vania natassia

Sejak kecil saya senang sekali mengajar. Saya senang jika harus pergi ke tempat yang jauh untuk bertemu anak-anak di perbatasan. Dulu saya pernah mengajar di pe...

Selengkapnya
Navigasi Web
Aku Tak Sengaja Menangis

Aku Tak Sengaja Menangis

Aku Tak Sengaja Menangis

Keputusanku untuk menjadi guru ternyata goyah. Rupanya aku terlalu berbangga pada diriku tanpa tahu perjuangan yang sesungguhnya dibalik kehidupan di pedalaman.

Jujur aku takut jika harus selalu berada di pedalaman dengan segala kesederhanaan yang sebenarnya tidak ada apa-apa. Aku hanya bisa bercanda dengan pohon, bernyanyi bersama burung, menari bersama awan, bercerita kepada angin, dan menanti hujan yang menyentuh tubuhku kala dia datang perlahan. Aku suka aroma tanah saat hujan mulai turun. Ada kenangan dibalik aroma khas itu. Ya, aku selalu menantikannya walau kadang dia membuatku beku karena dinginnya.

Hari-hari yang aku lalui tanpa sadar membuat umurku bertambah. Dan sempat kecewa bahwa “hanya segini” yang telah aku capai. Lagi-lagi aku mengumpat. “Keluhanmu tidak berguna!” sentakku dalam hati. Seiring kalimat itu terlontar, otakku terus berputar mencari-cari alasan pembenaran keluhku.

Aku tidak tahu sejauh mana kesalahan langkahku, yang aku tahu di luar sana banyak orang yang selalu mendukungku. Lantas, alasan apa yang membuat mereka mendukungku? Hanya sekadar mendukung, atau karena mereka tidak ingin ditempatkan dipedalaman, sehingga mereka begitu bersorak gembira ketika tahu aku akan mengungsikan diriku ke sana, aling-aling sebagai tenaga kerja asing. “Ah sudahlah, rejeki tidak akan tertukar. Gusti mboten sare.”, jawab seseorang setengah suara, yang sebenarnya sudah mulai putus asa dengan program-progam manis ala pejabat itu.

Akhirnya tiba juga waktuku untuk diterjunkan di hutan sawit. Saat masih berada di dalam besi terbang, telingaku sakit, nyeri sekali. Aku tidak bisa mendengar apa-apa. Namun mataku tidak berhenti menatap istana awan putih tebal dengan strata perubahan warnanya. Senyumku mengembang, mataku berbinar dan tanganku berpegang kuat pada kursi saat aku menatap ke bawah. Warna hijau tua dedaunan sawit lebat membuatku tertantang. “Aku akan hidup di sana.” Kataku dalam hati.

Tanpa sadar ada air yang menggenangi kelopak bawah mataku kemudian terpecah oleh kedipan sedetik. Hancur sudah idealisku akan masa depan. Terkurung selama dua tahun di hutan sawit ini bersama para pekerja rantau yang jauh dari keluarga.

Sekali lagi aku tilik diriku. Kali ini aku tidak ingin membuat keputusanku menjadi guru adalah salah. Aku harus berjuang. Ya, aku harus berjuang. Berjuang bersama orang-orang yang tidak pernah diperjuangkan kehidupannya, orang-orang yang ingin merubah masa depan melalui pendidikan dengan membuka cakrawala wawasan, dan orang-orang yang tidak pernah takut kekurangan disetiap harinya karena persahabatan mereka dengan alam.

~female_fighter~

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Top banget

22 Aug
Balas

Makasih Pak Yudha :) Masih belajar saya Pak. Mohon bimbingannya.

22 Aug

"Hancur sudah idealisku akan masa depan" untuk bisa digunakan, sebongkah batu harus di pecahkan. hancur bukan berarti luluh...

22 Aug
Balas

Hancur ya rusak Pak, berbeda dengan luluh hehehe

22 Aug



search

New Post