EKONOMI POLITIK KEPOLISIAN DARI HINDIA BELANDA HINGGA INDONESIA
Institusi POLRI akhir-akhir ini tengah ramai diperbincangkan dan menjadi sorotan publik. Hal ini dikarenakan oleh tindakan beberapa anggota POLRI yang seolah-olah menyalahgunakan fungsi yang sedang diemban dengan memerlihatkan perilakunya yang sewenang-wenang atau bahkan dapat disebut melanggar peraturan. Adapun pernyataan tersebut dapat diketahui dari beredarnya kasus-kasus mengenai anggota kepolisian yang silih berganti muncul di media massa seolah tanpa jeda. Beberapa contoh diantaranya kasus yang sedang marak akhir-akhir ini yaitu kasus pemerkosaan anak tersangka oleh Kapolsek di Parigi, penganiyayaan anak buah oleh Kapolres di Kalimantan Utara, hingga pembantingan demonstran yang terjadi di Kabupaten Tangerang. Kasus-kasus ini cukup membuat geram banyak pihak. Kasus-kasus tersebut memunculkan cukup banyak pertanyaan yang kurang mengenakkan. Pada akhirnya masyarakat cenderung berpresepsi buruk bahkan hilangnya kepercayaan terhadap institusi berseragam coklat tersebut. namun, hal itu tidak bisa dijadikan landasan atas menormalisasi tindakan miring mereka selama ini. Mengingat gagasan didirikannya kepolisian modern ini adalah untuk memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap masyarakat di tengah-tengah masifnya modernitas. Namun benarkah demikian?
Apabila ditilik dari dari sejarah masa kolonial Belanda, Mulanya pendirian KORPS Kepolisian saat itu didasari oleh kepentingan ekonomi-politik pemerintah kolonial yang ingin segera melibatkan diri dalam geliat ekonomi imperalisme. Saat itu pemerintah kolonial ingin agar pemegang kapital dari dunia barat merasa aman ketika hendak menanamkan modalnya di tanah subur milik pemerintah koloni Belanda. Pembangunan sistem keamanan ini dikarenakan oleh ketakutan dan rasa waspada oleh pihak kolni terhadap penyerangan dan pemberontakan yang bisa saja tiba-tiba terjadi oleh pribumi. Saat itu pula pemerintah kononial benar-benar sedang berusaha untuk memulihkan perekonomian mereka akibat perang yang cukup panjang dan perang perlawanan Diponegoro. Ironisnya sebagian besar pasukan polisi Hindia Belanda berpangkat rendah adalah warga pribumi sendiri. Hal itu menjadi embrio kebencian sipil terhadap kepolisian sebab dianggap membenturkan polisi (non-militer) dengan sesama warga sipil lainnya.
Pada masa itu, kepolisisan di Hindia Belanda memegang kekuasaan yang lebih luas dari sekedar menangani masalah keamanan, melainkan polisi juga berwewenang untuk menangani masalah moral yang terjadi. Seperti halnya saat itu pihak kepolisian Hindia Belanda diketahui juga ikut serta menangkap beberapa petinggi pemerintahan yang mempunyai orientasi seksual menyimpang daripada gender biner yang dimilikinya. Peran polisi Hindi Belanda memang merangkap tugas mulai dari urusan keamanan, moral hingga urusan politik dan pemerintahan. Meluasnya fungsi yang diemban oleh pihak kepolisian Hindia Belanda inilah yang memotivasi sejarawan bernama Harry Poeze untuk memberi sebutan Negara Polisi atau Politiestaat kepada Hindia Belanda. Pernyataan tersebut bisa dibilang tidak berlebihan atau bahkan justru dinilai sangat tepat karena pada faktanya, setelah Hindia Belanda bubar, kewewenangan yang dimiliki oleh polisi juga semakin menggurita. Hal ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh petinggi negara yang juga banyak merangkap jabatan sipil. Sesuatu yang merisaukan sebagian kalangan yang mengkhawatirkan iklim demokrasi yang ada di Indonesia semakin keruh. Terlebih nilai-nilai yang dianut Indonesia kini adalah melulu soal kapitalisasi dan pembangunan.
