Surat Edaran Penggunaan Kerudung Menuai Heboh!
Sekolah tempat saya mengajar adalah sebuah SD negeri dengan 20 personil. 20 orang ini mencakup guru dan tenaga teknis. Untuk ukuran sebuah SD negeri di pinggir desa, jumlah personil di SD saya bisa dibilang cukup banyak. Hal ini disebabkan SD tempat saya megajar adalah SD paralel yang memiliki 12 rombel.
Personil di sekolah saya terdiri dari 15 perempuan dan 5 laki-laki. Perbandingan perempuan banding laki-laki mencapai 3:1. Karena secara harfiah perempuan itu lebih banyak berargumen daripada laki-laki, tentu bisa anda bayangkan bagaimana ramainya sekolah saya jika sedang rapat membahas suatu acara di sekolah.
Setiap tahun ada sebuah event lomba tingkat kecamatan yang diadakan di sekolah saya. Tentu sebagai tuan rumah, sekolah kami akan mengadakan rapat untuk membahas event itu. Bagaimana persiapan siswa yang mewakili lomba, bagaimana persiapan ruangan dan kebersihan sekolah, bagaimana persiapan konsumsi dan sebagainya. Setelah semua hal penting itu dibahas tuntas, pada akhir rapat salah satu dari kami akan mengajukan suatu pertanyaan pamungkas.
“Kita pakai seragam apa untuk acara tersebut?”
Nah…kalau pertanyaan ini sudah muncul, 15 perempuan ini menjadi sangat menakutkan. Entah mengapa jika sudah membicarakan batik seragam, sekolah saya menjadi heboh setengah mati. Banyak argumen bermunculan. Ada yang usul memakai batik merah, kuning, hijau, atau biru. Setelah semua pilihan diajukan dan dipilh salah satu jenis batik yang akan dipakai, ternyata penderitaan tidak berhenti sampai di situ. Anggap saja batik warna biru yang terpilih. Maka muncul suatu pertanyaan lagi.
“Ehm…kerudungnya pakai warna apa?”
Hiyah…. Kehebohan muncul lagi. Mulai dari usulan kerudung warna biru dongker, biru benhur, biru langit, atau biru laut? Perdebatan alot pun tidak dapat terelakkan lagi. Perdebatan sulit sekali menemukan kata mufakat. Setelah saling berargumen cukup lama, akhirnya perdebatan alot ini teratasi dengan memvotingnya. Tentu saja divoting. Karena pembicaraan ini tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah atau bahkan aklamasi.
Begitulah jika sekolah terdiri dari bayak personil perempuan yang notabene fashionable. Semua memiliki style masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari penampakan para ibu guru ini dikesehariannya. Mulai dari kerudung pasmina hingga segi empat. Mulai dari yang polos hingga bermotif. Dipadu dengan bros yang katanya unyu-unyu.
Mungkin para bapak guru sudah jengah melihat kehebohan kami. Setiap kami gontok-gontokkan membahas batik atau kerudung, para bapak ini hanya tersenyum atau melongo saja. Mereka dengan setia menunggu adu otot kami tuntas. Setelah itu baru mereka mencatat keputusannya pakai baju batik apa. Kalaupun ada yang tidak peduli dan memakai batik yang salah saat hari H, dia terpaksa pulang untuk ganti baju daripada nyawa mereka tidak selamat dikeroyok 15 perempuan-perempuan perkasa ini.
Kemarin malam, beredar foto di grup chat kami. Foto itu adalah surat edaran dari bapak bupati yang mengatur tentang penggunaan kerudung bagi PNS. Tentu saja kehebohan tentang surat edaran ini muncul dimana-mana. Banyak pro dan kontra terjadi. Banyak argumen bermunculan.
Surat edaran itu sebenarnya hanya berisi tentang penggunaan kerudung pegawai yang dihimbau memakai warna polos tanpa motif. Itu saja. Mungkin bapak bupati makin hari makin sumpek melihat anak buahnya memakai kerudung berwarna-warni, berbunga-bunga dan berbentuk yang macam-macam. Memang kalau dilihat-lihat kerudung yang beraneka warna, motif, dan bentuk jika dikumpulkan akan tampak seperti es buah atau gula kacang. Ruwet dan penuh warna. Ditambah lagi sekarang juga musim kerudung tabrak lari. Bajunya khaki, tapi kerudungnya merah bunga-bunga. Mungkin bapak bupati lelah dan pusing melihatnya sehingga beliau mengeluarkan surat edaran ini.
Meski bapak bupati bermaksud menyeragamkan seragam dengan kerudung para PNS, tetap saja tujuan ini menimbulkan reaksi yang bermacam-macam. Bagi yang tidak setuju ada yang berdalih edaran ini mematikan kreasi. Tidak fashionable. Ada lagi yang berdalih kerudung warna-warni itu anti mainstream. Kalau polos monoton. Yah…namanya juga perempuan. Kalau berhubungan dengan style pasti heboh sendiri. Yang sabar ya Pak Bupati....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar