Wan Zulkarnain Barus

Antropolog Universitas Sumatera Utara...

Selengkapnya
Navigasi Web
Solusi Meredam Ujaran Kebencian di Media Sosial
Kantor LIDA USU MEDAN (Sumber : Dokumentasi Pribadi Penulis)

Solusi Meredam Ujaran Kebencian di Media Sosial

Akhir-akhir ini, media sosial disingkat medsos menjadi pembicaraan hangat di masyarakat dunia, khususnya Indonesia. Konflik yang lahir sekarang ini, didominasi – kalau tidak disebut mayoritas – adanya silang pendapat dan saling hujat yang terjadi dalam dunia maya. Suatu ironi memang. Sebelum ada teknologi informasi, seperti internet, “kekacauan sosial” ini atau persoalan sosial kemasyarakatan hanya terjadi dalam dunia nyata. Kini, medsos ambil peran memperkeruh suasana tadi.

Perbedaan kehidupan, semakin nyata dengan adanya medsos. Perbedaan kebudayaan dalam kehidupan manusia, tereduksi dalam persoalan komunikasi antar penggunanya. Efek negatif medsos mulai menguat belakangan ini. Persoalan kecil dalam dunia nyata, dapat membesar dan menjadi serius ketika berada pada ranah dunia maya. Menariknya lagi, apa yang ada di dunia maya, seakan-akan didominasi oleh segudang pertikaian dan problem hidup semata.

Perubahan pola dan gaya hidup pun dipengaruhi oleh media popular ini. Tak heran, jika keterasingan menjelma dalam sisi kehidupan manusia masa kini. Pertentangan demi pertentangan, perseteruan demi perseteruan dan perbedaan demi perbedaan muncul tak habis-habisnya. Seolah-olah dunia ini hanya berisi persoalan, permasalahan, dan segudang kisah konflik semata. Padahal, kehidupan ini diciptakan sebagai wahana bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup.

Cinta Kasih

Ada satu yang hilang dalam relung-relung kehidupan manusia saat ini. Memudar dan hilangnya rasa cinta kasih antar sesama. Perasaan cinta kasih, seperti benda asing dalam kamus kehidupan manusia milenial sekarang ini. Kodrat manusia sebagai makhluk mulia seakan-akan sirna ditelan oleh rasa benci. Kebencian mendalam begitu mengakar dalam diri maupun kelompok yang bertentangan. Tak aneh lagi, persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan muncul tanpa sebab yang jelas. Sikut sana, sikat sini menjadi barang laris memicu kebencian.

Sebelum beranjak ke persoalan yang lebih detail, tak ada salahnya, dibahas tentang pengertian cinta dan kasih. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau rasa sayang (kepada), ataupun rasa sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Kasih artinya perasaan sayang atau cinta (kepada) atau menaruh belas kasihan. Jadi, di sini cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasihan.

Victor Hago, seorang pujangga terkenal sampai pada suatu kesimpulan bahwa mati tanpa cinta sama halnya mati dengan penuh dosa (dalam Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, 1999: 38). Hal ini menunjukkan bahwa cinta merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang cukup fundamental. Kembali ke persoalan dunia maya melalui media sosialnya, yang sekarang ini cenderung didominasi dengan ujaran kebencian, jelas menjadi tamparan bagi kita untuk merenungkan kembali hakikat hidup di dunia ini. Apakah sebagai makhluk yang paling mulia diciptakan Tuhan, kehidupan manusia hanya dihiasi dan didomiansi oleh perasaan benci saja. Sungguh rugi tentu. Seperti yang diungkapkan Victor Hago tadi, betapa dahsyatnya cinta itu, sampai-sampai diibaratkannya bahwa cinta itu sama dengan dosa atau tidak berdosa. Perenungan Victor Hago itu, tentu perenungan yang paling dalam seorang anak manusia, betapa cinta dan kasih adalah sesuatu yang hakiki dalam hidup dan kehidupan umat manusia.

Betapa naifnya jika cinta kasih Nabi Adam dan Siti Hawa dirusak begitu saja oleh rasa benci yang tidak berdasar, yang trendnya menguat akhir-akhir ini. Nenek moyang manusia ini, memberi contoh kepada kita, begitu cintanya Nabi Adam kepada Siti Hawa, di mana dalam kitab suci diceritakan bahwa Siti Hawa dijadikan dari tulang rusuk Nabi Adam (Woro Aryandini S., Manusia Dalam Tinjauan Ilmu Budaya Dasar, 2000: 53). Rasa cinta dan kasih kedua makhluk mulia ciptaan Tuhan itu, melahirkan bermiliar-miliar manusia sampai saat ini. Tidak ada dibenak mereka berdua melahirkan keturunan di dunia ini, hanya untuk gontok-gontokan, saling hina, saling hujat, membenci satu dengan lainnya, dan penuh perseteruan tiada akhir.

Manusia Sebagai Makhluk Budaya

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia di muka bumi ini, terlahir sebagai makhluk berbudaya. Mengapa disebut sebagai makhluk berbudaya? Karena manusia beda dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Manusia diberikan akal dan pikiran untuk mengisi relung-relung kehidupannya. Tanpa akal dan pikiran, maka manusia tidak akan dapat berkembang secara kodrati, melahirkan ide, gagasan, pikiran dan kreatifitas untuk mengolah dan mengeksplorasi alam demi keperluan dan keinginan manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup. Dengan akal dan budi manusia, maka lahirlah kebudayaan yang dijadikan sebagai pedoman atau pola bertingkah laku dalam memaknai kehidupan untuk mencapai kebahagiaan.

Seseorang itu disebut berbudaya apabila perilakunya dituntun oleh akal budinya sehingga mendatangkan kebahagiaan bagi diri dan lingkungannya serta tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan (Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, 1999: 25). Dengan begitu, jelas tergambar bahwa persoalan kebencian yang melanda dunia maya melalui media sosialnya terjadi karena memudar dan hilangnya rasa cinta kasih diantara sesama penggunanya. Semestinya, moral dan etika bukan hanya dikedepankan dalam dunia pendidikan maupun rumah tangga. Pengguna dan penyedia jasa medsos dapat mengambil nilai-nilai edukasi untuk disisipkan dalam komunikasi multi arah yang terbentuk dalam jejaring internet. Edukasi sejak dini sudah harus ditularkan dalam berbagai materi pendidikan formal, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi.

Sebab, persoalan manusia milenial masa kini, begitu kompleks dan beragam. Keragaman persoalan tadi harus disikapi secara arif dan bijaksana. Seluruh komponen dan stakeholder harus peduli dan terlibat secara aktif guna menangkal efek negatif dari adanya media sosial, yang indikasinya jelas membawa kesengsaraan hidup.

Nilai Religius Dalam Kehidupan

Disadari tidak disadari, diakui tidak diakui, dipungkiri tidak dipungkiri bahwa nilai-nilai religius dalam kehidupan manusia amat sangat diperlukan. Kepatuhan manusia terhadap Tuhan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal itu, tertulis dalam Al-Qur’an Surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya: “Tiada Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. Manusia tidak bisa hidup sesuai kodratnya jika menafikan eksistensi Tuhan senantiasa yang ada dalam kehidupannya.

Dalam konteks Ilmu Budaya Dasar, manusia mempunyai 3 dimensi yang hakiki, yaitu (1) manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, (2) manusia sebagai makhluk individu, (3) manusia sebagai anggota masyarakat (Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, 1999: 11). Ketiga dimensi ini pada hakikatnya satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, nilai-nilai religi dalam kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dalam kehidupannya. Nilai-nilai religius ini, bukan hanya diperoleh dibangku pendidikan formal. Akan tetapi di dalam keluarga, sudah tertanam sejak dini, rasa cinta kasih dan kepatuhan kita terhadap Tuhan, orang tua, teman, kerabat dan mungkin orang yang yang belum kita kenal sama sekali.

Sosialisasi nilai-nilai religius, seperti kesopanan, keadaban, kejujuran, kepatuhan, saling menghargai, toleransi, saling menghormati dan saling menyayangi akan memunculkan benih-benih cinta kasih, yang pada akhirnya dapat meredam rasa benci dan saling memusuhi. Untuk itu, tentu perlu proses. Dalam konteks pendidikan, perlu kiranya penanaman nilai-nilai ini dapat dilakukan melalui materi Ilmu Budaya Dasar, yang semestinya bukan hanya diajarkan pada perguruan tinggi saja, melainkan dapat diberikan mulai pada pendidikan dasar sampai menengah atas.

Sepertinya, gagasan mengajarkan materi Ilmu Budaya Dasar dalam pendidikan dasar dan menengah, patut dipertimbangkan dan merupakan gagasan segar bagi kemajuan bangsa. Mengingat saat ini, begitu masifnya terjadi degradasi moral, etika dan perilaku di kalangan generasi muda, yang dianggap sudah pada tahap mengkhawatirkan, seperti tergambar pada media sosial yang kita bicarakan tadi.

Penulis adalah Dosen Pengampu Matakuliah Ilmu Budaya Dasar Pada Laboratorium Ilmu Dasar dan Umum (LIDA) USU.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post