Welka Nelma, S.Pd

Welka Nelma, S. Pd. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mereka memang bukan dari rahimku (Part 2)

Mereka memang bukan dari rahimku (Part 2)

Tantangan menulis 60 hari. Hari ke 32

                         Ketahuan

"Lariiiiiiiii. Bu Say datang.!"

Suara itu membuat seisi kantin berhamburan. Mencari tempat persembunyian. Menyelinapkan badan mereka kemana saja. Asalkan tidak ketahuan.

Untungnya sekolah kami luar biasa. Dengan kepala yang sangat bijaksana dan bermasyarakat. Ia mampu mendekatkan diri dengan penduduk sekitar. Jadi apa pun permasalahan siswa bisa ditangani bersama. Dicarikan solusinya. 

Mereka sangat membantu sekali. Kehadiran mereka untuk berjualan di kantin sekolah sangat memberikan progres dalam penyelamatan akhlaq generasi muda.

Tapi, ya kadangkala muak dan menghantam jiwa mereka. Setelah bersinyinyir pun tak digubris siswa. Kasian juga mereka. Tapi semangatnya luar biasa.

"Trima kasih Pak atas kerja samanya ya." 

Telpon genggam ku tutup. Dengan semangat 45 aku temui mereka. Kabar yang diberikan oleh mereka lewat ponselku sangatlah membantu. Aku beserta para guru piket tidak harus lari - larian layaknya PolPP razia. Tapi rasanya memang begitu.

Pengaduan warga akan ulah siswa kadang membuat sakit kepala. Untung bukan aku saja yang memikirkannya. Kami bisa sedikit berlega hati. Kerja sama yang dibangun Insya Allah membuahkan hasil.

"Lho ini apa? Kek ada yang nyembul di balik lemari pemilik kantin."

Aku berusaha menariknya pelan. Walau dalam hati geli juga. Siswaku telah berusaha membenamkan diri agar tidak bisa kujumpai. Tapi dasar badannya besar ya nggak muat lah.

"Ayoo. Kamu keluar. Kok ngumpetnya di sini."

"I....iyaa Bu..Tapi bukan aku loh dalang utamanya."

"Nggak masalah. Aku hanya mau kamu keluar dulu."

"Tapi aku tidak naik kasusnya kan Bu."

"Loh, tawar - menawar kok di sini sich. Cepat."

Suaraku sudah mulai tegas. Ia pun sedikit terkejut. Terasa sekali dari getaran tubuhnya. Perasaan lucu tersebut tidak kunampakkan. Nanti siswaku ngelunjak lagi.

Kami terus saja berjalan menuju ruangku. Kalau di meja piket, terlalu banyak peminat mencari berita terkini. Jadi masalah kecil bisa lebar. Masalah besar nanti tambah runyam.

"Sekarang silahkan kamu duduk. Santai saja. Ini minuman. Silahkan di minum dulu. Biar kamu tenang."

Tanpa basa - basi air yang kusuguhkan langsung diminumnya. Malahan satu ditawarkan dua langsung ludes. Owaalah Benar - benar cemas nih dia. Padahal aku kan cuma mau bertanya.

"Bu Say. Aku mohon kasusku tidak sampai ke walas ya. Apalagi ke BK. Aku baru sekali ini kok ngerokok itu pun bukan kemauanku. Aku saja tadi tidak mau. Tapi di paksa. Katanya kalau mau masuk geng ini harus berani ngerokok. Ayam berkokok di atas genteng. Nggak merokok nggak ganteng." 

Cerocosnya tanpa ku mulai mengajukan pertanyaan. Aku tertawa dalam hati. Ternyata kalo si lugu diinterogasi, semua rahasia terkuak dengan mudahnya. Aku hanya menatapnya. Tanpa ngomong sepatah pun. Ia pun salah tingkah.

"Bu Say. Percaya padaku ini ulahnya Mahakarya. Dia kan ketua geng ganteng ini. Jadi segala maunya harus ditaati. Kalau nggak kita bakalan dikeluarkan dan tidak dianggap teman lagi."

Ini yang ku mau. Mencari dalang di balik semuanya. Berita ini memang telah beredar seantero sekolah kami. Jadi berita terupdate. Banyak para siswi yang bisa digandeng oleh salah seorang geng ganteng. Dapat berselfi bersamanya rating sebagai gadis cantik sudah di tangan. Tidak perlu susah - susah mencari kawan. Setiap ada kegiatan so pasti akan diperhitungkan.

"Baik. Sekarang kamu tenang. Rapikan bajumu. Kekuar dari ruangn ini. Setelah itu ambil wudhu. Sholatlah di musholla. Setelah itu tolong kamu panggil Mahardika. Bilang ke dia, Bu Say mau minta tolong dibelikan lontong."

Aku menyedorkan lembaran 10 ribu kepadanya. Ia semakin gugup seakan ada yang ingin disampaikan.

"Ibu tau kamu pasti mau bilang, nanti kalau Mahardika tanya ko Aku. Silahkan kamu jawab, Sekalian Ibu minta kunci gitar lagu kemarin."

Aku tersenyum dan siswaku mulai bersemangat. Karena ia memang tau. Satu - satunya mahir bermain gitar ya Mahakarya. Yang lain memang bisa tapi tidak selancar dia.

***

Lontong pesananku datang. Mahardika senyum - senyum simpul. Matanya bermain kian kemari. Melihat setiap sisi sudut ruanganku. Kemudian aku sodorkan minuman dan ku suruh duduk.

"Iya, Ibu mau minta kunci gitar kemaren?"

"Bolehkan? Ibu juga kepengen pintar kek kamunya."

"Boleh Bu."

"Tapi, gini lho. Kita kan mau pentas seni. Jadi Ibu ingin kita tampil bareng. Biar lebih rame dan kompak gitu. Tapi, siapa ya?"

Aku berpura - pura saja seraya menunggu jawabannya. Ia nampak bingung sekali. Apakah aku akan menanyakan perihal rokok tadi atau bagaimana.

"Kalau saya boleh usul bisa nggak Bu saya yang pilih?"

"Boleh sekali. Aku setuju. Bisa sekarang?"

Tidak lama kemudian Mahakarya datang dengan 8 orang ganteng sekolah kami. Pemilihan anggota dengan seleksi ketat. Wajar saja para gadis di sekolah ini klepak - klepak. Aku juga sempat pangling. Hush. Itu siswamu. Hehehe. Becanda kali.

"Sialahkan dicoba. Ambil gitar yang ada di pojok sana."

Mereka asyik saja memetik gitar dengan pesona yang luar biasa. Lantunan lagu yang dinyanyikan oleh vokalis membuat para guru yang ada di luar ruangan masuk saking penasarannya. Mereka telah membaginya dengan sangat baik sekali. 

" Hebat. Ibu kagum. Kalian luar biasa."

"Oh iya, ternyata kalian orang - orang terpilih ya. Sudah ganyeng, pintar bermain musik lagi. Tapi, seandainya ini berbarengan dengan akhlaqul karimah, betapa kami makin bangga pada kalian."

"Kami??" Mereka bertanya serentak.

Para teman, fansmu, guru, karyawan dan seluruh civitas akademika sekolah ini.

"Iya Bu. Kami akan coba. Tapi kami sudahbterlanjur dianggap parasit sekolah ini. Sedikit kami terlupa, panjang lebar ceramah yang diberikan guru. Tidak sengaja kami membuat salah, kami dibilang biang onar. Jadi, dari pada nanggung sekalian buat masalah aja Bu."

"Oh gitu ya. Memang kalian ada buat masalah ya?"

Mereka saling melirik seakan saling menyalahi. Ada mata yang melotot, mulut di mencong - mencongin, bahu di senggol ke kawan sebelahnya. Mereka seperti gelagapan.

"Kalian mau jujur kan. Akan lebih baik kita selesai sekarang dari pada ntar makin panjang."

"Janji ya Bu ya. Tidak sampai kasus ke wali kelas, ke guru Bk atau wakasis."

"Asalkan kalian jujur, dan berniat untuk mencoba baik, saya ikuti. Tapi ingat, bukan berarti aku nurut padamu ya."

"Baik Bu. Aku yang mengajak mereka ngerokok tadi. Aku yang beliin."

Mahakarya ikut bersuara kini. Sehingga anggita geng ganteng lainnya diam. Karena ketua lagi ngomong, jadi nggak boleh menimpali. Tiba - tiba seorang siswa datang dengan satu bungkus rokok kekinian plus korek apinya.

"Silahkan ketua geng ganteng. Saya maafkan kalian. Namun sanksi tetap lanjut."

Mahakarya langsung membuka bungkusan rokok. Diselipkan satu - persatu di semua jari tangannya. Seperti yang aku perintahkan. Kemudian yang lain membantu menyalakan rokok tersebut. Secara bergantian dalam tempo 10 detik dia harus mampu menghisapnya.

Kemudian dilanjutkan oleh yang lain tanpa ada yang terlewatkan. Rokok tersebut harus habis satu bungkus dalam tempo yang disepakati. Mereka menjalani dan akhirnya menyerah sendiri. Mungkin kalau hanya satu batang dalam waktu santai, mereka akan menikmati.

 

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bund penanganannya. Sukses selalu dan barakallahu fiik

31 Mar
Balas



search

New Post