Wiwik Suluh Trisna Handriyani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

BUDAYA JAJAN

"Ma, adik mau berangkat dulu,ya?”

“ Ya. Hati-hati di jalan. Yang pinter,ya? Patuh pada bapak dan ibu guru.”

“ Uang jajannya mana, Ma?”

Percakapan seperti itu mungkin sering ditemukan sehari-hari ketika anak berpamitan ke sekolah. Jajan tampaknya sudah menjadi tradisi yang susah dihilangkan di negeri ini. Sampai-sampai ada istilah uang jajan. Anak setiap kali berangkat sekolah, tidak akan lupa meminta uang jajan ketika berpamitan. Uang jajan menjadi semacam kewajiban yang harus ada. Mengapa hal ini terjadi? Apakah ini budaya asli Indonesia dari jaman dahulu kala?

Coba kita menoleh ke belakang. Pada jaman dahulu, orang membawa bekal makanan ketika mereka harus meninggalkan rumah dalam waktu yang cukup lama; misalnya: ketika mereka ke sawah dari pagi hingga sore, melakukan perjalanan jauh, pergi berburu, menuntut ilmu di tempat yang jauh, dan sebagainya. Namun dengan adanya perubahan dan perkembangan jaman, terjadi pula pergeseran budaya. Pada jaman dahulu, mayoritas wanita menjadi ibu rumah tangga, yang dengan setia dan tulus ikhlas mengurusi rumah tangga. Mereka sangat perhatian pada kebutuhan suami dan anak-anaknya. Mereka akan setia menyiapkan makanan untuk keluarga, termasuk bekal untuk suami dan anak yang akan berangkat bekerja atau belajar. Sekarang ini, banyak wanita yang menjadi wanita karir, yang bekerja di luar rumah karena berbagai alasan. Ada yang ingin membantu ekonomi keluarga, mengamalkan ilmu atau sekedar mengaktualisasikan diri. Seiring dengan itu, peran ibu menjadi berubah. Ibu tidak hanya mengurusi rumah tangga tetapi juga menjadi penyangga ekonomi keluarga. Waktu ibu untuk di rumah menjadi sempit. Bagi yang mampu membayar asisten rumah tangga mereka membagi tugas dengannya. Bagi yang tidak, tak jarang urusan rumah tangga menjadi keteter. Termasuk untuk menyediakan makan keluarga. Wanita karir seperti mereka memilih membeli makanan siap saji dengan alasan tidak ada waktu untuk memasak atau karena lelah.

Hal tersebut berpengaruh juga dengan kebiasaan membawa bekal. Ibu merasa cukup memberi bekal uang jajan pada anaknya. Ibu sendiri perlu mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Budaya jajan ini lantas dianggap solusi yang paling ampuh. Mereka tidak menyadari efek dari budaya jajan ini. Padahal, sarapan dan bekal makanan yang sehat bagi anak sangatlah penting. Sarapan juga sangat penting bagi anak, karena dengan sarapan, kebutuhan energi untuk beraktifitas hingga waktu makan siang tiba dapat terpenuhi. Dengan perut yang sudah terisi, anak sebenarnya tidak perlu jajan.

Kenyataan menunjukkan bahwa jajanan yang dijual di sekolah- sekolah, pada umumnya kuang sehat dan jauh dari standar gizi. Jajanan yang dipasarkan banyak yang merupakan fast food dan minuman yang bersifat instant. Makanan seperti ini banyak mengandung pengawet, pewarna buatan, pemanis buatan, zat pengenyal, dan zat-zat kimia seperti monosodium glutamate, dan sejenisnya. Zat-zat semacam itu bisa memicu berbagai penyakit berbahaya, seperti kanker, tumor, penyakit lupus, dan lain-lain. Daya tahan anak pun menurun.

Untuk menghindari budaya jajan ini, perlu pembiasaan membawa bekal. Seperti di negara-negara lain, baik anak sekolah hingga karyawan kantoran pun akan membawa bekal setiap hari. Misalnya ketika penulis ke Australia, di sana tidak ada anak sekolah jajan. Demikian pula karyawan / pegawai. Semua membawa bekal yang bisa dipanaskan di microwave yang tersedia di sekolah atau kantor. Di Jepang anak makan bersama di sekolah dengan makanan yang sehat. Setiap sekolah mempunyai ahli gizi yang mengawasinya. Di beberapa sekolah dicanangkan gerakan membawa bekal. Penulis sangat salut dengan kabupaten Purwakarta yang dengan Peraturan Bupati mencanangkan sekolah bebas kantin. Setiap siswa harus membawa bekal sendiri.

Mengapa membawa bekal sendiri dianggap lebih baik daripada jajan? Berikut ini beberapa alasan yang akan penulis paparkan.

1. Dengan membawa bekal, diharapkan anak akan mengkonsumsi makanan yang lebih sehat dan bergizi serta bervariasi.

2. Kebersihan makanan lebih terjaga, karena orang tua bisa memastikan bahwa wadah makanan dan alat makan yang dibawa lebih bersih. Tak jarang kantin- kantin di sekolah karena harus melayani anak dengan cepat, mereka tidak mencuci wadahnya ( Mangkuk, gelas, piring, sendok) dengan bersih. Bahkan dengan alasan kepraktisan, mereka menggunakan sterofoam yang jelas tidak ramah lingkungan dan bisa mengeluarkan kimia berbahaya ketika makanan panas ditaruh diatasnya.

3. Ada kedekatan psychologis antara anak dan orang tua, khususnya ibunya yang menyediakan makanan baginya. Anak bisa menghargai jerih payah orang tua yang sudah menyisihkan waktu dan tenaga untuk menyiapkannya.

4. Anak bisa berbagi makanan dengan temannya. Hal ini sangat baik untuk menjalin silaturahmi dan kekeluargaan di antara mereka.

5. Menghilangkan budaya jajan yang menumbuhkan sifat konsumtif serta gaya hidup boros.

6. Mengurangi sampah yang mencemari lingkungan. Umumnya jajanan di jual dengan kemasan plastik, di mana setiap anak bisa saja menghasilkan 2 atau 3 sampah plastic dari jajanan mereka setiap harinya. Tentu saja hal ini tidak baik bagi lingkungan. Dengan membawa bekal sendiri, diharapkan anak membawa wadah yang bisa di gunakan kembali setiap hari sehingga tidak menghasilkan sampah.

Tentunya masih banyak manfaat yang bisa diambil dari pembiasaan membawa bekal sehat ini. Mari kita mulai mengurangi dan bila mungkin menghilangkan budaya jajan. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi pembaca.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Betul, mbak. Ketika sudah membudaya, akan sulit sekali keluar sebab lingkungan ikut mendidik. Maka ketika seperti Purwakarta, dilarang ada yg berjualan di sekolah, mungkin bisa menghilangkannya. Peran kebijakan pimpinan lembaga juga sangat penting.

22 Feb
Balas

Dulu dan sampai sekarang anak2 hanya mau membawa bekal jika ada pelajaran tambahan saja. Dan itu dia lakukan jika tidak sampat makan di rumah. Tapi uang saku tetap mereka minta lho mbak. Padahal ortu selalu siap dengan bekal lho. Mungkin karena teman2 juga jarang yang bawa bekal ya

20 Feb
Balas



search

New Post