Kebijakan Pungli..mematisurikan sekolah kecil
KEBIJAKAN PUNGLI ...
MEMATI SURIKAN SEKOLAHAN KECIL
OLEH:
WIWIK ALFIAH, S.Pd., M.Pd.
Sudah banyak surat beredar di berbagai instansi, yang isinya edaran tentang Pungutan Liar (PUNGLI). Kebijakan pemerintah tentang PUNGLI ini memang sudah disosialisasikan sejak beberapa bulan yang lalu. Bahkan pada tanggal 21 November kemarin, Presiden telah menerbitkan “Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar”.
PUNGLI jika untuk Instansi-instansi yang besar memang perlu diawasi. Karena dalam prakteknya memang sering kita jumpai, hal itu juga meresahkan masyarakat. Namun kata PUNGLI jika di dunia pendidikan perlu ditinjau ulang, perlu ada klarifikasi, jika orang jawa bilang “ojo di gebyah uyah” (jangan di sama ratakan). Apalagi itu adalah lembaga pendidikan Sekolah Dasar yang sebagian besar hanya memiliki peserta didik sedikit.
Mengapa penulis menyebut begitu? Karena kenyataan di lapangan, Sekolah Dasar itu kebanyakan ada di setiap desa. Jika desa tersebut itu besar maka peserta didiknya bisa sampai 500 anak. Namun jika sekolah tersebut ada di desa yang kecil maka jumlah peserta didiknya kira-kira antara 100-200 anak. Sedangkan untuk menuju pada manajemen sekolah yang baik membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Artinya ada beberapa kegiatan yang perlu mendapat dukungan dari walimurid selaku pemegang tanggung jawab atas anaknya.
Jika dalam istilah hukum, hukum itu berlaku dilihat dari sebab musababnya. Demikian juga dengan kata PUNGLI ini, jika pungutan yang di tarik oleh sekolah itu terlalu besar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kegunaannya serta tidak ada realisasi di lapangan maka itu bisa dikatakan PUNGLI. Namun jika dana yang dipungut itu jelas kegunaan dan laporannya serta ada realisasinya, maka menurut penulis itu bukan merupakan PUNGLI. Seperti halnya yang dilakukan oleh sekolah-sekolah kecil. Menurut logikanya, Dalam membangun sekolah yang maju dan berkualitas membutuhkan biaya. Bagaimana jika dana yang diterima oleh sekolah dari pemerintah benar-benar pas-pasan untuk operasional vital saja. Apakah sekolahan harus menghentikan kegiatan dan hanya berdiam seraya pasrah dengan kondisi. Sementara waktu terus berjalan dan anak-anak juga terun membutuhkan bimbingan dan pendidikan.
Jika demikian, mau jadi apa generasi muda yang akan datang. Mau dibawa kemana arah pendidikan selanjutnya? Mari kita renungkan bersama. Jika dalam satu sekolahan jumlah peserta didiknya hanya berkisar antara 100-150 anak. Sementara beban biaya yang harus ditanggung oleh sekolahan cukup banyak, diantaranya: membayar biaya operasional sekolah, guru sukwan, ekstra kurikuler, buku, PBM, dan masih banyak lagi. Lalu, apakah cukup hanya mengandalkan uang BOS untuk membiayai semua itu? Sementara untuk mewujudkan sekolah yang maju perlu sekali pembenahan di berbagai infrastuktur, kegiatan, manajemen, Proses belajar Mengajarnya dan lain-lain.
Lepas dari masalah besarnya biaya pendidikan di masing-masing sekolahan. Yang perlu ditinjau ulang juga ragam pungutan di sekolahan yang termasuk PUNGLI. Dari beberapa edaran yang ada di sekolahan-sekolahan ada 58 jenis pungutan yang temasuk PUNGLI. Ada Beberapa pungutan yang menurut penulis perlu ditinjau ulang diantaranya adalah Uang infak, uang seragam, uang untuk membeli kenang-kenangan, dll. Menurut penulis, pernyataan itu perlu diperjelas.
Dari beberapa pelaksana harian di sekolah yaitu para guru, sempat tergelitik membaca daftar pungutan yang termasuk PUNGLI. Bagaimana tidak? Infak adalah suatu kegiatan yang diajarkan dalam agama bahkan hal itu juga sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila. Sekolah perlu melakukan suatu pembiasaan dalam menananmkan karakter kebangsaan, sekolah perlu merangsang peserta didik untuk menjadi manusia yang mampu bersyukur. Salah satunya adalah melalui kegiatan infak. Sebenarnya kegiatan ini juga dalam rangka mewujudkan suksesnya program pemerintah tentang pendidikan berbasis karakter kebangsaan. Jika karakter itu tidak dibangun mulai sedini mungkin maka di jenjang yang lebih tinggi juga akan mengalami kesulitan.
Jadi...ironis sekali kalau infak termasuk PUNGLI. Sebenarnya hal ini justru berdampak tidak baik bagi peserta didik maupun masyarakat. Sekarang ini moral pemuda kita sebagian besar telah mengalami krisis. Hal itu juga memberikan pembelajaran yang kurang baik bagi masyarakat. Mereka akan menelan mentah-mentah informasi yang mereka dengar dan lihat. Padahal dalam kitab “Ta’lim al-muta’allim” dijelaskan bahwa syarat-syarat mencari ilmu itu ada 6 perkara, salah satunya adalah biaya.
Selain infak, yang termasuk PUNGLI juga uang seragam. Uang seragam yang bagaimanakan yang dimaksud? Itu perlu ada penjelasan sehingga tidak menimbulkan salah presepsi. Seragam adalah kebutuhan personal peserta didik. Dan kebutuhan personal itu biasanya yang menanggung juga orangtua atau walinya masing-masing.
Pungutan yang lainnya adalah uang untuk membeli kenang-kenangan. Uang untuk membeli kenang-kenangan bagaimana yang dimaksud? Karena menurut penulis, jika ada seorang guru dimutasi dari sekolahan tersebut, biasanya peserta didik akan memberikan sumbangan untuk membeli kenang-kenangan. Kejadian itu tidak setiap hari terjadi, bahkan belum tentu dalam kurun satu sampai dua tahun ada kejadian tersebut. Lantas, apakah salah mereka memberikan kenang-kenangan sebagai ucapan rasa terimakasih mereka pada guru-gurunya. Karena salah satu syarat jika kita ingin ilmu kita manfaat maka kita harus taat dan hormat pada guru. Apakah salah jika mereka ingin menunjukkan bakti mereka pada gurunya? Menurut penulis justru itu pembelajaran yang tidak tertulis namun dampaknya sangat baik bagi perkembangan mental peserta didik.
Penulis juga merasa pemerintah kurang adil karena kebijakan ini hanya berlaku bagi sekolah-sekolah Negeri saja (SDN). Sekolah-sekolah yang notabennya dikelolah oleh yayasan tidak mengikuti kebijakan ini. Padahal sekolah tersebut juga menerima BOS, lalu mengapa mereka boleh memungut? Karena perbedaan itulah maka kualitas dari sekolah swasta jauh lebih maju dibanding di sekolahan negeri.
Penulis berharap agar pemerintah juga meninjau serta mempelajari kembali kebijakan PUNGLI ini di dunia pendidikan. Karena jika dana tersebut tidak terlalu besar dan kegunaannya jelas serta sekolahan mampu merealisasikan di lapangan serta laporannya maka menurut penulis hal itu bukanlah PUNGLI.
Di jaman yang serba modern sekarang ini, sekolah dituntut untuk menyuguhkan sesuatu yang berbeda daripada yang lain, dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan teknologi, dituntut untuk menyajikan pembelajaran yang menyenangkan dan inovatif, diharapkan juga agar mampu menyuguhkan kegiatan yang dapat mengembangkan kreatifitas peserta didik. Namun, itu semua memerlukan dana, mustahil sekali jika tanpa dana, semua kegiatan di atas bisa sukses. Sementara pemerintah belum mampu mengcover semua kebutuhan itu.
Akhirnya, adanya kebijakan PUNGLI ini, banyak kepala sekolah yang takut mengadakan kegiatan yang ada hubungannnya dengan uang, mereka takut karena jika melakukan pungutan akan selalu dikejar-kejar wartawan dan LSM. Ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah peserta didik karena tidak sedikit sekolahan menghentikan kegiatan yang membutuhkan dana, bahkan infakpun dihentikan. Sekolahan hanya melakukan kegiatan sesuai dengan kemampuan dana yang dikucurkan pemerintah melalui dana BOS APBN dan BOS APBD. Hal ini yang penulis katakan mati suri, karena dikatakan mati tapi masih ada proses pembelajaran di sekolah dan masih ada penghuninya. Dikatakan hidup, juga hanya melakukan kegiatan yang utama saja, tanpa ada penyedap dan hiasan yang lain.
Apakah hal ini harus kita biarkan? Lalu bagaimanakah masa depan anak-anak kita, kapan pendidikan di Indonesia bisa maju dan berkembang pesat. Dalam kesempatan ini, sekali lagi penulis mengharap agar pemerintah meninjau ulang kebijakan ini untuk sekolah-sekolah kecil seperti sekolah dasar sehingga memberikan kesempatan sekolah untuk mengelolah sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah boleh bertindak jika sekolahan tersebut terbukti melakukan penyelewengan-penyelewengan. Semoga Pendidikan bisa kembali tumbuh normal dan bisa mencetak generasi yang handal.
000000000000&&&&&&&&&&&&&&&&&&000000000000
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar