#tantanganmenulis53

Sudah hampir ketiga bulan ini semua siswa belajar di rumah karena pandemi virus covid-19. Rindu juga dengan anak-anak didikku. Yang biasa seharian bisa diskusi dan bareng belajar dengan para siswaku. Kini tak bisa lagi. Hanya lewat pembelajaran melalui internet dan sesekali zoomeeting, aplikasi temu muka secara langsung. Sayangnya tidak semua ikut ambil bagian dalam pertemuan, karena berbagai alasan kuota atau telepon genggam yang tidak mendukung.

------0-----

Mengajar dan mendidik dengan siswa-siswa yang beranjak dewasa apalagi dimasa puber perlu ekstra hati-hati. Kadang-kadang jika salah memberi info sering salah pengertian, Yah, karena aku mengajar di SMK yang rata-rata siswanya kaum hawa semua. Inilah yang seringkali membuat istriku cemburu. Adakalanya hampir setiap waktu anak didikku curhat tentang apa saja. Pelajaran, cerita tentang cowoknya atau ayah ibunya yang bertengkar seharian. Jadi, tumpahan rasa pengganti Ayah-Ibunya. Syukurnya, lama-kelamaan istriku faham juga. Memang menjadi guru itu perlu pengorbanan tenaga dan waktu. Sayangnya, hampir semua orang tidak mengetahuimya.

------0-----

Suatu malam pada jam setengah satu. Teleponku berdering. Kulihat nada panggilnya Shinta. Siswa broken home. “Assalamualaikum, Shinta!” tanyaku memulai pembicaraan. Satu menit berselang hanya terdengar tangisan Shinta yang tersedu-sedu. “Shinta, ada apa?” tanyaku lagi mencoba mengajak lagi untuk komunikasi. “Berbicaralah, Pak guru yakin Shinta telepon malam-malam hanya bicara untuk sayakan?” kucoba meyakinkan Shinta. “Pak, aku Hamil!” tukasnya kemudian menangis lagi. “Apa kamu bilang, hamil ? “ kataku kaget setengah mati.. ....(terus sambung lagi besok yak)