I LOVE YOU, AYAH (BAGIAN 1)
“Mak, Togar mau bantu ayah”
Sepasang kaki mungil Togar berlari menuju tepi pantai. Pasir putih mengotori telapak kakinya yang tak menggunakan alas.
“ Jangan terlalu sore pulangnya Nak…”, ucap Mak Rodiah sambil terus menjemur pakaian di atas seutas tali yang melntang di depan halaman.
Rumah sederhana yang mereka tempati memang tak layak disebut rumah.
Berdinding tepas dan beratap rumbia yang sudah mulaiapuk disana sini. Di rumah inilah Togar, Ayah dan Emaknya tinggal. Sudah bertahun-tahun Ayah berprofesi sebagai nelayan. Kehidupan di tepi pantai pula yang menemani Togar sepanjang hembusan napasnya.
Pagi itu Togar memilih mengikuti Ayahnya melaut. Ia membatalkan niatnya pergi ke sekolah. Sebab ia ingin melunasi lebih dulu uang sekolahnya. Sejak seminggu yang lalu bu guru sudah mengingatkan tentang SPP nya itu. Tapi ia belum berani meminta pada Ayah.
Ayah sakit selama 1 minggu, berarti Ayah berhenti melaut. Togar yang duduk di kelas 5 SD Satu Atap harus menahan keinginannya meminta uang SPP. Ia paham, Ayah pasti akan memberikan jika Ayah punya uang.
Kemarin saja, secara tak sengaja Togar mendengar pembicaraan Ayah dan Emak, yang semakin membuatnya pilu.
“Yah, beras kita tinggal satu mug”
“Emak tak tahu lagi besok harus masak apa buat anak-anak”, sambung Emak sambil melipat pakaian.
Ayah menghela napas panjang, ia duduk membelakangi Togar yang mendengarkan dibalik pintu kamar.
“Bersabar ya Mak, besok Ayah mulai melaut lagi. Semoga akan ada rezeki buat anak-anak”.
“Malam mini, kita masih makan singkong saja ya Yah, biar nasinya buat anak-anak…” ucapan Emak mendapat sambutan anggukan Ayah dengan perlahan. Mataya jauh menerawang.
Saat itu Togar terdiam. Hatinya sedih mengenang kebohongan Ayah dan Emak setiapkali waktu makan. Ia dan adiknya selalu diminta makan duluan. Ternyata karena nasi hanya cukup untuknya dan 2 orang adiknya yang masih belum sekolah.
Togar menghapus airmatanya. Ia berjanji akan membantu Ayah.
“Yah.. Togar ikut melaut ya!” ucapnya mantap. Tangan Ayah masih sibuk membenahi jaring yang sudah usang.
“Ayah hanya ingin kamu sekolah, Nak”
“Biar Ayah saja yang berangkat, tugasmu hanya belajar, pergi sana!” kali ini Ayah memandang Togar dengan wajah yang tegas.
“Tapi Ayah…” Togar masih berusaha memohon. Wajahnya memelas dihadapan Ayah.
Dengan lembut, tangan kekar Ayah mengusap kepalanya.
“Nak, jika kamu pintar dan terpelajar, kamu tidak akan merasakan kemiskinan.”
“Pergilah sekolah, katakan pada gurumu, Ayah akan membayar uang sekolahmu, besok”
“Ayah ingin kamu jadi orang pintar, Nak”
Togar mengangguk. Bibirnya tak mampu berucap satu patah kata pun. Hatinya perih dan pilu. Karena ia tahu, Ayah masih belum sehat betul. Sesekali batuk terdengar dan dadanya yang kurus berguncang. Namun Ayah tetap memenuhi tanggungjawabnya pada keluarga.
Semangat Ayah, begitu memacu Togar untuk mewujudkan mimpinya. Mimpi Ayah dan Emaknya.
Togar melangkah pulang. Ia berjanji akan rajin belajar Ia ingin membanggakan Ayah. Kelak Ayah akan tersenyum melihat ia telah sukses dengan pakaian toga. Sepanjang jalan, senyumnya mengembang pertanda ia sedang menghayal.
Setelah berpakaian rapi, Togar berangkat. Ia mencium tangan Emak dan mencium pipi adiknya yang sedang bermain di dekat dapur.
“Mak, Togar berangkat dulu ya…”
“Assalamualaikum..”
Emak menjawab salam, dan terus memandangi Togar dari kejauhan. Togar yakin Emak sedang berdoa untuknya.
---
“Woiii Togar, cepatlah, nanti kau terlambat!”
Dapot memanggil sambil melambaikan tangan. Ia berlari kearah Togar
“Kau bilang mau ikut ke laut, nggak jadi?” Tanya Dapot bersemangat.
“Ayahku melarang, Ayah ingin aku belajar, biar pintar dan bisa keliling dunia, hebat kan?”, Togar tertawa terbahak-bahak. Ia mengucapkan mimpinya dengan keras.
Keliling dunia, ya, melihat banyak tempat dengan ilmunya. Semoga cita-citanya bisa terkabul.
Lonceng besi yang terlihat sudah bengkok berbunyi nyaring. Pak Efendi kepala sekolah sudah tersenyum di depan pintu kantor. Sebenarnya kantor kepala sekolah itu pun belum layak disebut kantor Sekolah Satu Atap ini memang masih sangat memprihatinkan. Tetapi semangat belajar siswa dan semangat para guru dalam mengajar sangat besar. Pak Efendilah yang menjadi salah satu penyulut semangat itu.
Siang yang terik, tak membuat lelaki paruh baya itu surut untuk mengantar anak didiknya di depan pintu. Ia ingin menyalami satu persatu siswanya yang masih ingin meraih mimpi.
Kebanyakan dari anak nelayan di desa Ambargo ini, memang pada akhirnya putus sekolah. Tapi tidak buat Togar. Ia punya semangat, ia ingin mengubah nasib. Sambil berjalan menuju rumah Togar pun berjanji, akan selalu ingat nasihat ayah.
_______
“Togar, tidak ada kaum yang mampu mengubah nasibnya, selain kaum itu sendiri,” kata ayah perlahan
Ditemani lampu teplok di teras rumah malam itu, Ayah berbicara panjang lebar padaTogar.
“Sama dengan kita, tak akan bisa kelar dari kemiskinan jika kita tidak belajar,” lanjut Ayah
“Dulu Kakek dan nenekmu selalu berpesan pada Ayah, untuk belajar meski hanya mampu sampai tamat SD, tapi Ayah bangga, akhirnya bisa berhitung cermat dan bisa membeli sampan sendiri”
Togar menatap wajah Ayah yang sumringah penuh harapan.
“Ayah yakin, kamu bisa sekolah lebih tinggi dari Ayah, lalu, kelak kehidupanmu bisa lebih baik dari Ayah”
“Ya Ayah, insyaallah, “ jawab Togar mantap
“Nak… jadilah laki-laki yang kuat, Karena Ayah sangat bangga padamu.”
Malam semakin larut. Angin malam semakin kencang. Togar menggandeng Ayah masuk ke rumah. Waktunya ia istirahat dan berjanji tetap sholat malam jika ia terbangun dinihari nanti. Suara deru ombak mulai keras terdengar. Malam itu, semesta juga mendukung semangat Togar menggapai cita-cita.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Jadi teringat masa SD selalu membantu ayah menangkap ikan dengan sampan di pinggiran danau toba bu Ketum.
Nice story'...
Kisah yang menarik dan penuh haru..
Haru...