Wan Zulkarnain Barus

Antropolog Universitas Sumatera Utara...

Selengkapnya
Navigasi Web
Warung Kopi Rasa Pilpres 2019
Warung (Sumber : Dokumentasi Pribadi Penulis)

Warung Kopi Rasa Pilpres 2019

Terkejut mendengar suara kegaduhan di warung kopi (warkop) pada suatu pagi hari di depan rumah. Betapa tidak. Suara itu meninggi terdengar dari beberapa orang yang biasa mangkal untuk menyeruput kopi atau teh manis sekalian berkelakar satu sama lain. Suara itu seakan-akan membentuk 2 blok atau kubu. Setelah saya amati dan perhatikan, suara meninggi tadi, tidak lain dan tidak bukan berasal dari seputar topik pilpres (pemilihan presiden) 2019.

Warkop yang dulunya cair dengan suasana ceria dan gembira, sekarang ditingkahi dengan nada emosi dan debat berkepanjangan bahkan saling serang. Masing-masing kubu, merasa paling hebat, paling pantas, paling jago, paling layak, paling unggul dan paling lainnya. Perdebatan itu, terus menerus berlangsung di saat menjelang pencoblosan pada 17 April 2019. Tak dipungkiri lagi, suasana perdebatan politik ini bukan hanya milik para elit. Pada tataran grass root, suasana memanas terkait calon yang diunggulkan menjadi bahasan warga.

Para abang beca, pegawai ASN, pedagang roti, tambal sepatu, jual botot (barang bekas) sampai pengangguran yang nongkrong di warkop, terlibat serius membahas, mengkaji, menilai dan mengeluarkan uneg-uneg mereka. Tak jarang, saling lempar sindiran dan pujian mewarnai kubu 01 dan 02. Hal itu, terlihat ketika debat capres ditayangkan di stasiun televisi. Suasana warkop begitu riuh, ketika masing-masing capres dan cawapres mengemukakan program kerja mereka jika terpilih. Klimaksnya setelah usai acara debat di televisi tersebut. Tanpa diberi komando, kubu 01 dan 02 sudah terpetakan. Ini menunjukkan bahwa antusiasme dan ekspektasi warga sangat tinggi kepada kedua kubu capres dan cawapres, Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi.

Suasana warkop depan rumah tadi, secara analisa antropologi politik menunjukkan bahwa dengan media yang sangat massif, seperti adanya media sosial sekarang ini, berdampak terhadap menguatnya masyarakat bawah untuk terlibat secara pasif bahkan aktif, menyuarakan dukungan atas capres dan cawapres yang bertanding saat ini. Tidak sedikit juga yang menilai dengan nada pesimisme. Dunia yang katanya saat ini berada digenggaman memang betul adanya. Tak terbantahkan lagi bahwa interest politic mewarnai warga masyarakat.

Kelompok-kelompok masyarakat pemilih, terpetakan kepada beberapa pilihan. Ada pilihan karena agama, suku, daerah dan golongan tertentu, seperti generasi, umur, pekerjaan, jenis kelamin dan lain-lain. Melihat dari komposisi pendukung pasangan 01 dan 02, sepertinya sama-sama mempunyai idealisme serupa, yakni gabungan kaum agamais dan nasionalis. Jadi, secara garis besar dapat disebutkan di sini bahwa kubu 01 dan 02 tidak ada bedanya sehingga siapapun terpilih tidak berdampak terhadap perubahan peta politik bangsa. Kalau begitu berarti bahwa tidak perlu terjadi kegaduhan politik yang sangat tajam. Karena parpol pendukung kedua kubu tidak ada perbedaan secara idealisme kepartaian. Sebab di kubu 01 pendukung parpol ada yang agamais dan nasionalis, begitu juga kubu 02.

Harapan Rakyat

Berkaitan dengan pilpres 2019, titik sentral semua berada pada asa rakyat. Setelah berulang kali, memilih pemimpin berskala nasional, sering terdengar bahwa rakyat tetap mengeluh, utamanya berkenaan dengan masalah ekonomi, lapangan pekerjaan, bahan pangan dan rasa aman. Apatah lagi saat ini, suasana rasa aman beragama terusik dengan persekusi terhadap para ulama atau pendakwah. Persoalan-persoalan lain juga ikut mewarnai, semisal maraknya korupsi di berbagai lini kehidupan.

Persoalan yang mendera bangsa ini, sepertinya bermuara kepada moral dan etika para elit politik dan pejabat negara. Di saat dunia mengalami perubahan pesat di berbagai sektor, baik teknologi, komunikasi, perdagangan, dan sektor riil lainnya, setelah diusut dan ditelusuri akhirnya letak permasalahan berada pada rendahnya moral dan etika para pengambil kebijakan dan tentunya kubu penguasa yang menang dalam pilpres.

Bagaimana tidak ketika Partai Demokrat besutan SBY menang dalam mendukung SBY-JK dan SBY-Boediono, begitu besarnya harapan rakyat terhadap perbaikan negara. Akan tetapi hasil yang diinginkan tidak sesuai dengan ekspektasi bahkan bernilai minus, terlebih-lebih banyaknya kader Partai Demokrat terjerat kasus korupsi. Hal ini, membawa partai berlambang mercy ini terjun bebas dalam perolehan kursi di DPR.

Begitu juga, ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan besutan Megawati Soekarno Putri berhasil mengantarkan Jokowi-JK menjadi pemenang, di awal-awal masa pemerintahan mereka, sangat besar harapan rakyat terhadap kinerja Kabinet mereka. Namun, setelah berjalan hampir 5 tahun, harapan rakyat sirna dengan banyaknya persoalan yang muncul akibat Kabinet Kerja tidak bekerja secara maksimal. Kasus moral dan etika juga mewarnai Pemerintahan Jokowi-JK, seperti peristiwa “papa minta saham”, yang sangat menggegerkan itu. Menteri Sosial Idrus Marham yang tersandung kasus korupsi. Sementara, kasus korupsi aktual yang muncul saat ini adalah tertangkapnya Rommy, Ketua Umum PPP, parpol pendukung Capres Jokowi-Amin.

Harga Diri Bangsa

Sebagai bangsa besar dengan sejumlah potensi yang ada, seperti jumlah penduduk, kekayaan alam, beragam budaya, posisi strategis, stabilitas politik dan keamanan, maka tak perlu lagi ada alasan Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara lain. Perdebatan yang terjadi di warkop tentang pilpres 2019 ini menunjukkan bahwa rakyat sangat antusias dan berharap banyak terhadap presiden terpilih nanti.

Terpilihnya Presiden RI periode 2019-2024, sangat menentukan masa depan bangsa dan negara yang akan datang. Harga diri bangsa jadi taruhannya, karena salah dalam mengelola permasalahan bangsa menimbulkan berbagai dampak terhadap sendi-sendi kehidupan bernegara. Mengingat begitu kompleksnya persoalan yang dihadapi dan perubahan zaman yang begitu cepat. Presiden RI periode 2019-2024 bukan hanya sebatas kerja, kerja dan kerja. Presiden terpilih harus kuat secara moral dan etika menjaga keutuhan NKRI dengan mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi, golongan, kelompok dan parpol pendukung.

Nah, memilah dan memilih kepentingan negara di atas segala-galanya ini sebetulnya persoalan pokok yang dihadapi negara sekarang ini. Sebab, warna politik Indonesia saat ini adalah diwarnai dengan kepentingan individu, kelompok, golongan dan parpol sehingga kasus-kasus amoral mewarnai kehidupan elit-elit penguasa. Bagaimana harga diri suatu bangsa bisa dijaga kalau para elit-elit penguasa tidak menjaganya.

Berbicara nasionalisme saat ini, ada ungkapan bahwa “nasionalisme hanya sebatas dimulut dan diperut”. Ini artinya bahwa slogan kebangsaan seharusnya bukan hanya retorika belaka akan tetapi dapat dilihat dalam perilaku elit-elit politik dan penguasa yang punya moral tinggi dan etika yang mulia. Kasus korupsi misalnya, kalau diamati bahwa hampir di semua instansi dan lini kehidupan sudah menjadi tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Korupsi ada pada masyarakat kecil sampai pada elit penguasa. Sendi-sendi kehidupan tak bisa lagi berkutik dengan menguatnya perilaku korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Mulai pada tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan sampai pada insitusi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bidang yang seharusnya mengawasi saat sekarang ini, juga menjadi sarang korupsi, kehakiman, kejaksaan dan kepolisian.

Debat Warung Kopi

Sebelum masa penjaringan capres dan cawapres, suasana warkop begitu sangat cair dan berjalan santai. Namun, begitu masuk penetapan capres dan cawapres 2019, kegaduhan politik mewarnai kehidupan masyarakat. Kegaduhan itu memunculkan perseteruan politik. Perseteruan tadi mengakibatkan konflik politik. Sangat dikhawatirkan boleh jadi akan timbul kekerasan politik.

Cerita warkop ini adalah gambaran dan realita bukan hanya sebagai opini semata. Semestinya, menjadi pegangan moral para penguasa bahwa isu-isu terkini bangsa tidak boleh lagi menjadi drama politik para penguasa. Kekuatan rakyat bawah sangat ampuh menjadi senjata bagi para elit-elit politik yang coba-coba bermain drama politik demi kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan parpolnya. Sudah berapa banyak tokoh-tokoh politik dan elit penguasa masuk penjara atau hotel prodeo. Nama baik keluarga, bahkan diri menjadi hancur karena perilaku amoral dan rendahnya etika.

Di dalam perdebatan para warga dalam warkop yang penulis amati, ada beberapa warga berucap dan berdoa bahwa jika pemimpin meraka dianggap zalim, mereka memohon kepada Allah agar pemimpin tersebut mendapat balasan atas perbuatan mereka. Bukankah doa orang teraniaya dikabulkan Allah dengan cepat. Seperti tertera dalam Al-Quran, Surat Asy-Syura, Ayat 42 yang artinya “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” dan Surat An Naml, Ayat 62 yang berbunyi “Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)”.

Penulis adalah Antropolog USU dan Pengurus HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) Provinsi Sumatera Utara.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post