Wan Zulkarnain Barus

Antropolog Universitas Sumatera Utara...

Selengkapnya
Navigasi Web
Memilah dan Memilih Kepala Daerah
Kursi Sultan Deli Istana Maimoon di Kota Medan (Sumber : Dokumentasi Pribadi Penulis)

Memilah dan Memilih Kepala Daerah

Medan adalah kota terbesar ke-3 di Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya. Berarti Kota Medan merupakan kota terbesar di luar Pulau Jawa. Predikat terbesar ini cukup bergengsi disandang oleh Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara. Terletak di Utara Pulau Sumatera, Provinsi Sumatera Utara berada pada posisi – geopolitik dan geopertahanan nasional – sangat strategis, mengingat berada pada posisi secara geografi, berbatasan dengan negara luar, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand serta Provinsi Aceh (NAD) – yang selama ini mempunyai sejarah panjang berkaitan konflik. Predikat sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, tentu berdampak terhadap kondisi kehidupan masyarakat, yang harus dikelola dengan baik, berkaitan dengan dampak poisitif maupun negatif yang timbul dari pengaruh geopolitik dan geopertahanan tadi.

Berangkat dari kondisi obyektif tersebut, Kota Medan dihadapkan pada permasalahan yang sangat kompleks dan multi dimensi. Untuk mengawal dan mengelola Kota Metropolitan sebesar Medan, maka diperlukan pemimpin atau kepala daerah disingkat kepda yang mumpuni, mempunyai pengetahuan, pengalaman dan kapasitas prima. Hal ini sebagai konsekwensi dari dinamika kota yang terus meningkat pesat dari waktu ke waktu. Untuk itu, kemampuan manajerial yang professional sangat diperlukan. Jawaban itu semua terletak pada kinerja kepda atau Walikota sebagai pemangku kebijakan dan penguasa daerah.

Berkaitan dengan Pilkada Kota Medan pada 2020-2025 ini, diperlukan kajian mendalam dan spesifik berkaitan dengan kepda ideal yang diinginkan. Salah satu kajian dari berbagai disiplin ilmu adalah melalui pendekatan Antropologi Politik. Secara Antropologis bahwa Kota Medan dihuni oleh masyarakat multi etnis bahkan multi ras. Sejarah mencatat bahwa Kota Medan, sebelum Republik Indonesia merdeka, telah didiami berbagai ras, seperti Bangsa Eropa, India, Keturunan Arab dan China (Tionghoa). Selain itu, sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan, Medan menjadi tujuan etnis Batak Toba, Nias, Mandailing, Pakpak, Minangkabau, Jawa dan lain-lain, dalam mencari penghidupan dan kehidupan baru.

Walaupun sejarah mencatat, Kota Medan didirikan kaum Melayu dan juga etnis Karo – sebagai penduduk asli dan penguasa ketika Kesultanan Deli masih eksis – sebagai lahan subur dalam proses in migration beragam etnis. Harmonisasi etnisitas terbingkai dalam bentuk munculnya kerukunan antar warga. Berkaitan dengan Pilkada, maka salah satu komponen penting dalam maping politic di Indonesia adalah peranan etnik dalam pertarungan politik. Kekuatan politik etnik, telah banyak dikaji dan ditulis oleh para Antropolog berkaitan dengan Politik Lokal di Indonesia. Kekuatan ini tercermin dalam Pilkada-Pilkada di daerah. Selain politik identitas etnik, faktor agama juga merupakan faktor dominan dalam peta politik daerah, dan ini tercermin juga dalam panggung politik nasional (lihat tulisan para Antropolog dalam Buku Politik Lokal di Indonesia, 2014).

Pendekatan Antropologi Politik

Kalkulasi penghitungan suara dalam setiap pemilihan, baik pilpres, pileg maupun pilkada adalah sangat penting dan menentukan. Persentase suara menjadi kata kunci untuk memenangi suatu pemilihan. Salah satu instrumen persentase suara tadi adalah berasal dari jumlah etnis. Kasus dalam setiap kontestasi politik Indonesia, unsur dan isu etnis mendominasi, selain isu agama. Hal ini yang ditemukan para Antropolog dalam berbagai penelitian mereka di beberapa daerah. Menariknya bahwa isu agama dan isu etnis, hampir merata, baik itu di tingkat Kabupaten maupun Kota.

Dengan temuan Antropolog tadi, memberikan gambaran bahwa untuk Kota Medan, isu agama dan etnis juga mengemuka. Tentu, faktor lain juga memainkan peranan, seperti isu putra daerah, poisisi incumbent, tingkat elektabiltas, popularitas, kemampuan finansial dan sebagainya. Namun secara kasat mata, penulis mempunyai gambaran bahwa isu agama dan etnis adalah isu sentral pilkada Kota Medan saat ini. Ada juga isu gender muncul. Namun, dalam konteks masyarakat Medan yang “patrilineal”, dirasa kans isu gender menjadi tidak significan.

Dalam kontestasi politik lokal Kota Medan sebelumnya, terlihat bahwa jumlah etnis dijadikan alat pengumpul suara oleh para peserta. Kekuataan untuk menang sering dikaitkan dengan jumlah mayoritas populasi etnis tertentu. Menurut Usman Pelly (Antropolog Unimed) dalam bukunya Urbanisasi dan Adaptasi (Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing), 1994, menjelaskan bahwa urutan jumlah penduduk Kota Medan mulai dari yang terbanyak pada 1930 adalah seperti dalam table Komposisi Etnik dari Komponen Penduduk Medan di bawah ini.

Table Komposisi Etnik dari Komponen penduduk Medan

No.

Kategori

Jumlah

Persentase (%)

01.

Jawa

19.067

46,21

02.

Minangkabau

5.590

13,54

03.

Melayu

5.408

13,10

04

Batak Mandailing

4.688

11,36

05.

Sunda

1.209

2,93

06.

Batavia

1.118

2,71

07.

Batak Toba

882

1,99

08.

Batak Angkola

236

0,56

09.

Batak Karo

145

0,34

10.

Batak lainnya

1.189

2,88

11.

Penduduk Indonesia lainnya

1.798

4,38

Total

41.270

100,00

Sumber : Milone 1964

Kemudian, berdasarkan data kependudukan pada 2013, menurut BPS Provinsi Sumatera Utara, populasi penduduk Kota Medan berjumlah 2.123.210 jiwa. Sementara menurut Wikipedia (diakses pada 10 Juni 2015) bahwa berdasarkan etnis, persentase komposisi Kota Medan, pada 2000, berurut dari jumlah mayoritas (terbanyak) sampai yang terendah, yaitu Jawa dengan jumlah 33,3%, Batak 20,93%, Tionghoa (China) 10,65%, Mandailing 9,36%, Minangkabau 8,6%, Melayu 6,59%, Karo 4,10%, Aceh 2,78%, lain-lain 3,95%. Sangat disayangkan, data terbaru penduduk Kota Medan berdasarkan komposisi etnis, tidak diperoleh.

Dari data kependudukan tersebut, dapat ketahui besaran perbandingan komposisi jumlah etnis dan ini tentunya dapat dijadikan salah satu referensi dalam mengkaji peta kekuatan politik Pilkada Kota Medan 2015. Acuan siapa yang bakal memimpin juga dapat dikaitkan dengan gambaran penduduk berdasarkan komposisi etnis. Nah, dari persentase itu, bargaining position Etnik Jawa cukup besar, dibanding etnik lain. Bisa kita lihat pada pilkada lalu, Etnik Jawa “laris manis” ikut serta menjadi kandidat atau calon, untuk ikut kontestasi politik. Selain Jawa, etnik Batak, China, Mandailing, Minangkabau dan Melayu punya kesempatan besar disbanding etnik lain. Posisi ini menjadi kekuatan tersendiri bagi kandidat yang akan diusung.

Dari sisi agama, sentimen pemilih juga sangat dominan. Bahkan kadang-kadang mengalahkan isu etnik. Biasanya jualan emosi keagamaan terasa menggigit. Balutan agama terbukti menjadi janji dan isu kampanye yang berpengaruh terhadap raihan suara. Kantong-kantong suara, secara general memang diprediksi berada pada posisi kedua isu tadi. Mengapa ke-2 komponen penghasil suara yaitu etnis dan agama, dijadikan isu sentral dalam pendekatan Antropologi Politik adalah karena etnis dan agama memegang peranan penting dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat Indonesia. Ikatan emosi etnik dan religi, telah menjadi bagian penting kehidupan masyarakat. Itu tercermin dengan beragamnya kelompok sosial berbasis etnik dan agama di Kota Medan. Contoh ikatan primordial ini adalah Pujakesuma dari sisi etnik dan Al Washliyah dari sisi agama. Kekuatan kedua sisi ini terbukti ampuh digunakan dalam Pilkada sebelumnya untuk mendulang suara.

Memilah dan Memilih Kepala Daerah

Berkaitan dengan suksesi kepemimpinan di Kota Medan, ada beberapa indikator yang mestinya menjadi kerangka acuan, bagi partai politik (parpol) pengusung dan tentu pemilik hak suara. Mengingat banyaknya kasus kepda tersandung masalah korupsi. Tidak dipungkiri, sudah 2 orang Walikota Medan tersandung masalah korupsi. Sebut saja Abdillah dan Rahudman Harahap. Bahkan pada masa Abdillah, sang wakil, Ramli Lubis, juga ikut menjadi penghuni hotel prodeo. Bahkan baru-baru ini, Walikota T. Dzulmi Eldin menjadi tersangka kasus korupsi yang ditangani langsung KPK.

Untuk menghindari kasus kepda bermasalah, diperlukan sikap kritis bagi parpol pengusung dan para pemilih. Antisipasi ini, perlu juga dikawal oleh KPU Medan sebagai pelaksana pesta demokrasi 5 tahunan. Selama ini, penilaian terhadap bakal calon dan calon Walikota Medan, terletak pada tingkat popularitas, kemampuan finansial, posisi incumbent dan program-program yang ditawarkan sang kandidat. Sementara masalah rekam jejak moral dan etika seperti tidak disentuh dan tidak menjadi isu sentral.

Padahal kasus yang membelit Walikota Medan terdahulu adalah menyangkut tentang lemahnya moral dan etika. Dalam Pilkada kali ini, seharusnya semua stakeholder, melihat moral dan etika sebagai komponen utama dan vital sebagai syarat utama pencalonan. Catatan aib masa lalu harus dibongkar habis-habisan demi menciptakan pemimpin bersih, jujur, amanah, dan adil. Peranan media massa sebagai salah satu pilar dalam sebuah Negara Demokrasi, seperti Indonesia umumnya dan Kota Medan khususnya sangat penting dan dibutuhkan. Peranan ini diperlukan agar informasi calon atau bakal calon diketahui public secara luas, sehingga ketika terpilih menjadi pemenang dan bekerja sebagai kepda tidak diusik oleh aib dan dosa masa lalu, yang dapat menggangu kinerjanya selama memimpin.

Politik Identitas Kota Medan

Pendekatan kultural menjadi salah satu faktor kunci untuk memenangkan Pilkada Kota Medan. Salah satu contoh, yang berhasil memenangkan dan menarik simpati para pemilih adalah pendekatan yang dilakukan oleh Syamsul Arifin, ketika ikut dalam Pilgubsu, 2008. Dengan tagline “sahabat semua suku”, beliau berhasil meraih suara terbanyak dan menjadi pemenang. Pendekatan budaya ini, terbukti sangat ampuh untuk mempecundangi kontestan lain.

Selain itu, dalam setiap kesempatan, baik perkawinan, kematian dan perayaan atau upacara budaya lainnya, silaturahmi, lebih mengemuka dan akrab ketika masing-masing tahu akan posisi dalam konsep “dalihan na tolu”. Hubungan akan cair, tanpa batas dan sekat, dari masing-masing posisi, ketika ketiga posisi status budaya mengambil perannya. Ini merupakan ciri dan bentuk relasi sosial etnik yang dianggap ideal oleh Warga Medan saat ini. Konsep tiga tungku ini, seolah-olah hidup dalam tataran Masyarakat Medan

Begitu juga, ketika Pilkada Kota Medan, baik pada masa Abdillah, Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin, menjadi pemenang, pendekatan budaya menjadi penting. Eksotisme Medan yang plural, menunjukkan kompleks dan beragamnya suara pemilih. Simbol-simbol budaya dan agama menjadi unsur penting dan kuat untuk meraih suara. Karakter Masyarakat Medan saat ini, lebih mengutamakan kolektivitas baik secara etnis, kelompok maupun agama.

Isu putra daerah (Putda) juga menjadi politik identitas Kota Medan yang harus diperhitungkan. Jangan sampai, kontestasi politik ini, hanya menjadi sekadar “pemuas birahi politik” oknum tertentu. Betapa ruginya jika calon yang dipilih adalah “orang asing” yang tidak mengerti apa yang dibutuhkan masyarakat. Persoalan putda adalah harga mati dalam pilkada Kota Medan, mengingat putda diharapkan betul-betul mengetahui kebutuhan dan keinginan Masyarakat Medan yang plural. Kasus Jokowi adalah salah satu contoh, betapa masyarakat DKI Jakarta kecewa, ditinggal begitu saja oleh kepda ditengah jalan. Citra buruk ini semoga tidak terjadi di Kota Medan.

Penutup

Dari beberapa cacatan Antropologi Politik terebut, diharapkan persoalan cacat moral, cacat hukum, cacat etika, cacat kinerja dari calon atau bakal calon Walikota Medan yang akan dipilih tidak muncul di kemudian hari. Trauma kepda bermasalah, selayaknya menjadi isu sentral sosialisasi KPU Medan, Parpol pendukung dan masyarakat serta stakeholder lainnya.

Ibarat pepatah mengatakan “jangan masuk ke lobang yang sama”, berkaitan dengan Walikota yang akan mengurus masyarakat Kota Medan ke depan. Bayangkan, ketika Walikota/Wakil semasa Abdillah dan Ramli Lubis menjadi tersangka, betapa besar pengaruhnya terhadap layanan publik. Akibatnya, masyarakat merasakan betapa buruknya kinerja dan pelayanan Pemko Medan saat itu, akibat 2 pucuk pimpinan menjadi tersangka sekaligus.

Berdasarkan pengalaman pesta demokrasi masa lalu, dalam konteks Pilkada, patut diacungi jempol bahwa Masyarakat Medan selama ini telah teruji dalam menjaga harmonisasi kerukunan, baik secara horizontal maupun vertikal. Hal itu tergambar dari kondusifnya pelaksanaan Pilkada selama ini. Diharapkan demikian juga dalam Pilkada kali ini, masyarakat dengan cerdas memilah dan memilih kandidat yang akan mengurus Kota Medan 5 tahun ke depan. Harapan kita semua, semoga Pilkada 2020 yang akan datang berjalan aman, nyaman dan damai agar hubungan harmonis, yang selama ini dirajut bersama, tetap terjaga seperti bunyi bait pantun di bawah.

“Kota Medan indah rupanya;

Rupa seperti gadis Melayu;

Walaupun kita berbeda suara;

Berbeda untuk menjadi satu”

Penulis adalah Antropolog USU dan Pengurus HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) Provinsi Sumatera Utara.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Pak ,nambah lagi ilmu saya ,saya baru tahu suku asli kota Medan adalah Melayu dan Batak Karo ,pantesan pas ada tulisan pendatang dari Batak Toba ,Nias dll Hehehe

25 Nov
Balas

Ya...itulah adanya.

25 Nov

Dan kalau harus putda yang menjadi orang nomor satu di kota medan ,harusnya tidak pakai analogi Pak Jokowi karena Pak Jokowi bukan putda, beliau asli suku Jawa. Putda di DKI adalah suku Betawi hehehe

25 Nov
Balas

Itulah sebetulnya kalau mau jujur dan benar

25 Nov

Waduh sumber tulisan tentang komposisi penduduk adalah data tahun 1964? Sehat dan sukses sllu Pak

25 Nov
Balas

Memang data akurat apalagi secara keilmuan sulit ditemukan mengingat keterbatasan data pemerintah yang sangat minim

25 Nov



search

New Post