Cerita Semalam untuk Sahabatku
Guru, profesi yang dulu konon tak dilirik orang2, sekarang menjadi hal yang di banggakan dan disorot tajam oleh masyarakat. Awalnya tak terlintas, aku akan masuk dalam bagian profesi itu. Tak terbayang pula bakal meraih cita_cita yg aku idamkan. Perjuangan ini berawal ketika Aku seorang gadis desa, dari orang tua yang penghasilannya hanya cukup untuk makan, dan tak sanggup memikirkan masa depan. Sejak kecil aku telah dididik menjadi anak mandiri. Untuk membeli sepatu yang ku inginkan, aku harus berbeda dengan teman2 yang hanya meminta pada orang tua mereka. Aku di ajarkan oleh orang tuaku, untuk menabung sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahku sendiri. Yah, menjadi buruh mengupas belinjo yang upahnya di hitung per kilo, aku bisa mendapat sepatu impianku. Orang tua ku sungguh hebat dalam mendidikku. Mereka mengajarkanku segala hal tentang pahitnya kehidupan. Rasa Tanggung jawab telah mereka tanamkan pada aku dan adik ku sejak dini. Melihat kondisi orang tua yang penghasilannya hanya cukup untuk makan, aku tak berani menggantungkan asa ku setinggi langit seperti yang di ajarkan Bapak/Ibu guruku. Berdoa Allah mengubah kondisi keluargaku itu lah yang selalu ku beranikan. Higga suatu waktu, tiba waktuku lulus dari SMA faforit di kotaku. Semua orang memastikan anak2 tamatan SMA ku pasti akan melanjutkan dan diterima di perguruan tinggi favorit. Namun beda jauh denganku. Tak terbesit sedikitpun dalam hatiku untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yg lebih tinggi karena kondisi ekonomi keluargaku.
Suatu sore, aku bertemu orang yang katanya saudara orang tuaku, tapi entah saudara dari mana. Ia seorang yang selalu membimbingku sejak aku besekolah di SD. Kalo boleh dikata,dia Pak dhe ku. Beliau memotivasiku untuk mencoba mengikuti tes masuk di perguruan negeri yang kampusnya berada di kota ini. Dia memberikan uang untuk ku mencoba mendaftar di perguruan tinggi yang beliau maksud. " Ada info pemnerimaan mahasiswa baru , besok kamu coba daftar ya!". Ia menguatkanku dengan motivasi yang begitu manis tentang masa depanku. Awalnya aku pun ragu. Pulang ke rumah, ku ceritakan apa yang dikatakan pak dhe kepada orang tuaku, ku tegaskan aku hanya ingin mencari pengalaman cara mendaftar di perguruan tinggi dengan dalih agar orang tuaku tak marah padaku. Saat mendaftar mereka terlihat berat hati mengizinkanku. Terbukti dengan perkataan mereka" Kamu boleh ndaftar, tapi seandainya di terima kita tidak siap membiayai".Perkataan itu sedikit menyurutkan semangatku. Namun kutepis, karena dalam hatiku, mendaftar itu hanya untuk mencari pengalaman. Semangat ku terbagi, antara iya dan tidak untuk terus maju mengikuti seleksi di sekolah itu. Tahap demi tahap tes masuk perguruan tinggi itu terlalui. Seorang yang selalu mendampingi dan mensuportku adalah ayah dari anak2 ku. Dia begitu sabar berkorban untukku.
Suatu hari waktu pengumuman penerimaan tiba, dengan jelas namaku terpampang nomor lima pada kertas hasil fax di sana. "Alhamdulillah"ucapan syukurku disertai kebahagian hatiku karena aku berhasil di terima di sekolah itu. Perjalanan pulang bersama orang yg kucintai menjadi lebih terasa cepat karena bahagiaku. Sebelum maghrib tiba, aku mencoba memberitahu kabar bahagia karena aku diterima kepada orang tuaku, sangat berbeda dengan orang tua pada umumnya, jangankan ditanyakan kepadaku bagaimana hasilnya, ketika aku kabarkan hal bahagia ini mereka langsung menjawab" Kami tak bisa membiayai sekolahmu ke tingkat yang lebih tinggi, Nak,berapapun biayanya"jawaban itu sudah ku duga. Tapi entah mengapa, tak kuasa aku membendung air mata keputusasaanku, aku sungguh kecewa, namun itu lah yg harus ku alami. Sampai akhirnya, aku memberitahukan kabar ini,kepada Pak Dhe ku. Motivasi hebat keluar dari beliau,"Selamat ya!". Air mata ini berderai, antara semangat dan tidak, berjuang demi masa depanku atau menurut keadaan orang tuaku. Aku pulang masih dengan air mata di pipi memikirkan apa yg harus ku lakukan. Di rumah orang tua ku terlihat cuek saja, seolah tak ingin berpikir tentangku. Tiba2 seseorang mengetuk pintu dan salam. Aku masih merasa enggan keluar dari kamarku, seolah meratapi nasib. Beberapa saat aku mendengar orang tuaku sedang mengobrol bersama seseorang yang suaranya tak asing lagi, ia pak dhe ku. Rupanya tanpa aku sadari, mereka sedang membicarakan tentangku. Intinya orang tuaku tetap tak bersedia membiayai kuliahku mereka merasa tak mampu, mereka menyalahkan aku kenapa harus mendaftar, toh dulu mereka mengizinkan karena alasanku hanya mencari pengalaman saja. "Ayah, Ibu maafkan anak mu, aku membebanimu, aku egois", bisikku dalam hati. Obrolan berlangsung lama, orang tuaku pun bersikukuh dengan pendapatnya. Akhirnya terakhir kali, Pak Dhe ku berkata" Paman, Bibi, kalo memang paman dan bibi sudah tidak mau berjuang lagi untk membiayai anak ini, maka ku mohon agar Paman dan Bibi mengizinkan agar Anita tinggal di rumahku, membantu Bu dhe di rumah, akan ku biayai sekolahnya, dengan catatan besok jika dia menjadi orang, Paman/Bibi tak boleh mengaku". Di dalam bilik tak kuasa aku menahan tangis, antara rasa egoisku dan empatiku pada kedua orang tuaku. "Ayah, ibu maafkan anakmu". Nampaknya ayah ibuku mulai berpikir apa yg dikatakan Pak Dhe ku. Beberapa saat mereka terdiam. Mungkin berpikir apa yang harus mereka perbuat.
Tak kusangka tak kuduga, setelah beberapa saat Pak Dhe ku berlalu, orang tuaku bertanya kepadaku" Berapa biaya yang harus awal dibayarkan untuk registrasi?". Aku pun bingung, apa ini artinya mereka mengizinkanku untuk melanjutkan kuliah. Ku buku secarik kertas, ku bacakan biaya yg harus ku bayar untuk registrasiku. Lima ratus limapuluh ribu total biayanya". Mereka menggelengkan kepala, terlihat tak sanggup. "Bapak tak punya uang sebanyak itu, trs bagaimana kamu membayar??". Terlihat air mata menetes dari kelopak mata ibuku. Andai engkau tau ayah, ibu. Aku pun tak ingin membebanimu, tapi aku juga harus berjuang demi masa depan.
Allah mengabulkan doaku, ditengah kebingungan biaya yang harus ku bayar, rizki dari Maha Pencipta tak tertukar. Terbayar sudah biaya registrasiku. Pesan orang tuaku" Sing temen le sekolah nduk, bapak/ibu berjuang untukmu". Itu motivasiku, aku harus berjuang, aku harus berhasil. Berguru pada teman, dan seniorku, sosok Widi Riani menginspirasiku. Awalnya banyak tetangga yang dalam bahasa jawanya ngekili kemampuan orang tuaku membiayai kuliahku, apa bisa sampai selesai. Ejekan orang kuliah di jurusan pendidikan yang hanya 2 tahun itu, beragam, karena temanku yang berasal dari keluarga berada memilih jurusan favorit di perguruan tinggi ternama di negeri ini. Dengan semua itu, tak menyurutkan semangatku. Aku hanya ingat pesan orang tuaku, aku tak ingin mengecewakan mereka, aku ingin berhasil dalam hidup.
Terima kasih ayah, terima kasih Ibu kalian hebat, kalian berjuang keras menuruti egoku . Tak dapat aku membalas jasamu, tak ada hadiah yang senilai dengan perjuanganmu. Hanya doa di penghujung shalatku yang selalu ku hadiahkan untukmu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Oh tidakkk..aku menjerit ketakutan...tulisanmu indah kawan..sempurna..
Good..keren ceritane
Good..keren ceritane
Hurung rampung ceritane jeng...he...he....
Bagus sekali mba... Ada bakat yang terpendam..Ayo munculkan...!
Bakatnya terlalu dalam terpendam iya bu imti...hingga sulit di gali lagi...ha...ha....