CINTA ADALAH SUGESTI PALING MUJARAB (TAGUR-36)
Penulis : Bunda Nazwa Fairuz Zakiya
Menjadi seorang wanita karir sekaligus sebagai seorang ibu rumah tangga tanpa bantuan ART adalah perkara yang berat. Semua pekerjaan yang pokok di rumah harus telah selesai barulah kemudian saya berangkat ke sekolah yang merupakan tempat bekerja..
Dulu ketika episode corona tahap pertama, saya sempat dikarantina akibat hampir setiap hari pergi ke sekolah, sementara sebagian besar orang bekerja dengan cara WFH. Maklumlah saya saat itu masih menjabat sebagai wakil kepala sekolah dan waktu itu saya merasa bahwa bekerja di rumah kurang konsentrasi. Tentu saja akibat sering terganggu dengan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Kini ketika isu covid periode kedua dimulai, dimana varian omicron sedang merajalela, sayapun sepertinya harus waspada dengan berbagai gejala yang ada.
Beberapa hari lagi adalah waktu kunjungan yang keempat kalinya sepanjang anak saya belajar di pesantren.
Saya begitu menunggu-nunggu waktu penjengukan tersebut. Namun akibat kerja sebagai ibu rumah tangga yang lebih berat dari biasanya, ditambah saya harus mengajar 100% siswa secara tatap muka langsung, hal ini berpotensi saya terpapar virus covid untuk kali kedua.
Dua hari menjelang hari H penjengukan tersebut badan saya demam. Suami saya dengan cepat membawa saya ke dokter umum karena dia tahu betapa saya sangat rindu terhadap anak saya yang pertama itu.
Persyaratan penjengukan adalah semua pengunjung harus membuktikan hasil test negatif dari berbagai jenis hasil test covid yang disarankan.
Saya mulai sedih dan sempat berpikir mungkin kali ini suami saya harus berangkat sendirian atau mungkin dengan si bungsu Habibie. Tapi saya tidak tega jika Habibie yang masih kecil itu tidak didampingi oleh ibunya dan terbayang betapa sibuknya suami saya jika harus mengurus dua orang anak kami itu sendirian. Tidak, saya tidak ingin suami saya terlalu repot dan sakit akibat kelelahan.
Rasa cinta saya yang begitu besar untuk keluarga khususnya anak kami yang sedang di pondok pesantren, membakar semangat saya untuk sembuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Obat dokter segera saya minum, istirahat saya buat menjadi dua kali lipat dari biasanya.
Pekerjaan rumah tangga sudah tidak saya pedulikan lagi.
Hal yang terpenting adalah saya punya target harus sembuh dalam waktu kurang dari 2 hari.
Keringat membasahi seluruh badan ketika antibiotik dan obat penurun panas sudah saya konsumsi.
Saya tidak lagi peduli dengan mandi karena meskipun dengan air panas, rasanya badan ini menggigil jika terkena air.
Pagi itu saya masih juga demam meskipun sudah istirahat dengan skala dobel.
Suami memiliki inisiatif membelikan saya air kelapa hijau dan menyarankan agar saya minum air itu banyak-banyak.
Karena rasa cinta suami terhadap saya, dan rasa cinta saya kepada anak saya Nazwa, dorongan untuk sembuh semakin menyala-nyala. Diberikan saran minum apapun pasti saya terima. Asal jangan disuruh minum racun saja.
Saya tidak ingin hasil test berbunyi positif dan saya harus karantina lagi di RS untuk yang kedua kalinya.
Dengan kepala masih pusing akhirnya saya berangkat menuju RS untuk test. Suhu badan sudah mulai normal namun rasanya kepala ini mau pecah.
Setelah saya dan suami melakukan test, alhamdulilah dinyatakan negatif dan saya melihat betapa bahagianya hati suami saya siang itu, dia justru melihat hasil test saya lebih dulu.
Mungkin suami masih terbayang kejadian bulan Juni tahun 2021, di RS itu pula kami harus berpisah sementara waktu.
Suami boleh pulang ke rumah, sementara saya harus rela dikarantina sementara. Allah memang maha adil, jika kami berdua sama-sama dinyatakan positif, bagaimana dengan nasib kedua anak saya? sementara orang tua saya sakit-sakitan dan ibu mertua berada nan jauh di kampung sana.
Lagi-lagi karena rasa cintanya terhadap kondisi saya yang belum begitu pilih, suami akhirnya berinisiatif untuk memesankan penginapan di sekitar pondok pesantren agar saya bisa menambah waktu untuk beristirahat lebih lama.
Benar saja, setelah tambahan waktu beristirahat dan tambahan obat pengencer darah yang sering saya konsumsi, lambat laut pusing di kepala saya sudah mulai hilang.
Rasa demam juga sudah tidak ada akibat saya teratur mengkonsumsi antibiotik dan obat turun panas sejak hari pertama.
Sebetulnya dari berbagai usaha yang sudah saya lakukan, rasa cinta adalah obat yang paling mujarab dalam menyembuhkan saya dalam waktu 2 hari ini.
Rasa cinta kepada putri saya membakar semangat saya untuk segera sembuh. Jika sembuh maka saya dapat segera berjumpa dengannya, jika tetap sakit maka saya harus bertemu di bulan berikutnya.
Bukan hal yang ringan untuk memendam rindu terhadap orang yang kita cintai bukan?
Cinta juga melahirkan inisiatif-inisiatif baru dalam diri suami saya untuk membantu semaksimal mungkin orang yang dia cintai.
Ya, ternyata yang selama ini sering saya baca bahwa orang-orang dengan penyakit parah pun bisa bertahan hidup karena sugesti besar dalam diri mereka bahwa mereka harus bertahan demi orang-orang yang mereka cintai.
Semoga kekuatan cinta yang ada dalam diri saya untuk keluarga ini, dapat membantu untuk hidup lebih lama lagi.
Ditulis saat tiba di penginapan sekitar pondok pesantren, dari seorang ibu yang sangat rindu ingin bertemu dengan anaknya tercinta.
Bu Vera
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar