Mereka memang bukan dari rahimku (Part 9)
Hari ke 42
Sekolah lagi
Hatinya sangat rindu ke sekolah. Berjumpa dengan teman - temannya. Seminggu sudah Maniska di rumah sejak kepergian Ibunya. Hari ini ia sudah bangun pagi sekali.
Segala keperluan adik - adiknya sudah berjejer di atas kursi. Seperti kebiasaan Ibu, malam sebelum tidur semua kebutuhan untuk sekolah pagi harus sudah disediakan malam hari.
Tak terkecuali si bungsu. Pakaian dan semua kebutuhannya ia rapikan juga. Hari ini, giliran Maniska yang membawa si bungsu ke sekolah. Berdasarkan kesepakatan mereka.
Sudah tiga hari mencari titip asuh si bungsu ke keluarga sepertinya tidak menerima. Segala kesibukan dan alasan lainnya. Bukan tidak sayang kata mereka tapi apa salahnya si bungsu dibawa saja. Biar cerdas.
Aku tidak tau. Apakah benar begitu adanya. Mudah - mudahan saja do'a mereka menjadi nyata. Dengan bahagia si bungsu pun ikut mandi pagi. Berkemas dan sarapan pagi.
Untung saja kemarin sore Aminah sudah memasak sambal dari sembako yang diberikan dokter cantik itu. Aku kembali teringat padanya. Sudah cantik, cerdas, ramah dan baik hati lagi.
Melayani dengan hati. Betapa indahnya. Tak ada pekerjaan yang membebani. Setiap pasien yang datang kusalami satu - persatu. Ku persilahkan duduk sejenak seraya mencari solusi sakitnya.
Mereka begitu patuh sekali. Apa pun yang ku anjurkan mengikuti. Sebelum diperiksa naik ke sofa yang telah disiapkan. Segala alat pengukur tensi dan suhu badan pun siap melayani.
Keluhan demi keluhan mereka ceritakan sebagai riwayat kesehatan agar aku tak salah memberi resep obat untuknya. Tak ada yang ditutupi. Bahkan mereka mau menceritakan kegalauan hati.
Ada - ada saja pikirku. Tapi sudahlah mereka memang orang lugu. Orang kampung sepertiku. Tapi bukan kampungan. Ingin juga bersekolah tinggi, memiliki masa depan yang berarti.
Bisa membantu sesama, menolong dengan suka cita. Aku bahagia sekali melihat senyum mereka yang setelah dua hari berobat datang kembali. Membawa ubi, pisang, beras, sayur - sayuran, cabe, pepaya bahkan buah - buahan apa saja sesuai musimnya.
Aku terima saja. Menolaknya tidak baik juga. Mereka hanya mampu memberinya itu dulu. Jika ada uang barulah mereka datang. Tapi aku menolaknya. Obat - obatan dan segala fasilisitas di sini kan pemerintah punya, aku menjalaninya saja.
Begitu juga perawat sebagai asisten di tempat ini. Mereka seakan mengikuti. Segala tindak - tandukku jadi kebiasaan mereka. Melayani dengan prima sekali.
"Kak Ika. Airnya tumpah."
Aku terkejut. Adikku semuanya tertawa. Apalagi Aminah. Sedikit saja aneh, ketawanya laling lebar. Walau pendiam, jika hatinya sudah geli, gelaknya tak bisa dibendung lagi.
Sakti, adik lelakiku langsung saja mencari kain untuk membersihkan meja tumpahan air. Biar tidak melebar. Ia sangat cekatan juga. Gagah dan sangat tabah.
Sambil makan adik - adikku menjahiliku. Kakak jatuh cinta ya. Sama siapa, ayo. Pertanyaan itu menggodaku. Padahal yang aku pikirkan bukan itu. Bagaimana masa depan depan dengan cita - cita di angan.
Tapi biarlah tak kusanggah. Aku hanya tersenyum saja. Waktu terus berputar.Kami pun harus bergegas ke sekolah. Aku dan sibungsu naik sepeda. Aminah dan Sakti jalan kaki.
Jika ada tumpangan di persimpangan jalan biasanya mereka naik. Kalau masih pagi ini, banyak teman - teman yang berangkat pergi ke sekolah. Atau warga yang kebetulan pergi ke luar untuk sesuatu keperluan.
Di sekolah aku disambut hangat oleh Wilujeng. Si gendut pun tak ketinggalan. Senyum manis Mahardika membuatku bangkit. Haha. Sadar.
Namun mataku tetap melirik kian kemari. Pesona keriting Galang mengapa tidak kelihatan. Aku mencari sosoknya. Biasanya dia paling jago untuk kedamaian.
Oh iya. Sibungsu bersamaku. Aku harus belajar dulu. Sebelum bel berbunyi aku ke ruang guru. Mencari sosok para guru yang ku rindu. Seminggu sudah berlalu aku tidak mendengar pembinaan mereka.
"Maniska. Sudah masuk kembali ya?"
"Iya Bu."
Aku gugup untuk memulai dari mana. Untung Wilujeng dengan pahamnya membaca raut wajahku terkini. Dia dengan beraninya mengungkapkan kalau aku hendak menitipkan si bungsu.
Ia pun tanpa ragu untuk menyuruhnya duduk di kursi yang ada. Segala bekal yang ku bawa tadi dibukanya. Kemudian petuah diberikan. Si bungsu hanya celingak - celinguk saja.
"Ada si kecil."
Suara Bu Say membuatku bahagia. Semua guruku luar biasa. Namun sosok si cantik ini punya arti tersendiri bagiku. Dikatakan lembut, beliau tegas. Dibilang tegas, tapi tidak pernah keras.
Peserta didik banyak yang kagum dengannya. Penyayang, cueknya juga ada bila kumat datang. Pendiam, wah bawelnya kebangetan jika kesal sudah bertandang kepadanya.
Tapi dia sanggup menaklukkan hati para petualang sejati. Siswa dengan pesona yang sedang mencari jati diri adalah santapannya setiap hari. Terlalu indah caranya untuk beradaptasi.
Mahardika saja, siswa yang sudah dua kali di kelas ini, tidak berani untuk terlambat mengumpulkan tugas. Wilujeng si gadis tomboi pindahan dari sekolah tetangga yang kelakuannya ampun, kini telah luluh.
Galang, si petualang kehidupan nyata, yang kadang - kadang sekolah tidak bawa uang, ongkos atau pun jajan, bela - belaan untuk datang. Rindu Ibu Say katanya.
Apalagi aku, anak yang baru saja ditinggal Ibu. Dengan tiga adik - adikku yang butuh kasih sayang. Bercerita dengan Bu Say, selalu ada solusi yang membuat hati lega.
Dia bukan sosok si kaya, apalagi penguasa. Dia hanya guru biasa. Bekerja dengan menjalankan tugas negara. Sangat sederhana penampilannya. Tidak ada kesan mewah, apalagi wah.
Ditangannya cuma kulihat cincin yang melingkar di jari manisnya. Itu mungkin pemberian suami saat pernikan mereka. Baju yang ia kenakan sebatas pakaian dinas yang telah ditentukan.
Sekali - sekali memang ada baju bebas rapi yang dipakainya. Itu pun setiap hari Sabtu. Tapi aku terpikat padanya. Apalagi di kala ku lihat tadi saat berpura - pura ke wc.
Begitu halus kasihnya pada si bungsu. Diperlakukan layak anak kandungnya. Seperti kami, dia memperlakukan siswa - siswinya sangat keibuan sekali.
Aku teringat kembali Ibu. Begitu cepatnya dia pergi meninggalkan kami. Di saat perhatian dan kasih sayangnya kami butuhkan sekali. Tapi mungkin ini adalah takdir yang harus kujalani.
Sedikit pun tak boleh kusesali. Do'a dariku, dari anak - anaknya mengantarkan pada peristirahatan semestinya. Semoga tempat terbaik disisi Allah. Pintaku. Pilu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar