DARI RUPIAH HINGGA TAKA
Pernahkah anda berada di suatu tempat yang berkesan, tanpa menduga sebelumnya? Bermimpi sebelumnya pun tidak? Beberapa jam terakhir selalu baru tahu jika akan berada di sebuah tempat baru lagi. Catatan perjalanan berikut saya alami sekitar tiga tahun yang lalu. Momennya seperti saat ini, akhir sebuah tahun. Setiap tahun akan berganti, saya selalu bersyukur telah diberi segala karunia hidup. Sisa usia akan berkurang satu lagi. Bertambahnya angka usia saat itu saya lewati di Bandara King Abdul Azis, Madinah. Sebuah pergantian tahun yang tanpa terompet dan kembang api, yang biasanya seakan-akan turut merayakan hari kelahiran saya. Meski demikian rasa bahagia itu tetap memuncak.
Semua kejadian di penghujung tahun 2014 itu menggulir begitu saja. Ketika saya diajak berangkat umroh oleh suami, saya langsung setuju. Tidak seperti sebelumnya yang ada rasa sayang. Lebih baik dananya ditabung untuk ibadah haji. Tapi ajakan kali itu benar-benar lain, saya langsung mantab. Kebetulan pula bertepatan dengan libur akhir semester. Perjalanan waktu demi waktu telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Ibadah seharusnyalah tidak ditunda-tunda lagi selagi kita mampu melaksanakannya.
Awalnya kami akan berangkat bersama teman kerja suami. "Aduh, sayang sekali waktunya koq kurang pas. Tanggal itu kan sudah tiba harus masuk sekolah lagi", kata saya kepada suami. Saya ingin bisa beribadah saat libur sehingga tidak banyak meninggalkan murid-murid di kelas. Rencana tersebut pun dibatalkan. Suami segera mencari biro perjalanan umroh lain yang lebih sesuai dengan waktu libur saya. Akhirnya menemukan biro umroh yang keberangkatannya lebih tepat waktunya bagi saya.
Hari keberangkatan tiba, tanggal 24 Desember 2014. Pagi itu kami dilepas keluarga yang mengantar di Masjid Sabilillah Malang. Bus membawa rombongan menuju bandara Juanda. Episode tiba-tiba berada di suatu tempat tanpa rencana sebelumnya pun dimulai. Di bandara Juanda kami baru tahu jika penerbangan tidak menuju ke Jeddah atau Madinah langsung sebagaimana umumnya. Separuh rombongan berangkat dengan Air Asia menuju Kuala Lumpur. Separuh lagi termasuk saya dan suami menunggu keberangkatan berikutnya. Lama juga kami terpisah waktu berangkat dari separuh rombongan. Hujan deras yang mengguyur sempat memicu rasa cemas.
Alhamdulillah, akhirnya kami terbang dengan pesawat Air Asia. Sekitar 2 jam kemudian kami sampai dan turun di bandara Internasional Kuala Lumpur. Di sana telah menunggu rombongan pertama. Untuk mengganjal perut yang mulai protes kami mencoba panganan ala bandara itu, atau sekedar mi gelas. Ternyata sama juga rasa mi gelas Kuala Lumpur dengan di Indonesia.
Setelah ada instruksi dari ketua rombongan, kami pun dibawa bus menuju salah satu hotel di Kuala Lumpur. Kira-kira 1 jam perjalanan dari bandara kami pun tiba di hotel, yang belakangan saya ketahui berada di Jalan Raja Laut, Kuala Lumpur. Setelah di Juanda tergabung dengan beberapa calon jamaah dari kota lain, antara lain, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, di hotel itu tergabung lagi dengan beberapa calon jamaah dari Pandaan. Total jumlah rombongan kami pun menjadi 70 orang, dari berbagai usia. Mulai dari anak-anak usia 8 tahun hingga orang tua usia kira-kira 80 tahun.
