Satu tanggapan yang kita narasikan di kolom komentar blog mediaguru, gurusiana, dapat 5 point. Semakin banyak komentar semakin banyak pundi-pundi point.

Entah itu hanya sekedar mengejar point semata, atau memang komentar yang tulus, terkadang narasinya singkat dan padat: “Keren, Bun, Hebat, Pak, ditunggu tulisan berikutnya” dan sebagainya, dan lain-lain, dan seterusnya. Tidak salah, sih, bagaimanapun harus diapresiasi, karena telah peduli dengan tulisan kita.

Meski tidak setiap hari, saya turut memberi komentar sesama gurusianer. Sebelum menanggapi tulisan, saya pastikan telah khatam membacanya.

Dari sekian gurusianer yang saya komentari, ada dua tulisan yang membuat saya ngakak. Serius. Dua tulisan dari dua gurusianer berbeda. Keduanya curhat kebingungan-nya menulis, saat tidak menemukan ide.

Yang membuat saya tersenyum. Dari kebingungan keduanya, lahir beberapa paragrap tulisan. Temanya tentang kebingungan tadi. Ketiadaan ide sama dengan ide baru. Apa yang dialami kedua gurusiner, sejatinya pasti dialami banyak penulis, termasuk saya.

Pada suatu hari. Dimalam yang sunyi. Seorang diri. Saat deadline semakin mepet. Saat berperang dengan rasa kantuk. Sementara ide belum keluar sama sekali. Saya pasrah.

Disaat injuri time, saya teringat “tips” seorang penulis, kala menghadapi kemandegan ide. Tulis semua benda yang bisa dilihat dan diingat. Tulis sebanyak mungkin. Contohnya: Lemari, kulkas, dispenser, pintu, gorden, kasur, bantal, ponsel, pakaian, laptop, batu akik, peci, deodoran, kalender, koper, kitab suci, tasbih, kaca mata, kursi sofa, televisi, foto dinding, gelas, piring, cecak. Intinya tulis sebanyak-banyaknya.

Setiap kata tadi, dibaca berulang-ulang. Disaat kritis itu, ketemulah ide tentang cecak. Jadilah tulisan panjang dengan judul “Pertempuran melawan cecak”

Dikesempatan lain, saya mengalami problem sama. Yang terakhir ini saya menulis pentigraf, ketika ketemu kata bantal dan guling. Ini contoh tulisan berjudul “bantal guling” yang lahir dari ketiadaan ide:

“Kamu itu, kan, bantal guling dekil. Kumuh, bau, warnanya pudar, robek pula. Namun, entah mengapa tuanmu teramat setia. Memeluk, membelaimu, setiap saat. Siang dan malam. Kok bisa? tanya bantal guling merah jambu berlambang jersey Liperpool.

“Sejatinya akupun tidak tahu pasti. Namun aku selalu membuatnya tertidur, bermimpi indah. Selebihnya aku hanya menikmati pelukan dan merdunya dengkuran, tuanku.”

Dari semua kepunyaan-nya, hanya aku yang tidak berganti. Ia teramat setia. Akulah yang menemani nyonya tuanku, saat detik-detik menghembuskan nafas terakhir di rumah ini. Kamar ini, dan di tempat tidur ini. Saat aku selalu bersamanya.

Jayapura, 25 September 2020