Widayanti Rose

Lahir dan tinggal di Sumenep, saat ini menjadi guru aktif di sebuah SD. Menulis baginya sebuah hobbi yang membawa manfaat. Tulis apapun yang berguna. Karena den...

Selengkapnya
Navigasi Web
Alas Daun Pisang
#Tantangan_Gurusiana-23

Alas Daun Pisang

#Tantangan_Gurusiana_32

Salah seorang teman facebook saya mengunggah sebuah foto yang membuatku tergugah. Foto pemandangan di sawah yang menghijau, dengan beberapa pekerja yang duduk istirahat setelah bekerja bersama. Tampak dalam foto seorang perempuan yang membawa makanan di gelar di tanah beralaskan daun. Dia sedang membagi makanannya ke piring yang berbeda.

Sungguh pemandangan langka yang membuatku rindu saat kanak-kanak dulu. Di mana saya mesti ikut Emak ke sawah, mengantarkan makanan pada pekerja. Persis seperti yang di foto ini.

Pekerja sawah kami biasanya seperti arisan. Ketika menggarap sawah, misalnya membuang rumput dan tanaman pengganggu lainnya secara bergiliran. Hari ini misalnya bagian sawah kami, besok rombongan pekerja pindah ke sawah milik Pak Raihan, lusa ganti milik Pak Rama. Begitu seterusnya sampai semua sawah pekerja selesai dikerjakan.

Saat sawah kami yang mendapat giliran, semua konsumsi kami yang menyediakan. Saat pagi baru dimulai, Eppak membawa air dalam teko untuk keperluan setengah hari nanti sampai waktu azan zuhur. Jika masih kurang, Eppak akan mengambilnya kembali ke rumah atau sumur dekat sawah.

Tak ada ponsel untuk meminta orang rumah mengantarkan pesanan. Jika ada barang tertinggal, eppak mesti pulang dengan jalan kaki atau mengayuh sepeda ontel tuanya. Biasanya di belakang boncengan inilah saya ikut ke sawah.

Butuh rengekan untuk diijinkan ikut ke sawah. Biasanya Emak melarang saya ikut, alasannya di sawah banyak nyamuk. Apalagi kalau jalan kaki, katanya saya pasti capek pulangnya.

Capek memang, tapi menyenangkan sekali. Di sawah bisa melihat bagaimana pekerja berbaris dengan kompak, lalu saat kami datang dengan makanan, mereka menyerbu kami dengan bahagia. Tentunya dengan cuci angan terlebih dahulu.

Momen seperti ini yang saya tunggu. Saya mesti ikutan mekan dengan mereka, menggelar daun jati lalu meletakkan semua makanan di atas daun yang dibiarkan saja di atas tanah.

Menunya sederhana saja, kadang bu'u' mommo -semacam nasi tiwul yang diurap kelapa muda- ditambah dengan sayur kelor, atau juga nasi jagung, ikan pindang dan sambal ala kadarnya. Meski menu rumahan, nikmatnya begitu luar biasa. Saya selalu rindu makan bersama di sawah seperti ini.

Biasanya makanan harus dihabiskan, kalau terpaksa masih ada sisa, biasanya Emak akan menawarkannya pada orang-orang di sepanjang jalan menuju rumah.

“jhube’ kalau sisanya dibawa ke rumah.” -jhube' dalam bahasa Indonesia artinya jelek-.

Jika terpaksa bekal di bawa pulang, yang unik dari kepercayaan di Madura, anak dan perawan tidak boleh memakannya.

“Kenapa gak boleh makan sisa orang di sawah, Mak?” tanya saya waktu itu.

“Gak boleh, jhube'.” Tidak perlu dijelaskan jeleknya di mana, kalau Emak sudah berkata demikian, saya gak berani melawan.

Saya sempat merasa aneh saja, Katanya itu makanan sisa. Padahal kalau makan di sawah kok boleh. Tapi saya tetap menuruti apa kata Emak. Bagi saya, bukan maksud mengikuti kepercayaan mereka tapi lebih takut pada kata-kata Emak yang laksana mantra.

Ah, jadi kangen sekali dengan suasana itu. Saat ini hampir jarang ditemukan suasana sawah yang seperti itu. Kebersamaan mereka sudah banyak diganti kecanggihan teknologi. Menyabit rumput cukup disemprot obat, hanya butuh satu orang saja untuk menyelesaikannya. Itu pun sudah tidak ada acara makan di tengah sawah.

Bukan hanya pemandangan ini saja yang sudah jarang terlihat, hal lain yang berhubungan dengan alam sudah tak saya temukan di kehidupan anak-anak masa kini.

Dulu alam begitu bersahabat dengan anak-anak. Semua permainan kami berhubungan dengan alam. Saat musim hujan, kami mengejar kupu-kupu, capung ataupun kumbang yang hinggap di pohon jagung.

Tanda alam dijadikan acuan untuk memutuskan satu hal. Petani belum menanam jagungnya saat belum terlihat tumbuhan conglacong. Katanya belum benar-benar masuk musim hujan jika tumbuhan ini belum terlihat.

Begitu juga saat memulai dan mengakhiri pekerjaan sawah, mereka menggunakan jam matahari untuk menjadi petunjuknya.

Itu dulu

Saat alam masih menjadi sahabat manusia. Sekarang keadaannya jauh berbeda. Anak-anak kita mulai asing dengan alam. Alam pun tak lagi bersahabat. Hiks

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post