Mungkin hampir semua jamaah berpikir singgah sebentar di hotel untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju tanah suci. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Kami akan bermalam, dan baru besuknya akan melanjutkan perjalanan. Keesokan harinya kami tidak menerima kepastian kapan berangkat. Ada berbagai informasi yang simpang siur sehingga keberangkatan belum dapat dipastikan. Rombongan menjadi resah. Pagi-pagi sekali pun ada berita mengenai hilangnya pesawat Air Asia di perairan Laut Jawa sekitar Pulau Bangka Belitung. Kabar burung yang beredar di rombongan bahwa pesawat tersebut adalah yang ditumpangi separuh rombongan kami yang pertama sore harinya. Informasi tersebut berasal dari keluarga salah satu rombongan yang menjadi pramugari Air Asia. Benar tidaknya kami belum tahu pasti. Yang jelas kabar tersebut menambah keresahan kami yang sudah terlanjur berada di negeri orang. Di antara kami, ada yang diam pasrah, ada pula yang ingin protes meski akan mendapatkan jawaban yang kurang diharapkan. Akhirnya kami pun harus mengikuti jadwal yang ditetapkan kemudian. Revisi total dari jadwal semula. Betapa tidak, di jadwal tertulis hari tersebut seharusmya kami sudah berada di Madinah, namun masih juga berada di Kuala Lumpur.
Pagi hari pertama saat sarapan di hotel, ada yang lain saat mendengar sebuah perbincangan. “Anda dari mana?”, tanya orang luar rombongan. “Dari Indonesia, Malang Jawa Timur”, jawab teman satu rombongan saya. Terdengar aneh, kenapa ada jawaban dari 'Indonesia'. Ternyata saya sempat lupa jika tengah berada di negeri orang. Hari pertama di Kuala Lumpur kami jalan-jalan di sekitar hotel. Senang juga bisa melihat satu sudut kota itu. Ternyata banyak orang keturunan India saya temui. Kami pun senyum-senyum saat membaca istilah-istilah baru di sepanjang jalan. Di depan toko, warung, atau tempat tertentu yang ada tulisannya selalu kami cermati. Tidak sulit sebenarnya untuk memahami istilah baru itu, meski terasa aneh juga. Sebagai contoh, Pakar Telinga, Hidung, dan Tekak, saya perkirakan maksudnya adalah Ahli Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT). Strim dan tonton percuma Youtube, percuma artinya gratis. Pusat penjaja, artinya pusat perbelanjaan. Tiada kenaikan tambang, artinya tidak ada kenaikan tarif. Di halaman parkir, ada papan bertuliskan bas sahaja, tentunya artinya adalah khusus bus. Dan masih banyak lagi.
Sore hari kami diajak jalan-jalan oleh perwakilan biro perjalanan pada rombongan kami ke pusat perbelanjaan. Kami ke Pasar Baru sekaligus mencoba naik kereta monorel untuk menuju ke sana. Pengelolaan alat transportasi serba mesin. Urusan tiket tidak dengan seorang pegawai, tetapi hanya menggunakan koin.“ Pantas saja jalan di Kuala Lumpur tidak macet seperti di kota-kota besar di Indonesia,” pikirku. Sebatas yang saya lihat, sepeda motor sedikit sekali. Ini mungkin dikarenakan telah tersedia alat transportasi umum yang memadai, seperti kereta monorel tadi.
Mobil-mobil buatan Jepang seperti Toyota, Honda tidak sebanyak di Indonesia. Sebaliknya terlihat juga mobil nasional yang juga digunakan sebagai alat transportasi di sana. “Wah, hebat!”, gumamku saat itu. Saya awam masalah ekonomi, namun saya dapat memberikan perumpamaan sederhana. Andaikan dua orang mempunyai sejumlah uang yang sama. Orang pertama menggunakan uangnya untuk membeli bahan dan membuat suatu karya. Sedangkan orang kedua menggunakan uangnya untuk membeli suatu barang yang sejenis dengan barang yang akan dibuat orang pertama. Kemungkinan besar untuk menjadi berlipat ganda uangnya adalah uang orang pertama. Banyak nilai tambah yang akan didapatkan, meskipun membutuhkan keahlian atau ketrampilan tertentu. Jika perbandingan itu untuk suatu negara, pastilah negara yang berkarya akan lebih kaya daripada negara yang lebih sering sebagai konsumen.
Hari kedua, dengan bus kami diajak berkeliling ke tempat-tempat wisata di Kuala Lumpur. Pertama yang kami kunjungi adalah Petronas Towers. Kemudian ke Cocoa Boutique, semacam rumah coklat yang menjual berbagai permen dan panganan berbahan coklat. Berikutnya kami singgah di Kuala Lumpur Tower. Di sana ada juga jajanan sebagaimana di Indonesia, yaitu jagung serut keju.
Dengan suasana gerimis, pada tengah siang kami sholat jamak dhuhur ashar dan makan siang di Masjid Jami’ Kuala Lumpur. Saya sempat ‘akrab’ dengan masjid Jami’. Saya terpeleset jatuh saat berlari kecil di terasnya. Sakitnya di bawah dada hingga berhari-hari. Usai makan nasi kotak di teras masjid, kami berbincang dengan penjaga keamanan masjid. “Wah, ternyata dunia sempit juga”, pikirku. Penjaga tersebut ternyata seseorang yang merupakan saudara dari pemilik toko Mutiara, Jl. Gajah Mada, Kota Batu. Kami berpamitan dan jalan-jalan dilanjutkan ke Istana Negara, Monumen Nasional, dan Merdeka Square (Dataran Merdeka).
Empat hari kami di hotel sering sholat berjamaah dilanjutkan manasik umroh di salah satu lobi hotel. Selebihnya kami dibebaskan. Mau jalan-jalan sekeliling hotel atau naik kereta monorel lagi boleh. Akhirnya pada hari ke-4, kami mendapat kepastian untuk berangkat ke tanah suci. Kecemasan atas ketidakmenentuan itu akhirnya berakhir teriring rasa syukur tak terkira. Kamipun meninggalkan hotel dengan bus menuju Bandara Internasional Kuala Lumpur. Sepanjang jalan kekaguman saya muncul kembali. Beratus-ratus hektar tanah tertanami kelapa sawit, penghasil devisa negara. Sebaliknya banyak terlihat apartemen atau rumah susun penghemat lahan untuk pemukiman warga. Tanah dipelihara seluas-luasnya untuk ditanami kelapa sawit. “Bagus sekali kebijakan pemerintahnya”, pikir saya saat itu sok tahu.
Perjalanan ke sana pun kembali menghadirkan sesuatu yang tiba-tiba kembali. Sebelumnya tidak terbersit pikiran akan mendarat di Kota Dhaka. Namun penerbangan kelihatannya membutuhkan itu. Meskipun tidak sampai turun pesawat, namun kami sudah berada di negara Bangladesh. Sekitar 1 jam kami menunggu, dan akhirnya berangkat lagi menuju Madinah. Pagi dini hari tanggal 1 Januari 2015 bertepatan dengan hari lahir saya, kami mendarat di Bandara King Abdul Azis, Madinah. Hampir seluruh anggota rombongan sujud syukur dibawah tangga pesawat. Kami begitu bersyukur akhirnya dapat menginjakkan kaki di tanah Kota Madinah, kota yang kami angan dan impikan beberapa hari terakhir itu. Sedangkan syukur saya ganda, yaitu telah genap berusia 45 tahun.
Jika tidak ada kendala seharusnya rombongan berada di Madinah dulu selama 4 hari, baru kemudian ke Mekkah. Tetapi karena keberangkatan kami yang tertunda maka kami langsung menuju Mekkah. Singkat cerita, dengan berucap syukur Alhamdulillaah, ibadah kami berjalan lancar dengan selalu berharap ridho Allah SWT. Selain beribadah kami juga berziarah ke tempat-tempat bersejarah Islam. Pada hari ke-6 di Mekkah kami melanjutkan ibadah ke Madinah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW.
Ketertundaan di Kuala Lumpur itu membuat kami dapat bertemu dengan teman suami yang rencana awal akan berangkat bareng, namun kami berangkat lebih dulu. Beliau baru meninggalkan tanah air dan saat itu sedang berada di Madinah. Kemudian melanjutkan ibadah ke Mekkah, dan akhirnya kembali ke tanah air dengan lancar. Sudah berada di tengah-tengah keluarganya kembali. Sedangkan kami masih saja berada di Madinah. Berangkat lebih dulu, namun pulangnya lebih terlambat.
