas tahun. Dalam rentang usia tersebut, anak mampu memecahkan masalah secara logis dengan bantuan benda konkret. Mereka belum bisa berpikir secara abstrak. Jika dalam setiap pembelajaran guru berpijak pada teori ini, maka mereka akan senantiasa menghadirkan objek fisik dalam memahamkan materi kepada siswanya. Itulah pentingnya sebuah pembelajaran yang memperhatikan usia, karakteristik, dan kebutuhan siswa.

Pada pelajaran pendidikan Pancasila kelas 4 dengan tujuan pembelajaran (TP) Menyajikan berbagai bentuk keberagaman suku bangsa, sosial budaya yang ada di lingkungan sekitar, guru bisa menyajikan media bernama Satai Keragaman Budaya.

Sebelumnya, kelas dibagi menjadi lima kelompok. Dengan metode jigsaw, setiap siswa dari kelompok asal membentuk kelompok baru yang disebut kelompok ahli. Dan sekarang terbentuklah lima kelompok ahli yang masing-masing bernama pulau. Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Tiap kelompok tersebut harus membuat yel-yel bertemakan pulau sesuai nama kelompoknya. Bisa menggunakan aransemen lagu yang sudah populer atau menciptakan nada sendiri.

Bersama kelompok ahli, siswa menyiapkan alat dan bahan untuk membuat satai keragaman budaya. Di antaranya: kertas manila, styrofoam, kertas bufalo berbagai warna, lem atau double tape, gunting, cutter, dan tusuk satai.

Media yang pertama dibuat adalah lima pulau berbahan styrofoam yang ditempelkan pada kertas manila. Akan lebih bagus jika warna styrofoam yang dipilih adalah putih dan kertas manila berwarna merah. Dengan demikian akan tampak jika pulau-pulau tersebut berada di Indonesia. Untuk media ini hanya dibutuhkan satu untuk satu kelas. Caranya adalah membuat pola lima pulau, yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua; menempel pola pulau pada lembaran styrofoam dan memotong sesuai bentuknya; menempel styrofoam berbentuk pulau pada kertas manila.

Langkah kedua adalah membuat kartu keragaman budaya yang terdiri atas suku, bahasa, rumah adat, tarian daerah, lagu daerah, pakaian adat, alat musik tradisional, dan makanan tradisional. Media ini dibuat oleh masing-masing kelompok. Kelompok Jawa membuat kartu suku, bahasa, adat, tarian, lagu, pakaian, alat musik tradisional, dan makanan dari Pulau Jawa. Demikian juga kelompok pulau lainnya, mereka membuat kartu budaya sesuai nama kelompoknya.

Kartu budaya dicetak pada kertas bufalo dan dibuat rangkap dua. Karena kartu-kartu tersebut sudah disiapkan guru, siswa tinggal memotong dan menyatukan dua kartu yang sama menggunakan lem kertas atau double tape dengan arah berlawanan. Terakhir, menyelipkan tusuk satai di antara dua kartu. Jadilah satai keragaman budaya dan siap ditusukkan pada pulau yang sesuai. Satai yang sudah jadi dikumpulkan kepada guru untuk dimainkan bersama.

Setelah media selesai dibuat di kelompok ahli, siswa kembali ke kelompok asal. Mereka saling menjelaskan hasil diskusi dari kelompok ahli kepada temannya yang ada di kelompok asal. Dengan demikian, siswa memahami keragaman budaya yang ada di Indonesia. Tidak hanya dari satu daerah saja.

Permainan pun siap dimulai. Satu perwakilan setiap kelompok ke depan kelas. Masing-masing dari mereka diberi satai keragaman budaya oleh guru secara acak. Mereka harus menusukkan satai yang diperoleh pada pulau yang sesuai. Misalnya, siswa menerima satai Tari Zapin, maka siswa harus menusukkannya pada Pulau Kalimantan.

Guru memberikan bintang merah jika siswa mampu menusukkan satai pada pulau yang tepat. Untuk siswa yang masih salah, akan diberi kesempatan kembali untuk mencoba. Siswa lainnya menuliskan berbagai keragaman budaya di Indonesia dan asal daerahnya di bukunya masing-masing. Begitu seterusnya sampai semua siswa mendapatkan giliran untuk menusukkan satai pada pulau yang sesuai.

Pembelajaran di atas memeiliki beberapa manfaat di antaranya: mengembangkan hubungan antarsiswa melalui kolaborasi dalam kelompok, meningkatkan daya ingat dan motivasi belajar. Jika dihubungkan dengan dimensi profil pelajar Pancasila, terdapat empat dimensi yang terintegrasi, yaitu berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, dan kreatif.

Dengan keberagaman budaya, siswa didorong untuk saling menghargai dan mempelajari tidak hanya budayanya, tetapi juga budaya daerah lainnya. Hal ini merupakan wujud dimensi berkebinekaan global. Dimensi gotong royong ditunjukkan dengan adanya kerja sama dan saling peduli dengan anggota kelompoknya. Sikap mandiri tecermin ketika siswa dengan berani dan percaya diri maju mewakili kelompoknya untuk menusukkan satai. Kreativitas siswa juga terasah dengan kemampuannya membuat satai keragaman budaya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post