WAHYU SAYEKTI

Wahyu Tri Sayekti M.Pd pernah mengajar di SMAN 1 SOOKO Mojokerto th 2000-2004, mengajar di SMPN 3 SARADAN kab.Madiun Th 2004-2005 dan SMPN 1 DAGANGAN kab.Madiun...

Selengkapnya
Navigasi Web
7. KUPU-KUPU TANPA SAYAP

7. KUPU-KUPU TANPA SAYAP

7. KUPU-KUPU TANPA SAYAP

(Tantangan hari ke-7)

#Tantangangurusiana

 

Ringkasan cerita yang lalu:

Diluar dugaan Gimun, Sekolah menujuknya beserta kedua temannya untuk mewakili sekolah dalam kompetisi cerdas cermat di Tingkat Kabupaten. Kemampuan Gimun secara akademis memang tak diragukan lagi, namun keadaan sulit yang tengah dihadapi bocah itu terbentur pada kondisi emaknya yang sedang sakit. Sanggupkah Gimun kecil menghadapi kompetisi  itu tanpa ada Emak disampingnya...

 

       “Asallamuallaikum mak!,”suaraku mengucap salam sebagai tanda aku sudah pulang. “Waallaikumsallam,”jawab mbak Sri. “Lho mak e kemana mbak,”tanyaku ke mbak Sri. “Mak e dibawa pak e ke Rumah Sakit okname,”jawab mbak Sri. Tiba-tiba dalam hati Gimun merasakan firasat yang mengatakan seakan-akan dia akan ditinggal emaknya  lama. Muncul pertanyaan dalam benaknya,“Lalu bagaimana aku?, saudara dan adik-adikku Yaa Allah...dan kepada siapa aku akan meminta doa restu saat lomba nanti,” berontak Gimun mulai meneteskan air mata. Seketika itu Kepalanya berputar-putar membayangkan kondisi Emak  sedang menahan sakit di Rumah sakit. Dalam ingatan bocah kecil masih terbesit ketika Emak memberi nasehat  kepada Gimun agar tetap bersemangat dalam mencari ilmu yang bermanfaat untuk bekal di dunia dan diakhirat.

       “Mbak Sri, jane Emak kie sakit opo tho?” tanya Gimun dalam bahasa Jawa. “Aku juga belum tahu dek,”jawab mbak Sri sambil menepuk pundakku. Siang itu Gimun masih nampak galau menunggu kabar tentang Emaknya. Waktu yang melelahkan menunggu jawaban itu, akhirnya dia lalui dengan membuka buku pelajaran yang diberikan oleh Tim Guru disekolahnya untuk lomba. Lembar demi lembar buku pelajaran itu dia pahami dengan cepat...Dari kondisi yang dialami Gimun, Sebenarnya Allah telah menititipkan kasih sayangnya melalui  Rahmat kecerdasan pada otak bocah lugu itu. Sehingga mudah bagi Gimun untuk belajar dan memahaminya.

       Sore menjelang magrib kami bertujuh masih menunggu kepulangan bapak kami yang mengantar Emak kerumah sakit. Kami masih belum tahu sakit apa yang dideritanya. Yang selama ini kami hanya tahu sakitnya emak cuma kadang pusing dan masuk angin saja. Dan baru saat ini kami menyaksikan orang tua kami sakit sampai seserius ini. Ada apa dengan sakit Emak? Tanda tanya besar bagi kami. Setealah sholat Isya’ berjamaah dengan di imami mas Tris, tiba-tiba bapakku pulang dengan wajah yang murung. Kami dipanggil bapakku untuk berkumpul mendengarkan penjelasan mengenai emakku. “Anakku semuanya, mungkin pak e bakalan lama menunggu Emak mu berobat di Rumah sakit,”penjelasan bapakku lirih . “lha memangnya Emak sebenarnya sakit apa tho,pak e?” tanya mbak Sri ke bapakku penuh penasaran. “Emakmu sakit kanker rahim, nduk,”jawab bapakku lirih sambil mengusap air mata yang sejak tadi menggantung.”Apa kanker!” teriak kami berlima. Gimun dan keluarganya tidak pernah menyangka akan seserius itu masalah sakitnya Emak. Kami berlima akhirnya berpelukan dan menangisi Emak yang selama ini telah sabar rela menahan sakit demi mengurus 7 anak-anaknya.

         Aku melihat bapakku dengan wajah sayu namun tegar, masih mengemasi baju emak yang tak banyak kedalam tas kresek dan sebagian dibungkus dengan sarung bapakku. Maklum kami orang desa tak pernah berpergian jauh jadi tak punya tas baju. Didapur aku juga menyaksikan mbak Sri dan mbak Pariyah sibuk menyiapkan nasi dan singkong yang dibungkus pakai daun pisang untuk bekal bapakku. Hati kami yang menyaksikannya bagaikan tercabik-cabik tak tahu harus berbuat apa. Tak lama kemudian bapakku menitipkan kami bertujuh kepada budhe yang rumahnya tidak jauh dari gubuk rumah kami. Dan semenjak itu tanggung jawab rumah kami dipegang oleh Budhe serta mbak Sri dan mbak Pariyah. Untungnya kami 7 bersaudara sangat rukun dan saling mengerti kesulitan keluarga.

      Malam semakin larut, hawa dingin dan berkabut membuat suasana semakin mencekam. Rumah sederhana dipinggir perkebunan kopi lereng gunung Wilis itu nampak suram, seakan tahu akan kesedihan yang dialami oleh Gimun dan keluarga itu. Hanya bola lampu 10 watt yang menyala dari dalam rumahnya, sekaligus menjadi saksi kesedihan 7 anak yang mulai malam itu tidak lagi ditemani hangatnya Emak dan Bapak.

(Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post