Kami lama di Madinah. Ketika seharusnya kami pulang ke tanah air, lagi-lagi ada penundaan. Ketidakpastian membuat kami resah kembali. Seorang teman jamaah pun ada yang mengungkapkan kecurigaannya saat kami diajak istighosah di masjid Nabawi. Menurutnya istighosah itu hanyalah sebagai pelipur dan pengisi waktu kosong. Astaghfirullaah, hingga sebegitu resahnya situasi jamaah hingga kami menjadi lupa. Mungkin karena belum ada kepastian bagaimana dan kapan kami dapat kembali ke tanah air. Sampai ada beberapa jamaah yang memperhitungkan biaya perjalanan, ingin pulang secara mandiri. Masing-masing di antara kami teringat akan keluarga, anak-anak, dan kewajiban pekerjaan. Tidak terkecuali saya dan suami karena ditambah kabar dari keluarga jika anak kedua tengah terbaring dirawat di rumah sakit karena demam berdarah. Saat hati lemah membuat saya menangis di tengah doa yang saya panjatkan untuk anak-anak saya di rumah, untuk kelancaran beribadah beserta perjalanannya, dan untuk orang-orang tercinta semuanya.
Doa dan sabar kami berbuah. Setelah 9 hari berada di Madinah atau tepatnya tanggal 15 Januari 2015 kami dapat pulang menuju tanah air. Rentetan keruwetan perjalanan belum usai. Tiketnya bukan tertulis Madinah-Surabaya, Madinah-Jakarta, atau minimal Madinah-Kuala Lumpur. Namun tertulis Madinah-Dhaka. Tidak mengapa, asal kami dapat pulang menuju tanah air sudah membuat kami senang dan bersyukur.
Dalam penerbangan itu ada satu keanehan yang saya rasakan. Hari siang terasa pendek. Terbang menuju arah timur dari Madinah menuju Dhaka selepas Shubuh, namun tidak lama kemudian langit sudah redup mengatakan bahwa siang telah habis. Senja kami telah berada di udara negara Bangladesh. Sekitar jam 8 malam kami turun di bandara Kota Dhaka. Rutinitasnya kami laksanakan lagi, yaitu cek tiket, barang bawaan, dan paspor. Kami istirahat kurang lebih selama 4 jam di ruang tunggu bandara. Saya memperhatikan situasi dan orang-orang yang tentunya mayoritas warga Bangladesh. Saya hanya beli 1 botol air mineral yang seingat saya seharga 20 Taka. Saya diperbolehkan membayarnya dengan mata uang Real, yaitu 1 Real.
Perjalanan dilanjutkan. Ternyata dari Dhaka kami menuju bandara Kuala Lumpur lagi. Semakin mendekati tanah air, semakin terkikis kegundahan kami. Setelah sampai di ruang tunggu bandara Kuala Lumpur dan kami berkumpul, ada seorang teman yang menyeletuk "wes, numpako gethek, omahe wes cedhek saiki..". Ungkapan tersebut karena begitu senangnya sudah berada di negara tetangga. Seakan sudah dekat sekali dengan rumah. Jauh berbeda apabila istilah dekat itu diucapkan sekarang. Pergi ke Kuala Lumpur Malaysia tentu termasuk perjalanan jauh bagi saya sekarang. Ungkapan sebagai luapan kegembiraan setelah di Arab Saudi maupun Bangladesh keresahan telah merampas senyum kami.
Mendengar keberangkatan pesawat masih beberapa jam lagi, saya dan suami jalan-jalan di bandara yang lengkap sebagaimana mall tempat belanja. Kami memilih stand yang ada kursi di mana konsumen bisa duduk sambil dipijati punggung dan lehernya. Karena terlalu lelah, saya dan suami sampai tertidur. Untung saja semua barang bawaan utuh dan tetap ada di depan kami. Kemudian kami singgah di sebuah cafe hanya untuk makan makanan kecil dan minum kopi sebagai alasan untuk mengais setrum baterai handphone (HP) kami. Kami ijin recharge HP ke pemilik cafe. Sedikit energi baterai yang kami peroleh hanya kami gunakan untuk komunikasi dengan keluarga yang menjemput di bandara Juanda nantinya.
Kelegaan kami belum tuntas. Lagi-lagi kami tidak paham, mengapa penerbangan menuju Jakarta, tidak langsung ke Surabaya? Perasaan ingin segera tiba di rumah bertemu anak-anak melibas pertanyaan yang ingin terucap. Asalkan kami bisa terbang menuju tanah air, entah akan turun di kota apapun tidak masalah. Kamipun turun di bandara Halim Perdana Kusuma. Untuk menuju Surabaya, penerbangan domestik, haruslah naik bus dulu ke Soekarno Hatta. Semua berjalan dengan lancar, meskipun tidak ada bantuan dari biro umroh dalam pembawaan koper dan barang bawaan lainnya. Di antara anggota jamaah umroh saling membantu. Kejadian-kejadian yang meresahkan kami sejak keberangkatan dulu, membuat kami semakin dekat dan semakin mengenal satu dengan yang lainnya.
Perjalanan panjang kami sebentar lagi akan berakhir. Perjalanan pulang dengan tidak ada baterai di handphone kami. Tidak ada dokumentasi, tidak banyak komunikasi dengan keluarga atau teman, tidak pula ada mandi pagi dan sore selama dua hari. Sesampainya di Juanda kami dijemput oleh keluarga masing-masing. Bersyukur tak terkira bisa berada di tengah-tengah keluarga yang telah lama menanti. Peluk tangis bahagia menyelimuti malam kedatangan kami. Terutama untuk anak kami yang baru sembuh dari sakitnya.
Berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar pergantian tahun 2014 - 2015 itu lebih menyadarkan kami bahwa manusia hanya bisa berencana. Manusia seakan dapat mengatur segala sesuatunya, namun Allah SWT mempunyai rencana lain. Apa yang terjadi tentunya adalah yang dikehendaki oleh Allah SWT, dan itu adalah yang terbaik bagi hambaNya. Peristiwa yang tidak sesuai dengan kehendak kita membuat kita resah, protes, dan bahkan penuh kecurigaan terhadap pihak lain. Mungkin Allah menghendaki untuk kita lebih lama dalam melepaskan segala beban pikiran mengenai keluarga, pekerjaan, dan urusan dunia lainnya. Andaikan hal ini kami sadari saat perjalanan umroh itu, mestinya kami akan lebih bersyukur. Kami bisa lebih lama beribadah dan berziarah di tanah suci Mekkah dan Madinah. Mestinya kami harus yakin bahwa suatu saat pasti akan dapat kembali ke tanah air tanpa keresahan yang berlebihan.
Tiga tahun berlalu, kenangan perjalanan itu membuat saya ingin mencari informasi di situs-situs internet. Iya, ada yang menuliskan mengenai kesulitan perjalanan beberapa rombongan jamaah umroh di waktu itu. Kami ada di antaranya, yaitu disebutkan nama biro dan jumlah jamaah dalam rombongan kami. Penyebabnya dituliskan karena kurangnya armada penerbangan menuju dan kembali dari Arab Saudi. Mungkin keberangkatan saat itu yang dipaksakan? Kami tidak tahu pasti. Yang jelas keruwetan kala itu berubah menjadi kenangan perjalanan yang cukup berkesan. Karena keruwetan itu pula kami menjadi tahu tempat-tempat yang tidak terbayangkan sebelumnya akan pergi ke sana.
Selain rangkaian ibadah, sesuatu yang berkesan lagi adalah minimal pernah bertransaksi dengan beberapa jenis mata uang, mulai Rupiah hingga Taka. Pernah diberi tiket penerbangan yang distempel empat negara dalam 20 hari. Yang pasti begitu banyak pengalaman dan pelajaran berharga yang dapat kami peroleh untuk diambil hikmahnya. Sungguh sebuah perjalanan ibadah yang begitu berkesan dan semoga Allah selalu meridhoinya. Aamiin.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar