Verawati

Verawati, lahir di Bekasi pada tanggal 25 Desember 1977 adalah salah seorang guru Akuntansi di Kabupaten Bekasi yang tidak hanya aktif dalam membina murid-murid...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menghapus Image Siswa SMK (Tagur -83)

Menghapus Image Siswa SMK (Tagur -83)

Menghapus Image Siswa SMK tergolong miskin dan kurang cerdas dibanding siswa SMA

Sebuah image merupakan suatu kesan umum yang sudah tertanam bertahun tahun. Image bahwa sekolah SMA lebih unggul kualitas siswanya dibandingkan dengan siswa SMK juga sudah lama tertanam, meskipun belum ada penelitian yang secara empiris membandingkan siswa SMK dengn siswa SMA.

Kualitas siswa tidak terlepas dari latar belakang pendidikan orang tua dan orientasi orang tua terhadap pendidikan anaknya. Tak jarang kita baca informasi lulusan terbaik sebuah Perguruan Tinggi Negeri orang tuanya hanya tukang becak atau penjual sayur. Sebaliknya, banyak juga anak dari manajer atau orang yangberhasil tidak mampu membuat anaknya cemerlang. Sekali lagi, ini juga perlu penelitian yang lebih spesifik dam terarah. Tulisan ini hanya akan membahas image siswa SMK terhadap mereka sendiri dan mengkomparasikan dengan siswa SMA berdasarkan pengamatan  mereka. Ini sangat subyektif. Tapi, minimal dapat menjadi gambaran bagaimana kualitas siswa SMK pada sisi faktualnya.  

Pada acara terima raport semester , bagi orang tua siswa merupakan momen yang sangat ditunggu tunggu. Orang tua ingin tahu perkembangan belajar anaknya selama satu semester. Penulis yang pengajar SMK suka bertanya pada guru yang mengajar di SMA, bagaimana respon orang tua atas undangan laporan semester atau raport. Jawabannya Alhamdulillah masih antusias. Tapi ketika ditanya balik, penulis hanya bisa menjawab Biasa, seperti tahun lalu, sebagian berhalangan. 

Antusiasme yang berbeda tentu tidak bisa disimpulkan untuk semua sekolah. Keengganan orang tua SMK untukmengambil raport anaknya banyak alasannya. Tapi pertanyaannya, untuk mengetahui perkembangan belajar anak selama enam bulan dengan datang ke sekolah satu hari pun tak mau, berarti sudah tidak peduli ? Atau tingkat kesibukan yang luar biasa sehingga tidak cukup waktu untuk mengambil raport ? Atau ngga enak karena tidak punya  uang sebagai ucapan terima kasih ? 

Karena ini terjadi tiap tahun, penulis akhirnya membuat kesimpulan sendiri. Rendahnya perhatian orang tua terkait erat dengan orientasi orang tua pada kelanjutan pendidikan anaknya. Orang tua memasukkan siswa berharap dapat langsung kerja setelah lulus dari SMK. Sementara itu orang tua yang memasukkan anaknya ke SMA cenderung untuk melanjutkan ke bangku kuliah. Nah, jadi apa yang salah disini. Bukankah untuk kerja juga perlu skill dan perlu bersaing. Mungkin orang tua siswa SMK berfikir, kalau sudah dapat ijazah SMK nanti gampang cari kerja. Kan syarat minimal kerja ijazah SMA/SMK. Jadi ngga perlu pinter yang penting dapat ijazah. Dari sisi kebijakan pemerintah juga secara tidak langsung “memaksa” sekolah untuk meluluskan semua siswa, berapapun capaian kompetensinya. Jadi klop sudah. Semua lulus, siswa senang, orang tua senang, sekolah selamat di mata pemerintah, dan terakhir, guru cuma bisa mengelus dada. Clear bukan. 

Kembali ke tema awal, image siswa SMK anak miskin dan kurang cerdas makin mendarah daging di tengah masyarakat. Penulis pernah berdebat dengan kabag Akunting sebuah perusahaan yang menganggap lulusan SMK cuma bisa nge jurnal saja di PT. Setelah perdebatan panjang, akhirnya disepakati untuk melakukan test case dengan melakukan test seleksi lulusan SMK di PT tersebut. Hasilnya, secara objektif kabag Akunting mengakui siswa SMK ada yang unggul dan diterima kerja di PT tersebut. Coba bayangkan bila lulusan SMK yang ikut test lulusan yang apa adanya. Pasti akan terpental dari seleksi dan makin mengkristalkan image siswa SMK miskin dan kurang cerdas. 

Kesimpulan tulisan ini, yang membuat image lulusan SMK itu dari golongan miskin dan kurang cerdas adalah ekses kebijakan dan tidak perhatiannya orang tua pada anaknya. Guru juga ikut ambil peran di dalamnya. Tugas guru dalam UU guru dan dosen bukan hanya mengajar,tapi juga mendidik dan membimbing siswa. Idealnya, peran kolaboratif guru, seklolah, orangtua, dan pemangku kebijakan akan dapat mengikis sedikit demi sedikit image tersebut. Wallahu A’lam bisshowab. 

 

Bekasi, 24 Maret 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terimakasih Bu Risma..

25 Mar
Balas

Ulasan yang luar biasa keren

24 Mar
Balas



search

New Post