Verawati

Verawati, lahir di Bekasi pada tanggal 25 Desember 1977 adalah salah seorang guru Akuntansi di Kabupaten Bekasi yang tidak hanya aktif dalam membina murid-murid...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGENAL PENERBIT INDIE

MENGENAL PENERBIT INDIE

Resume Pertemuan ke-17

MENGENAL PENERBIT INDIE

Oleh: Verawati

“Guru yang hebat adalah guru yang berkarya dengan bukti menerbitkan buku”.

Dengan memberikan contoh langsung kepada anak didiknya, ada bukti buku guru yang telah terbit tersebut akan mendorong anak didiknya untuk berkarya dan ikut menerbitkan bukunya juga.

Itulah beberapa kalimat motivasi yang diberikan oleh narasumber tadi malam.

Tadi malam sudah memasuki pertemuan ke-17 belajar menulis dengan PGRI gelombang ke-27. Materi kali ini tentang bagaimana menerbitkan buku padapenerbit indie yang dibawakan oleh seorang pembicara bernama Mukminin, S.Pd, M.Pd.

Pada awal-awal pemaparannya beliau mengungkapkan beberapa quotes antara lain :

ü Bagi pemikir, buah fikirnya hanya akan bersemayam dalam fikiran jika tak diucapkan dan ditulis”.

ü Bagi pembicara, pembicaraannya hanya akan menguap lewat suara bila tak dituliskan”.

ü Bagi penulis ,tulisannya akan tersimpan dalam catatan jika tak dipublikasikan

ü Bagi penulis media, tulisnnya akan tertimpa materi tulisan lain jika tak dibukukan”.

Itulah beberapa petikan kalimat yang bertujuan untuk mendorong setiap orang untuk menuliskan segala apa yang ada dalam fikiran mereka. Namun masih ada satu lagi proses yang harus ditempuh ketika segala sesuatunya telah dituliskan yakni tahap untuk menerbitkan tulisan tersebut dalam sebuah buku.

Maka ada satu quote lagi yang beliau cambukkan untuk para penulis pemula seperti saya yaitu :

ü “Publikasikan dan bukukan apa yang sudah kau tulis,agar banyak orang yang dapat membacanya.

Intinya beliau mengajak untuk kita untuk mengabadikan dalam bentuk buku segala hasil buah pikiran yang telah kita buat dalam bentuk tulisan tersebut.

Bagaimana caranya menerbitkan buku?

Beliau mengatakan bahwa setelah mengikuti pelatihan 30 kali pertemuan bersama para narasumber hebat di PGRI maka beliau telah melahirkan buku sebuah buku resume yangg sekarang terjual laris manis berjudul "Jurus Jitu Menjadi Penulis Handal Bersama Pakar".

Beliau menulis buku tersebut dengan setulis hati dan hingga kini buku tersebut telah terjual 500 copy

Setelah mempromosikan bukunya, barulah beliau mulai menjelaskan apayang dimaksud dengan penerbit indie.

Pada zaman seperti sekarang ini, semua org bisa menulis dan menerbitkan buku. Baik sebagai pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dosen, maupun wiraswasta.

Menulis dan menerbitkan buku adalah perkara yang mudah, tidak serumit yg kita bayangkan. Apalagi sebagai seorang guru pasti kita bisa menulis baik fiksi maupun karya ilmiah.

Guru memiliki banyak kisah dan pengalaman inspiratif selama mereka mengajar. Pengalaman-pengalaman tersebut perlu kita tulis dan terbitkan buku agar kisah tersebut dapat bermanfaat bagi orang lain.

Memiliki kemampuan menulis tidaklah sim salabim. Kemampuan tersebut membutuhkan proses ketekunan dan perjuangan yang tinggi untuk terus berlatih dan berlatih lagi. Perjuangan tersebut haruslah dihiasi dengan sebuah motivasi yang tinggi dan tak tergoyahkan saat kita mulai berlatih menulis.

Ada beberapa kata-kata mutiara yang dapat memotivasi kita untuk selalu rajin dalam menulis, diantaranya :

"Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak". - Ali bin Abi Thalib

"Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis". - Imam Al-Ghazali

Setelah beliau memberikan motivasi, selanjutnya mulai dijelaskan bagaimana tahapan cara menulis dan menerbitkan buku yang tepat.

Bagi seseorang yang ingin bisa menulis dan menerbitkan buku, maka perlu memahami tahapan menerbitkan buku. Ada beberapa tahapan yg harus dilalui, antara lain:

1. Prawriting

a. Tahap awal penulis mencari ide apa yang akan ditulis dengan peka terhadap sekitar ( pay attention).

b. Penulis harus kreatif menangkap fenomena yg terjadi di sekitar untuk menjadi tulisan.

c. Penulis harus banyak membaca buku atau tu;isan-tulisan penulis lain yang lebih bermutu. Hal ini bertujuan untuk terus meningkatkan kualitas diri kita dalam membuat sebuah tulisan yang baik.

2. Drafting

Penulis mulai menulis naskah buku sesuai dengan apa yang disukainya ( passion). Boleh menulis artikel, cerpen, puisi, novel dan sebagainya dengan penuh kreatifitas dalam merangkai kata, menggunakan majas, dan berekpresi untuk menarik pembaca.

3. Revisi

Setelah naskah selesai maka yang harus kita lakukan adalah merevisi naskah. Merevisi tulisan mana yang memerlukan perbaikan di sana-sini.

Tahapan selanjutnya adalah publishing atau menerbitkan buku baik dipenerbit mayor ataupun di penerbit inide.

Perbedaan antara Penerbit Mayor dan Penerbit Indie

Dalam pemaparannya, narasumber menjelaskan bahwa perbedaan antara kedua penerbit tersebut antara lain dilihat dari :

Jumlah Cetakan di penerbit mayor.

# Penerbit mayor mencetak bukunya secara masal. Biasanya cetakan pertama sekitar 3000 eksemplar atau minimal 1000 eksemplar untuk dijual di toko-toko buku.

#Penerbit indie hanya mencetak buku apabila ada yang memesan atau cetak berkala yang dikenal dengan POD ( Print on Demand) yang umumnya didistribusikan melalui media online Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, WA grup dan lain-lain.

Setelah menjelaskan mengenai penerbit mayor dan penerbit indie, selanjutnya beliau memperkenalkan sebuah penerbit bernama “Kamila Press” yang berlokasi di kota Lamongan.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penulis jika ingin menerbitkan tulisannya pada “Kamila Press” yakni :

1. Mengirimkan naskah lengkap mulai judul, kata pengantar, daftar isi, naskahdaftar isi, daftar pustaka, biodata penulis dg fotonya dan Sinopsis.

2. Jika mengetik A5 ukurannya 14,8 x 21 cm, spasi 1,15 ukuran fon 11 dan margin kanan 2 cm, kiri 2 cm, atas 2 cm dan bawah 2 cm. Gunakan huruf

Arial, calibri atau Cambria dan masukkan dalam 1 file kirim ke WA sy atau email [email protected] atau bisajuga diemail kepada :

[email protected]

Fasilitas yang akan diperoleh jika akan menerbitkan buku di sini antara lain :

Dibuatkan cover buku, layout, Edit, sertifikat Penulis buku, PO buku. Dapat buku ISBN sesuai pesanan. Cetak 10 dapat 10 buku yg 2 buku ke PERPUSNAS tanggung jawab Kamila Press.

Karya yang hendak dicetak naskahnya agar dalam bentuk word dengan urutan sebagai berikut :

1. Judul

2. Kata pengantar

3. Daftar isi

4. Naskah sesuai urutan isi

5. Daftar pustaka jika ada

6. Sinopsis

7. Foto dan biodata penulis

Biaya-biaya yang terkait dengan penerbitan buku di Kamila Press:

✓ Biaya Cetak buku A5, kertas Bookpapar (coklat halus) atau HVS putih (termasuk biaya ISBN, Layuot, edit, cover buku, PO buku, sertifikat). Minimal cetak 10 buku mulai 1 SEPTEMBER 2022. Biaya cetak bervariasi mulai dari Rp. 645.000 untuk buku A5 yang terdiri dari 60 halaman hingga Rp. 915.000 untuk buku yang terdiri dari 250 halaman. Semua harga tersebut belum termasuk ongkos kirim.

Demikianlah informasi mengenai tahapan membuat tulisan dan bagaimana menerbitkannya di penerbit indie seperti “Kamila Press”.

Sebagai sebuah lembaga penerbitan, tentu isu terkait ISBN sangatlah krusial bagi “Kamila Press”. Di akhir pemaparannya, narasumber memberikan sebuah tulisan sebagai oleh-oleh setelah mengikuti rapat terkait dengan sulitnya memperoleh ISBN beberapa waktu yang lalu.

Tanpa membuat editing tulisan, berikut saya cuplik langsung tulisan terkait rapat tentang ISBN yang terjadi di PERPUSNAS (Perpusatkaan Nasional) yang telah diikuti oleh beliau.

Beberapa waktu kemarin ISBN sempat tertunda, ternyata Perpusnas RI sebagai agensi ISBN internasional di Indonesia mendapatkan teguran dari Badan ISBN internasional. Teguran diikuti dengan instruksi penundaan sementara pemberian ISBN dari Badan ISBN internasional yang berpusat di London, Inggris.

Mengapa hal tersebut terjadi?

· KETIDAKWAJARAN PRODUKSI BUKU INDONESIA

Produksi judul buku di Indonesia dianggap tidak wajar dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2020 saat pandemi mulai melanda, buku yang diberi ISBN mencapai 144.793 judul, sedangkan tahun 2021 mencapai 63.398 judul.

Perlu diketahui Indonesia mendapatkan nomor khas blok ISBN adalah 978-623 dengan jatah ISBN sebanyak 1 juta ISBN. Diperkirakan nomor itu akan habis dalam rentang waktu lebih dari 10 tahun.

Beberapa negara menghabiskan angka 1 juta itu lebih dari 15 tahun, bahkan 20 tahun.

Alokasi 1 juta nomor itu diberikan kepada Indonesia terakhir tahun 2018, tetapi tahun 2022 pemberian ISBN sudah membengkak lebih dari 50% mencapai 623.000 judul.

Bayangkan hanya tersisa 377.000 nomor lagi. Jika rata-rata Indonesia menerbitkan 67.340 judul buku per tahun (sebagaimana data Perpusnas RI, 2021), nomor itu akan tersisa sekira untuk enam tahun lagi.

Produksi judul buku yang sangat produktif ini memang seperti menyiratkan kemajuan literasi kita. Namun, sekali lagi jumlah besar itu tidak menyuratkan mutu buku. Jumlah besar itu juga berbanding terbalik dengan pendapatan penerbit yang pertumbuhannya terus menurun berdasarkan data Ikapi.

Sebagai fakta, di negara-negara maju saat pandemi Covid-19, penjualan buku (baik cetak maupun elektronik) meningkat gratis. Orang memborong buku untuk kegiatan di rumah. Namun, kondisi itu tidak terjadi di Indonesia. Penjualan buku terjun bebas nyaris ke titik nadir.

· PUBLIKASI YANG RELEVAN DIBERI ISBN

Lonjakan pengajuan ISBN tersebut ditengarai juga akibat banyaknya publikasi yang tidak patut diberi ISBN, dimintakan ISBN-nya, termasuk oleh lembaga negara. Di sini kita perlu mendefinisikan kembali apa yang disebut buku.

Tidak semua publikasi dalam bentuk buku relevan atau layakj diberi ISBN, apalagi publikasi yang bukan termasuk buku. Buku merupakan media massa dengan sifat publikasi tidak berkala (tidak secara periodik diterbitkan).

Buku yang relevan diberi ISBN adalah buku yang berada pada rantai pasok industri buku. Ciri ini dapat disederhanakan sebagai berikut.

1. Buku tersedia untuk publik secara luas dan dapat diakses, baik secara gratis maupun berbayar.

2. Buku diperjualbelikan dalam jumlah yang banyak. UNESCO pernah membuat batasan minimal 50 eksemplar.

Karena itu, ISBN relevan digunakan sebagai basis metadata untuk memperlancar rantai pasok penerbitan buku. Ia berguna di hilir industri buku untuk mengidentifikasi buku.

Publikasi dalam bentuk laporan tahunan, laporan kegiatan, dan publikasi lainnya yang bersifat selingkung (terbatas) serta tidak tersedia untuk diakses, apalagi tidak diperjualbelikan maka tidak relevan diberi ISBN.

Demikian pula buku-buku yang terbit sekadar menggugurkan kewajiban untuk penilaian angka kredit/kenaikan pangkat. Buku-buku itu sering kali dicetak hanya beberapa eksemplar. Tentu buku seperti ini tidak relevan diberi ISBN.

Mari insaf bersama untuk tidak meng-ISBN-kan semua publikasi dan tidak meng-ISBN-kan semua buku. Buku tidak ber-ISBN bukan berarti tidak sah sebagai buku.

· DI INDONESIA SEMUA DI-ISBN-KAN

Ada kecenderungan individu atau organisasi meng-ISBN-kan semua publikasi yang diterbitkan. Berikut ini contohnya.

1. Ringkasan kebijakan (policy brief) dibukukan dan di-ISBN-kan.

2. Laporan KKN mahasiswa di-ISBN-kan.

3. Laporan kegiatan di-ISBN-kan.

4. Skripsi, tesis, disertasi tanpa konversi di-ISBN-kan.

5. Orasi ilmiah di-ISBN-kan tanpa konversi.

6. Prosiding di-ISBN-kan tanpa melihat apakah seminarnya berkala atau tidak.

Beberapa sekolah membuat kegiatan literasi untuk siswanya. Siswa didorong menulis cerita atau puisi lalu dikumpulkan dalam bentuk antologi.

Buku antologi itu dicetak terbatas sejumlah siswa dan sisa beberapa eksemplar untuk dokumentasi sekolah. Buku semacam ini tidak relevan diberi ISBN. Toh, untuk apa ISBN itu bagi sekolah?

Demam ISBN ini tampaknya didorong oleh persepsi keliru bahwa buku yang ber-ISBN- lebih keren karena mendapat pengakuan internasional.

Buku ber-ISBN lebih afdol sebagai buku yang profesional. Buku ber-ISBN menunjukkan pemenuhan standar mutu. Padahal, tidak ada hubungan sama sekali.

Memang ada kebijakan mutu pemberian ISBN seperti dilakukan oleh Council of Europe. Lembaga ini memberlakukan kebijakan tentang pemberian ISBN untuk publikasinya. Mereka menetapkan buku ber-ISBN harus memenuhi standar mutu dari Council of Europe.

Demikian pula yang pernah diberlakukan oleh LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN) ketika ada peneliti yang meminta ISBN.

LIPI Press bukan pemberi ISBN. Jika buku hendak diterbitkan oleh LIPI Press atau menggunakan ISBN LIPI Press, buku harus memenuhi standar mutu LIPI Press.

Demam ISBN ini terutama melanda perguruan tinggi dengan membuat aturan publikasi harus ber-ISBN meskipun publikasi itu bersifat internal atau terbatas. Sungguh terlalu, tidak relevan.

Publikasi berupa bahan ajar berbentuk buku yang hanya digunakan terbatas di lingkungan kampus tersebut, apalagi memang tidak diperjualbelikan secara bebas, tidak relevan menggunakan ISBN.

· BEBERAPA SOLUSI

Diskusi ISBN ini menarik sebagai salah satu permasalahan publikasi di Indonesia yang kerap juga dikait-kaitkan dengan literasi.

Kini, Perpusnas RI masih "menahan" sekira 5.000 pengajuan ISBN. Penundaan ini dilakukan karena beberapa hal yang mencuat dalam diskusi.

Eksistensi penerbit memang dipertanyakan. Apakah yang mengajukan ini benar-benar penerbit atau bukan?

Salah satu jalan yang sedang disiapkan oleh Pusat Perbukuan adalah akreditasi penerbit.

Ini mungkin solusi ke depan bagi Perpusnas untuk menyeleksi penerbit pengaju ISBN hanya penerbit yang terakreditasi.

Salah satu sifat manusia Indonesia itu memang kreatif. Syarat sebuah penerbit, seperti menjadi anggota asosiasi dan melampirkan legalitas usaha, mudah untuk diakali.

Namun, sebenarnya sang penerbit sama sekali tidak punya roh sebagai penerbit buku. Ini banyak terjadi.

Jika dikaitkan dengan mutu dan profesionalitas, muncul gagasan apakah perlu pengaju ISBN dari sisi penulis dan editor menyertakan sertifikat kompetensi? Ini masih sebatas wacana dan salah satu cara menyeleksi pengaju ISBN.

· PENGINSAFAN MASSAL

Penginsafan massal memang diperlukan bukan hanya soal ISBN, melainkan juga soal lain sebagai fundamental penerbitan buku. Kalau kata Kang Arys Hilman, Ketum Ikapi, saya ini ibarat penjaga hulu penerbitan.

Hulu penerbitan itu seperti ISBN ini dan persoalan mutu buku, termasuk yang tampak "remeh temeh" seperti anatomi buku. Pak BT memang sibut mengurusi perbedaan 'kata pengantar' dan 'prakata'. Biarlah hulu ini ada yang memikirkannya.

Banyak hari-hari saya kini dihabiskan untuk menyusun regulasi dan pedoman di Pusat Perbukuan, pun di Badan Bahasa. Lalu, kini saya sedikit terlibat di Perpusnas.

Betul bahwa persoalan di hilir juga penting yakni bagaimana buku terjual dan penerbit dapat memperpanjang napasnya. Saya memaklumi "shifting" yang dilakukan penerbit pada saat disrupsi.

Pendapatan penerbit tradisonal utama adalah dari penjualan buku, termasuk penjualan dalam proyek pemerintah.

Begitu terjadi disrupsi, penerbit mulai beralih pada penjualan konten (di luar buku). Lalu, terjadi lagi disrupsi, penerbit beralih pada model bisnis jasa penerbitan (penerbitan berbayar alias vanity publishing).

Hari-hari saya sekira satu dekade lalu banyak dihabiskan di hilir penerbitan. Saya merasakan aura dinamis penjualan dan pameran buku sejak tahun 1990-an. Berjibaku dengan arus kas penerbitan, berjibaku dengan gagasan penerbitan, dan berjibaku dengan aktivitas pemasaran buku telah membentuk pengalaman kukuh tentang penerbitan buku.

Sekali-sekali saya merasa bangga dapat melahirkan buku-buku yang layak dilabeli best seller nasional. Buku The True Power of Water, Setengah Isi Setengah Kosong, Api Sejarah merupakan beberapa buku yang lekat dalam ingatan saya. Namun, hari-hari itu kini saya tinggalkan.

Ilmu ini tidak dapat diperoleh di pendidikan formal. Ilmu ini lebih banyak berupa 'tacit knowledge' yang justru jarang dituliskan di buku-buku. Penelitian terhadap penerbitan buku sendiri sangat minim di Indonesia dari berbagai disiplin ilmu.

Mengapa saya masih bertahan mengajar di Polimedia meskipun tertatih-tatih mengatur waktu? Bahkan, bersua dengan sebagian besar mahasiswa culun yang juga masih bingung mengapa mereka masuk Prodi Penerbitan.

Jawabannya karena lewat mengajar paling tidak saya dapat menurunkan ilmu kanuragan penerbitan ke 1-2 orang mahasiswa. Mengajar membuat saya belajar lagi.

Saya insaf, dunia saya kini memang ada di hulu penerbitan buku di sisa usia yang insyaallah masih dapat berkontribusi. Jadi, mari insaf berjemaah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ulasannya keren

29 Sep
Balas

hatur nuhun bu risma...

01 Oct

Keren ulasannya bunda, insyaf berjamaah

29 Sep
Balas

terima kasih banyak ya bu sofi

01 Oct



search

New Post