Widawati

Seorang ibu rumah tangga yang hobi jadi guru. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Titik Balik (Bagian II)  Sebuah Renungan untuk Diri Sendiri
Titik Balik

Titik Balik (Bagian II) Sebuah Renungan untuk Diri Sendiri

#tantangan hari ke-21

#tantanganGurusiana

Titik Balik (Bagian II)

Sebuah Renungan untuk Diri Sendiri

Sementara menunggu prosedur operasi, suamiku bergegas mencari stok darah ke PMI untuk keperluan transfusi. Kondisiku yang sangat lemah dengan Hb 6, ditambah pendarahan yang terjadi dalam rahimku, mengharuskan suplay darah yang cukup, kalau tidak operasi tidak bisa dilakukan. Suamiku pontang panting mencari pendonor yang cocok dengan golongan darahku, karena stok di PMI sangat minim. Untunglah dia kenal banyak orang, diantaranya beberapa anggota Brimob kenalannya yang langsung datang sesaat setelah dihubungi. Beberapa teman lainpun dengan ikhlas mendonorkan darahnya untukku. Alhamdulillah, 6 kantung darah siap ditransfusikan.

Aku mulai dipindahkan ke ruang operasi. Sebuah ruangan yang paling dalam dari ruangan yang lain. Untuk sampai ke ruang operasi, aku melewati beberapa ruangan yang sepi dan kosong. Seorang perawat membawaku sambil berbaring di sebuah Brankar. Perasaanku tak karuan. Aku hanya mengingat pesan suamiku, dia ingin aku terus berdzikir, menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dan mohon pertolongan hanya padaNya.

Ruang operasi begitu terang dengan lampu-lampu bulat dipancarkan dari atas ke bawah, pertanda tindakan bedah akan dimulai. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain pasrah. Apapun yang akan terjadi terjadilah, ku serahkan segala pada Allah. Sempat terlintas dalam ingatku, mungkinkah ajalku telah tiba? Namun kutepis itu dan ku berdoa semoga aku kembali sehat. Dua orang perawat mencoba membangunkan aku untuk duduk, lalu mereka menyuntikkan sesuatu di tulang belakangku—yang kata orang sakitnya minta ampun. Namun tak demikian yang kurasa sebab sakit di perutku melebihi sakitnya ditusuk jarum suntik. Aku dibaringkan lagi. Anehnya, dalam beberapa detik semua sakit di tubuhku tak terasa lagi.

Dua dokter bekerja dengan tenang dibantu beberapa asisten, membedah perutku, memotong yang harus dipotong. Satu perawat justru menemaniku mengobrol dari a sampai z. Mulutku tak berhenti ngoceh. Aku dalam keadaan sadar, berada di ruang operasi dan membual sekenanya, sementara dokter sibuk dengan alat-alat bedah itu menyayat, memotong dan menjahit perutku. Ocehanku belum tamat ketika dokter selesai membedah. Semua alat dibereskan, aku dibawa ke luar.

Di pintu ruang operasi sudah menunggu tiga orang yang aku sayangi. Suamiku, kerabatku, dan tetanggaku menyambut dengan kesedihan berbalut senyuman. Aku lega karena masih bisa melihat mereka. Di kamar perawatan, aku masih belum bisa merasakan dan menggerakkan badanku. Semuanya masih dalam pengaruh obat. Dokter menyarankanku untuk tidur. Dan aku menurut.

Aku tak menyangka, kemarin siang aku masih dengan lincah melayani para tamu undangan di gedung resepsi. Hari ini aku terbaring lemas di ranjang rumah sakit, dengan jahitan memanjang di perut bawahku. Tapi aku bersyukur masih hidup, aku masih bisa bertemu suamiku, anak-anakku, tetangga dan kerabatku dan semua yang menyayangiku dan aku sayangi. Allah masih memberiku kesempatan hidup.

Aku yang selalu bangga dengan aku yang dari kecil tak pernah sakit apalagi dirawat di rumah sakit, ternyata merasakan juga dinginnya ruang operasi. Aku yang selalu mendholimi tubuhku dengan makanan sembarangan, begadang kelewatan, sok kuat sok sibuk, mengabaikan kesehatan, kini merasakan betapa tubuh ini perlu dijaga. Aku yang selalu berpikir bahwa hidup itu harus punya rencana, namun ternyata rencana Allah lah yang lebih berlaku. Kesombonganku selama ini memaksaku merasakan kesakitan ini. Sakit yang aku rasakan kuanggap sebagai teguran dan ujian yang Allah berikan agar aku menjadi makhluk yang lebih baik.

Ini adalah titik nadirku, titik terendah dalam hidupku. Dimana aku kehilangan calon bayi yang aku inginkan, dimana aku menyadari kesombonganku sebagai manusia yang telah lalai menjaga kesehatan, dimana aku menyadari banyak sekali mengabaikan orang-orang di sekitarku, padahal ternyata orang-orang inilah yang menjadi penolongku. Sakit dan musibah adalah takdir Allah Azza wa jalla. Semoga menjadi penggugur dosaku.

Tetapi di sinilah titik balikku, dimana aku akan berusaha menjadi istri yang lebih baik bagi suamiku yang sabar dan menyayangiku di saat aku sehat dan sakit, dan menjadi ibu terbaik bagi anak-anakku. Aku akan berusaha lebih baik bagi orang-orang disekitarku. Menjaga pola makan dan pola hidup sehat. Berusaha yang terbaik dan menyerahkan semuanya pada keputusan Allah. Lebih bersabar dan tawakal dengan takdir yang Allah berikan. Dan sakit ini menjadi jalan agar selalu ingat kepada-Nya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah

17 Feb
Balas

Allah tau saat yang tepat.salam ukhuwah.sudilah kiranya kl ada waktu follow balik km.smg sht sll

17 Feb
Balas

Aamiiin. Makasih bu

18 Feb

Cara Allah agar hambaNya istirahat sebentar dari kesibukan duniawi

17 Feb
Balas

Bener. Teguran bgt ini. Byk hikmahnya

17 Feb

Sedih yeh, cerite waktu itu. Km jak endak nyangke, muji surenye agik sehat

17 Feb
Balas

Ya bu sumi, Alhamdulillah msh dikasih sehat

17 Feb



search

New Post