Terdapat suatu istilah “masyarakat struktural fungsional”, istilah ini ditujukan kepada sekelompok masyarakat yang dapat menjalani kehidupan dengan pergerakan roda yang seimbang. Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh seorang sosiolog klasik berkebangsaan Amerika Serikat yang bernama Talcott Parsons. Gagasan Parsons memiliki corak yang konservatif dengan memandang bahwasanya perilaku konkret masyarakat (ekonomi) memiliki korelasi yang kuat terhadap nilai-nilai budaya yang berkembang pada masyarakat tersebut. Sistem sosial yang terdiri dari institusi ekonomi, sosial, hukum, dan budaya menjamin keseimbangan atau sikap komformitas yang ada pada suatu masyarakat. Asumsi dasarnya adalah masing-masing institusi menjaga keseimbangan antar satu dengan yang lainnya.
Dalam kacamata struktural-fungsional, didirikannya lembaga kepolisian atau institusi hukum di Hindia Belanda dideterminasi oleh nilai-nilai yang berlaku pada saat itu — modernitas dan kolonialisme. Modernitas menuntut komformitas dan birokrasi yang serba terstruktur untuk mendukung agenda progresifitas yang diusungnya. Sedangkan komformitas itu sendiri dimaknai sebagai sikap patuh terhadap struktur atau auran yang berlaku, hal ini dapat disebut juga dengan keteraturan sosial. Polisi juga memiliki wewenang untuk menindak orang-orang yang berada pada kategori “kelompok sakit” yang dianggap menghambat progresifitas. Belanda sebagai pemegang kekuasaan dalam hal ini ingin mempertahankan status quonya. Oleh karena itu pendirian polisi di Hindia Belanda merupakan ejawantah daripada nilai-nilai Eropa yang menguasai kepulauan Nusantara pada saat itu.
Setelah melihat latarbelakang sejarah yang dimiliki oleh kepolisian Hindia Belanda tersebut, dapat ditarik benang merah bahwasanya agenda ekonomi dan politik didirikannya kepolisian adalah untuk mendukung progresifitas kapital dan guna mengamankan kekuasaan pihak dominan. Poliis dianggap mampu dan mumpuni dalam mengendalikan massa melalui kekuatan dan ketahanan fisik yang telah dimiliki dan dilatih sebelumnya. Kekuatan fisik yang dimiliki oleh anggota kepolisian ini jugfa diperlukan bagi sistem yang menginginkan adanya efisiensi yang tinggi. Selain tugas tersebut, nampaknya polisi juga memiliki wewenang untuk melakukan pemberlakuan sistem hukum yang berlaku dimana hukum tersebut juga ditentukan oleh nilai-nilai budaya. Adanya keterlibatan langsung yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam kegiatan penegakan hukum ini juga memengaruhi masyarakat dengan presepsi banwasanya polisi merupakan cermin dari hukum yang berlaku dan harus ditaati. Namun dilain sisi masyarakat terutama di dunia pasca-modern merasa bahwa tidak ada yang berhak menjadi pihak yang otoriter dengan memaksakan aturan yang kaku dan menghalangi adanya kebebasan ekspresi seorang individu maupun kelompok. Dari sini penulis kemudian menarik kesimpulan bahwasanya keberadaan institusi kepolisian dengan dalih untuk melindungi keamanan warga hanyalah sebuah gagasan utopis belaka. Karena sejak awal berdirinya institusi inipun tidak terlepas dari kepentingan untuk mengamankan kekuasaan pihak dominan dan menjaga laju kapitalisasi agar terus menggurita.
Meski demikian, prespektif seseorang terhadap suatu hal tidaklah dapat dipukul secara rata. Tidak semua anggota kepolisian berbuat buruk dan menyimpang, hanyasaja penyalahgunaan wewenang yang seringkali dilakukan oleh beberapa pihak dalam institusi tersebut seringkali justru menjatuhkan citra kepolisian itu sendiri. Penulis menyarankan terhadap pembaca untuk selalu mentaati adanya peraturan yang berlaku serta menjaga ketertiban budaya yang selama ini telah ada agar tidak terjadi perselisihan paham atau bahkan permusuhan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Reportase yang keren bunda