14. KUPU-KUPU TANPA SAYAP
(Tantangan hari ke-23)
#Tantangangurusiana
Ringkasan cerita yang lalu:
Kepergian bapak berobat kepuskesmas kecamatan membuat gelisah Gimun. Sesekali tatapan matanya selalu kearah jendela dengan harapan bapaknya akan segera kembali. Benar saja setelah beberapa waktu penantiannya bapak akhirnya pulang, namun ada pemandangan ganjil diwajah bapak, Wajah yang pucat dengan air mata…
Akhirnya bapak yang dinanti oleh Gimun dan saudaranya pulang dengan diantar pak Dhe. Ada rasa lega dalam hati Gimun, namun ada keganjilan yang dirasakan oleh bocah kecil itu. Mengapa bapak pulang justru dengan air mata…pertanyaan itu muncul dalam hati Gimun. “Bapak..kenapa menangis?”suara Gimun sambil mengusap air mata bapak. Ada rasa sedih yang disembunyikan bapak yang tak sanggup disampaikan kepada Gimun dan saudaranya. “Ah…bapak ndak apa-apa le,”jawab bapak sambil tersenyum yang dipaksakan. “Tapi..kenapa bersedih pak,”Suara mas Tris mendekap bapak. Tanpa peduli jawaban dari bapak, kami berlima pun langsung memeluk bapak yang baru sampai dirumah.
Pak Dhe dan bu Dhe pun hanya memandangi kami yang tengah larut berpelukan dengan bapak. Mereka pasti sudah tahu jawaban dari hasil pengobatan bapak hari ini. Tak lama kemudian bu Dhe pun menhampiri kami yang tengah berpelukan sambil mengusap punggung mbak Sri. “Nduk..bu Dhe mau ngomong sama kalian,”Suara bu Dhe memecah pelukan kami.”Iya bu Dhe,”jawab kami bersamaan. Lalu bapak pun dituntun duduk dikasur lantai oleh mbak Sri dan mbak Sutiyem, dan kami pun mengikutinya duduk disampingnya.
“Ponakanku semua, hasil pemeriksaan bapakmu hari belum ditemukan penyakitnya dan besok harus dilanjutkan lagi ke Rumah Sakit soalnya alat yang dibutuhkan untuk memeriksa bapakmu dipuskesmas tidak mendukung,”penjelasan bu Dhe. “Besok pagi pak Dhe dan bu Dhe akan kembali mengantar bapakmu ke Rumah sakit dan semoga saja penyakit yang dikeluhan bapakmu segera ditemukan,”jawab pak Dhe menambahkan penjelasan. Mbak Sri pun mengiyakan apa yang disampaikan oleh pak Dhe dan bu Dhe. Bagi kami saat ini merekalah orang tua kami yang bisa membantu keluarga kami.
Gimun pun hanya menunduk lesu, merasakan kelelahan hati yang tak tersudahi. Dia hanya memandangi mbak Sri dan mbak Sutiyem yang semakin hari juga tak terurus. Belum lagi dua adiknya yang masih kecil kadang harus dititipkan ke tetangga yang hanya sekedar untuk mendapatkan makanan yang layak. Tanpa disadari air mata Gimun pun membasahi pipi dengan mulut membisu.
Akhirnya pak Dhe dan bu Dhe berpamitan untuk pulang karena malam juga semakin larut. Kami pun mempersilahkannya, dan mas Tris pun menutup pintu rumah. Bapak pun nampak sudah tertidur karena kelelahan. Kami berlima masih berbincang-bincang untuk merencanakan hari esok. Tak lama mbak Sri dan mbak Sutiyem akhirnya membuka percakapan serius. “Dik, mbakmu ini (mbak Sri dan mbak Sutiyem) mulai besok akan berhenti sekolah,”suara mbak Sri bergetar. “Kasihan Nining dan Siti tidak ada yang merawat, belum lagi bapak juga sakit=sakitan,”jawab mbak Sutiyem menjelaskan. “Sedangkan kamu Sutris, Pariyah dan Gimun harus tetap sekolah, dan kamu Gimun harus berhasil,”jawab mbak Sri sambil menepuk punggung Gimun. Seketika itu mata mas Tris berkaca-kaca seakan tak sanggup menahan rasa sedih yang mendalam. Dan malam itu menjadi saksi sekaligus sejarah yang tak terlupakan oleh Gimun untuk pengorbanan mbak Sri dan mbak Sutiyem untuk keluarga yang sederhana dipinggir perkebunan kopi lereng gunung Wilis.
(Bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mengharukan, jadi larut terbawa emosi