Welka Nelma, S.Pd

Welka Nelma, S. Pd. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mereka memang bukan dari rahimku ( Part 12)

Mereka memang bukan dari rahimku ( Part 12)

Hari ke 46

Dia adik - adikku

Siang ini sangat panas sekali. 30 menit lagi bel akan berbunyi. Aku harus cepat pulang. Di rumah tidak ada lagi makanan yang bisa dimanfaatkan untuk penyanggah perut.

Kasian adik - adikku. Mereka nanti kelaparan. Padahal hari ini mereka sibuk untuk belajar sore, belajar tambahan. Maklumlah mereka kini duduk di bangku akhir.

Aminah kls 9 sementara si ganteng Razaqi duduk di kelas 6. Tadi pagi mereka membawa nasi goreng putih yang sengaja ku masak banyak. Putih. Ya, di rumah hanya ada bawang dan sedikit minyak. Untuk penambah rasa sejumput garam dan sebutir telur ku pecah ke dalamnya.

Menu seperti ini akan bisa kami makan untuk berempat orang sampai siang ini. Semua porsi bekal sudah kulebihkan. Begitu pula untukku dan si bungsu.

Saat aku hendak menjemputnya di UKM dia tertidur pulas. Aku tidak tega membangunkannya. Tapi harus kugotong juga. Kami harus pulang segera.

Dia kuikat dipinggangku. Biar tidak terjatuh. Memang agak susah menopangnya saat tidur begini. Tapi untunglah tidak jalan kaki. Sepeda tua ini sangat membantuku.

Cepat - cepat ku ganti pakaian sesampai di rumah. Si bungsu yang masih tidur ku biarkan lelap dulu. Pintu hanya ku pasak saja. Dia pun sudah tau seperti ini.

Tepi kolam yang banyak ditumbuhi genjer, kangkung, jadi kebahagiaanku. Ku ambil pucuk - pucuk yang masih segar. Ku bawa pulang untuk diolah sebagai sayur malam ini.

Begitu lahapnya mereka makan. Sayur bening itu sudah lebih dari cukup bagi kami. Untung lagi menjamur. Biasanya hanya garam yang di tabur di nasi.

"Kak, sepertinya kolam kecil itu kita rapikan, pasti indah."

"Iya ya. Jika ada uang kita beli anak ikan, kita besarkan di sana."

"Sayurnya pun kalau segar begini, bisa kita ambil, kita ikat, di jual ke pasar."

"Kakak pun mau dek. Kita bawa aja ke sekolah. Mana tau sepanjang jalan ada yang mau beli."

"Atau Bu Say. "

Entah mengapa aku tiba - tiba rindu sekali pada guru cantik itu. Sehari tadi di sekolah, dia tidak kelihatan. Padahal biasanya si kecil akan bermain dengannya, jika jam kosong.

Pikiranku terus saja padanya. Ada apa dengan beliau. Mengapa aku begitu ingin bertemu dengannya. Apakah yang telah terjadi. Semoga dia baik - baik saja.

"Kak, memang Bu Say kenapa?"

Razaqi dan Aminah menyentakkanku.

"Oh..eh..iya. Bu Say, biasanya kalau ada siswa yang bawa hasil ladang beliau mau bantu untuk dijajakan ke guru - guru."

"Baik sekali Ibu itu ya Kak."

"Aku juga pernah di beri jajan ketika waktu itu tidak sengaja berpapasan dengannya pulang sekolah."

Aminah menjelaskan yang membuat Maniska terkejut.

"Serius dek? Kamu terima? Jangan dek. Ibu itu telah terlalu baik pada kita. Saat Ibu masih ada saja kenaikan kelas beliau belikan oerlengkapan sekolah kita."

Maniska sangat segan sekali menerima bantuan dari Bu Say. Memang guruku baik - baik. Aku bangga dan bahagia memiliki mereka. Apalagi Bu Say. Sayangnya padaku dan adik - adikku luar biasa.

Apakah karena kami yatim piatu. Tidak. Ayahki masih ada. Cuma entah di mana rimbanya. Mungkin beliau sedang berjuang mencari uang. Ataukah mungkin sedang menuju pulang.

Pikiranku bermain kemana - mana. Adik - adikku pun membiarkanku asyik saja melamun. Piring bekas makan mereka rapikan. Setelah itu duduk manis sejenak. 

Adzan isya pun berkumandang. Semua bersiap ambil wudhu dan langsung sholat Isya. Pekerjaan rumah pun tugas dari sekolah tak kupa dikerjakan.

Suara jangkrik pun bersahutan disunyinya malam. Dinginnya angin menembus kulitku. Nyenyaknya tidur mereka membuatku iba. Satu persatu secara bergantian mereka kupandangi.

Setelahnya aku kembali melanjutkan jahitan yang telah dititipkan. Untung dulunya aku mengikuti saran Ibu. Belajar menjahit sebagai keterampilan yang harus dimiliki. Terutama perempuan.

Kini, inilah mata pencaharianku demi menghidupi keempat adikku. Kami harus berjuang. Apa pun kini semua harus dijalani. Menangis pun hanyalah mengadu pada sang Illahi.

***Pagi datang, kokok ayam jantan membangunkan. Suara adzan terus saling bersahutan. Seperti biasa setelah sholat subuh aku dan Aminah beres - beres untuk memasak apa yang bisa dimasak.

Selanjutnya pasti saling bergantian mandi dan mempersiapkan aktifitas lainnya. Begitu pun Razaqi telah duduk menantiku dan Aminah untuk berangkat sekolah.

Sibungsu pun telah berkemas layaknya ia yang sekolah. Manjanya terpaksa ditepisnya. Aku takntau seakan dia mengerti keaadaan ini. Walaupun balita ia sungguh luar biasa.

Hendak ke luar rumah tanpa sengaja aku meliha si ganteng kami membawa kantong plastik hitam. Aku pun terkejut begitu juga Aminah. Apalagi saat ia menyodorkan satunya untuk Aminah.

"Dek, kamu?"

"Iya kak. Subuh tadi aku memetiknya. Biar ku jual kak. Semoga dapat untuk membeli telur. Kasihan si bungsu."

Aku merangkulnya begitu juga Aminah. Air mataku mengalir dengan derasnya. Aku benar - benar tak kuasa membendungnya. Begitu pedulinya adikku dengan keadaan ini.

Kami terus saja saling berangkulan. Saling menguatkan. Si bungsu hanya tercengang. Sesegera mungkin ku usap dan kurapikan kembali pakaianku. Kami berangkat ke sekolah.

 

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih Bu...Insya Allah Bu..

14 Apr
Balas

Terima kasih Bu...Insya Allah Bu..

14 Apr
Balas

MasyaAllah... cerita hebat yang mengharukan.... keren ditunggu kelanjutannya

13 Apr
Balas



search

New Post