Wiwik Suluh Trisna Handriyani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Episode 2 KEJUTAN DI MALAM SUNYI

Rumah Pak Prawira, Kepala Desa Wanatirta tempat kami bertugas boleh dibilang sangat luas. Halamannya cukup luas dengan tanaman-tanaman hias yang terawat rapi. Bagian depan rumah itu berupa ruang terbuka berbentuk pendapa dengan ukuran 8 x 5 meter. Pendapa ini memiliki tiang-tiang dari kayu jati yang bagian atasnya berukiran tradisional. Kaso dan reng atapnya tampak sengaja di-ekspose memberikan kesan artistik. Biasanya Pak Prawira menerima tamu dan menggunakan ruang ini untuk pertemuan dengan warga atau pengurus desa. Rumah induk yang menyatu dengan pendapa juga cukup besar. Ada empat kamar, ruang keluarga dan ruang makan yang cukup luas. Sebagian besar perabotan rumah ini terbuat dari ukiran kayu jati. Kami berenam menempati pavilion belakang yang terpisah dari rumah induk dengan adanya area terbuka yang biasa untuk menjemur pakaian. Ada dua kamar yang cukup besar. Aku dan Mela menempati satu kamar, sementara yang cowok: Aditya, Raymon, Reza dan Randy di kamar satunya.

Pak Prawira mempunyai satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Anaknya yang laki-laki konon seorang mahasiswa tehnik. Dia jarang pulang karena tinggal di rumah kost dekat kampusnya. Anak perempuannya Anggita masih sekolah di SMA di kota yang agak jauh dari desa. Aku lihat, hanya keluarga Pak Prawira yang anaknya bersekolah tinggi. Kebanyakan di kampung itu anak hanya menamatkan SD dan beberapa yang sampai SMP. Setelah itu mereka akan membantu orang tuanya di kebun teh atau kebun kopi yang tak jauh dari kebun teh. Ada juga penduduk yang mengolah sawah.

Pak Prawira dulunya seorang pelaut. Pengalamannya berlayar ke beberapa negara tentu membuka wawasannya. Setelah cukup kaya, dia memutuskan untuk berhenti berlayar dan membeli tanah- tanah di kampung. Dia pemilik perkebunan teh dan kopi di desa Wanatirta. Tanahnya tiap tahun bertambah karena dia membeli pula sawah-sawah penduduk yang dijual. Karena kaya dan sangat berpengaruh, maka dia dipilih menjadi Kepala Desa. Tak heran kalau gaya hidupnya berbeda dengan orang-orang asli Wanatirta. Justru penduduk asli banyak yang bekerja sebagai buruh di perkebunan dan sawahnya.

Kami sebenarnya akan mengadakan pertemuan dengan seluruh pamong desa pada malam hari. Namun karena peristiwa di hutan itu membuat kami lelah dan perlu istirahat. Oleh karena itu kami putuskan paginya saja. Malam itu kami berkumpul di teras pavilion sambil menceritakan pengalaman kami. Tentu saja masalah pribadi antara aku dan Aditya tidak kami ceriterakan. Bahkan kami sepakat untuk bersikap biasa di depan teman-teman. Oleh karana itu mereka tidak tahu bahwa kami sudah memproklamirkan cinta kami.

“ Mela, sudahkah kamu laporkan bahwa orang-orang itu mengubur sesuatu di perkebunan itu?” tanyaku pada Mela.

“ Sudah, tetapi rupanya orang-orang itu sudah mengambilnya lagi sebelum kabur. Jadi waktu dicek ke situ sudah tidak ada.”

“ Aku jadi penasaran. Apa yang disembunyikan, ya? Mungkinkah mereka mengubur senjata, emas permata, ataukah uang?” kata Randy penasaran,

“ Itulah yang menjadi teka teki kita.” Aditya berkata. “ pertanyaannya, siapa orang-orang itu? Kemana mereka lari?” lanjut Aditya.

“ Yang jelas mereka pasti bukan orang baik-baik. Ketika tadi Mela menceriterakan ciri-ciri mereka ke Pak Kades dan penduduk yang ikut mencari kalian, mereka bilang tidak mengenal orang- orang seperti itu di desa ini.” kata Reza.

“ Ih, aku jadi takut.” kata Mela. Mela berbadan kecil, ramping dan anak tunggal yang biasa dilindungi papa mamanya. Berbeda dengaan aku yang anak prajurit, biasa dididik keras dan disiplin dari kecil. Orang tuaku selalu memberi kepercayaan pada anak-anaknya sehingga tidak terlalu khawatir ketika aku ikut mapala di kampus.

“ Tenang, Mel… kan ada beta, Bang Raymon, pengawal setiamu.” kata Raymon yang memang humoris. Wajah Raymon sebenarnya cukup manis. Hidungnya mancung, giginya berderet putih rapi, rambutnya ikal, hanya kulitnya saja yang hitam khas Ambon.

“ Huu… yang ada kamu mah pagar makan tanaman.” Kata Mela sambil memonyongkan bibirnya yang mungil.

“ Oh, tentu saja tidak Nona manis. Tak mungkin beta makan kau. Kau ini kan tanaman beracun. Ha…ha…” jawab Raymon berusaha mencairkan suasana.

“ Sudahlah. Kalian ini mulai seperti Tom and Jerry.” kata Aditya. “ Sebaiknya kita istirahat dulu. Ini sudah cukup malam. Besok kita harus mengadakan pertemuan dengan pamong desa.”

“ Iya, tuh. Kasihan Putri pasti kelelahan.” tukas Reza.

Aditya memandangku. Disipitkannya matanya sambil mengangguk memberi kode agar aku istirahat. Kulempar sekilas senyumku.

“ Baiklah teman-teman. Kami masuk dulu,ya?” Aku menggamit lengan Mela dan kami pun masuk kamar untuk istirahat. Para cowok pun masuk ke kamar mereka. Di luar bunyi jangkerik, orong-orong dan binatang malam nyaring bersahutan. Suasana desa ini benar-benar sepi di malam hari. Belum semua penduduk mampu memasang listrik karena tak mampu membayar iuran bulanannya.

Keesokan harinya ketika sayup-sayup terdengar adzan subuh dari surau yang agak jauh, aku terbangun. Setelah bangun tidur baru terasa badanku pegal-pegal. Aku ulurkan otot. Kuliukkan kesamping kanan dan kiri, membungkuk dan kutarik ke atas agar lentur kembali. Aku segera keluar menuju kamar mandi. Hanya ada satu kamar mandi yang di pavilion. Mela belum bangun. Anak mama itu masih pulas. “ Ah, kubangunkan nanti saja setelah aku mandi,” batinku. “ Toh nanti harus antri mandinya.” Aku keluar kamar mandi. Kulihat Aditya juga pas membuka pintu mau ke kamar mandi juga. Dia langsung tersenyum dan mendekatiku.

“ Sudah bangun, sayang? Gimana tidurmu? Kamu bisa tidur, kan?” tanya Aditya pelan, khawatir ada teman yang mendengar.

“ Alhamdulillah, nyenyak,” jawabku. “ Kamu sendiri?”

“ Syukurlah kalau bisa nyenyak. Aku malah ngga bisa tidur,” kata Aditya. Kupandangi dia dengan penuh tanya.

“ Kenapa?” tanyaku agak heran.

“ Soalnya kepikiran kamu,”

“ Ih, mulai deh. Pagi-pagi nge-gombal,” kataku. Ntah mengapa aku jadi senang juga digombalin. Kucubit Adit agak keras. Dia nyengir kesakitan.

“ Silahkan Tuan Puteri mandi dulu. Hamba siap menjaga Tuan Putri,” kata Aditya sambil mempersilahkan aku, berlagak seperti pangeran. Duh… dia kan memang pangeranku sekarang. Aku bahagia bisa ngobrol berdua tanpa ada teman-temanku.

“ Aku mandi dulu,ya? Awas jangan ngintip!” kumonyongkan mulutku ke arahnya.

Aku pun mandi dengan cepat. Khawatir Aditya dan teman-teman mengantri. Kami yang muslim harus segera sholat subuh. Waktu subuh sangat singkat. Di samping itu aku tidak kuat mandi lama-lama dengan air pegunungan sedingin es ini. Setelah itu Aditya mandi disusul teman-teman yang lain. Agak susah juga aku membangunkan Mela. Maklum udara sangat dingin. Di luar bahkan masih berkabut. Matahari belum muncul karena masih waktu subuh.

“ Brrr… dingin sekali airnya. Kalau ngga malu sama para bidadari ini, tak mandi beta,” kata Raymon.

“ Kamu tuh, ya? Mandi tidak mandi sama saja. Ngga bakal jadi putih,” kata Mela yang selalu beradu mulut dengan Raymon. Kami semua tertawa melihat ekspresi muka Raymon yang ditekuk lucu.

“ Mulai deh… Tom and Jerry beraksi kembali,” kata Reza.

Kami mahasiswa semester akhir. Tapi kalau sudah campur, tak beda dengan anak-anak. Ada saja yang diributkan. Ledek meledek menjadi menu harian setelah tugas-tugas yang kadang memusingkan. Apalagi dalam tugas begini, keakraban kami makin terasa.

Matahari mulai menampakkan wajahnya. Menyibak kabut pagi yang menyelimuti desa Wanatirta. Aroma rumput dan daun basah yang menyisakan embun menawarkan sensasi segar pagi yang cerah itu. Burung-burung kecil mencericit riang menyambut pagi. Sepasang bondol putih mengepakkan sayap berkejaran dengan mesra. Sesekali sang betina menjerit manja. Setelah lelah mereka hinggap diranting pohon rambutan di depan pavilion. Pemandangan yang membuatku cemburu.

“ Pengin?” tiba-tiba suara Aditya mengejutkanku. Aku tak mendengar kedatangannya. Aku menoleh sambil tersenyum simpul. Aditya malah cengar-cengir dengan sorot mata meledekku.

“ Pengin apa?” tanyaku berlagak pilon.

“ Seperti burung itu. Berdua, mesra. Kulihat dari tadi kamu memperhatikannya”

“ Hm… berarti kamu juga,” kataku.

“ Sabar ya, Sayang. Nanti sehabis wisuda aku akan melamarmu.” kata Aditya.

Aku kaget dengan ucapannya yang tanpa ragu itu. Kutatap lekat wajahnya. Pagi ini dia sangat kasual. Celana jins dan hem lengan panjang yang digulung, rambutnya yang masih rapih dan segar sehabis mandi, semakin menonjolkan kegantengan pangeranku ini. Aku lagi-lagi cuma tersenyum.

“ Perasaan dari tadi cuma senyum-senyum saja. “ kata Aditya.

Tiba-tiba Raymon datang. “ Hei. Sudah siapkah kalian? Mari kita sarapan di rumah induk. Tadi ibu Kades sudah nyuruh orang panggil kita,” kata Reymon yang memecah kekakuanku.

“ Aku curiga nih. Kalian tampaknya semakin mesra saja,” Mata Raymon menatap aku dan Aditya silih berganti.

“ Ah, ngacau kamu nih. Mana yang lainnya?” Aditya mengelak.

“ Mereka sudah menunggu kalian di sana,” Raymon menunjuk rumah induk.

Kami pun segera bergabung dengan yang lain. Tampak di meja makan besar itu Pak Prawira beserta isterinya, seorang gadis berseragam SMA, Mela, Reza dan Randy. Bu Prawira memasak cukup istimewa. Nasi putih hangat mengepul wangi. Ada ikan goreng, tahu, tempe, oseng kacang panjang, dan sambal goreng kentang. Ada juga sambal, lalap dan kerupuk. Rasanya untuk sarapan terlalu banyak. Biasanya paling kami makan nasi goreng atau bubur ayam. Kadang malah Cuma lauk telur ceplok.

“ Ayo kalian cicipi masakan ibu. Masakan kampung. Jangan malu-malu.” Kata ibuPrawira.

“ Oh ya, kenalkan ini anak gadis kami, Anggita. Kemarin dia pulang sore karena sekolahnya jauh di kota, jadi belum sempat menemui kalian.” Kata Pak Prawira.

Anggita tersenyum dan menganggukkan kepala agak malu- malu. Dia ulurkan tangannya pada kami satu persatu. Gadis ini cantik rupawan. Remaja yang baru mekar bak bunga yang sedang segar dan enak dipandang. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Rambutnya lurus sebahu, hitam terawat. Tak pantas jadi gadis yang tinggal di desa terpencil ini. Pantasnya jadi artis sinetron. Wajahnya mirip dengan bu Prawira, ibunya. Randy dan Raihan menatap gadis itu tak berkedip. Apalagi Raymon. Mulutnya sampai melongo. Kutendang kakinya di bawah meja. Dia cengar- cengir mau protes. Karena kami datang belakangan, maka kami duduk bersisian. Aku diapit Raymon dan Aditya.

“ Norak banget sih kamu. Di kampus juga banyak kali…,” bisikku pada Raymon.

Kulirik Aditya cuek-cuek saja. Bahkan dia malah asyik menatapi lukisan pemandangan yang ada di ruangan itu. Matanya beralih pada guci-guci antik yang dipajang. Mungkin itu oleh-oleh Pak Prawira ketika menjadi pelaut. Aditya sudah terbiasa dikerubuti cewek cantik di kampus. Mereka calon-calon dokter yang tajir dan rajin perawatan. Atau mungkin karena ada aku? Entahlah.

Makan pagi saat itu masih agak kaku karena kami masih merasa sebagai tamu. Hanya perbincangan basa-basi seputar rencana kegiatan kami hari itu. Anggita buru-buru meninggalkan meja sebab sudah ditunggu sopir yang akan mengantarnya sekolah. Sebelum pergi, kulihat dia memandang Aditya dengan pandangan yang lain. Ah, mungkin perasaanku saja. Mungkinkah aku cemburu? Atau khawatir kalau Aditya akan menyukainya? Kutepiskan pikiran buruk itu. Toh dia masih anak-anak. Baru kelas satu SMA.

Selesai sarapan kami langsung ke pendapa menunggu bapak=bapak pamong desa yang lain. Sambil menunggu kami berbincang-bincang dengan bapak dan ibu Prawira mengenai masalah-masalah yang mungkin bisa kami bantu di desa itu. Hal ini penting sebelum kami membeberkan rencana kerja yang akan dibahas bersama pamong desa.

Pendapa terbuka itu memungkinkan kami melihat sekeliling dengan jelas. Kukernyitkan alis mataku. Tempat dudukku pas menghadap ke jalan di depan halaman pendopo. Dari tadi kulihat seorang laki-laki bertudung caping mondar –mandir di jalan depan itu. Ada kalau tiga atau empat kali aku melihatnya. Tiap kali lewat, dia pelankan langkahnya dan menoleh ke arah pendopo. Lelaki itu mengenakan pakaian seperti petani biasa. Tapi perawakannya agak kekar dan tinggi. Agak jauh letak jalan dari tempatku duduk. Sebab sebelum ke jalan ada halaman yang luas di depan pendopo. Aku tak bisa melihat jelas wajah laki-laki itu. Aku mempunyai firasat yang tak enak. Pak Prawira dan istrinya masuk ke rumah induk.

” Dit, kau memperhatikan jalan ngga? Aku melihat ada laki-laki yang sudah mondar-mandir tiga atau empat kali. Tiap lewat menatap kemari,” bisikku pada Aditya.

“ Ngga. Aku tadi kan sedang berbicara dengan pak Kades. Mungkin dia naksir kamu,” jawab Aditya berseloroh.

“ Ih, kamu nih. Aku serius. Firasatku berkata jelek,” jawabku.

“ Ah, kau ini perempuan suka negative thinking. Mungkin dia hobi jalan-jalan,” sahut Raymon sekenanya.

“ Mana ada orang hobi jalan-jalan momdar-mandir bolak balik? Kalau hobi jalan-jalan, ke tempat yang indah dan belum pernah dikunjungi. Baru itu betul,” kata Mela.

“ Put, kau lihat wajahnya?” tanya Reza,

“ Ngga, kan jauh dan dia tampaknya sengaja menutupi wajahnya dengan caping yang lebar itu,” jawabku.

“ Kamu jadi nakutin aku,Put,” kata Mela.

“ Ini kenyataan, Mel. Kukira kita tetap harus waspada. Kita kan belum mengenal daerah sini. Apalagi orang-orangnya”

“ Betul,Put. Siapa tahu mereka orang-orang yang kemarin mengejarmu,” kata Randy makin membuat cemas.

“ Sudahlah, kita jangan menduga-duga yang tak pasti. Kita di sini niatnya baik. Inshaallah, kita akan dilindungi Allah,” kata Aditya menetralisir ketegangan itu.

Tak lama kemudian para pamong satu persatu datang. Acara pertemuan pun dimulai. Mula-mula Pak Prawira memperkenalkan pamong desa satu persatu. Setelah itu giliran Aditya memperkenalkan kami. Beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain penyuluhan tentang kesehatan ibu dan balita, penyuluhan tentang rumah sehat, gizi seimbang, pembuatan jamban keluarga, perlunya pendidikan dan beberapa keterampilan untuk memanfaatkan potensi wilayah. Kami juga akan mendatangi SD untuk mengajarkan anak-anak tentang perlunya menjaga kesehatan diri, termasuk menggosok gigi. Meskipun kami dari kedokteran, kami memberikan juga penyuluhan tentang perlunya koperasi desa. Kami sudah bagi tugas masing-masing serta pamong pendamping kami.

Selesai pertemuan, setelah makan siang kami berenam berjalan keliling kampung untuk mempelajari kondisi lapangan secara lebih detail. Kami menyusuri jalan kampung yang berbeda dengan hari sebelumnya. Kami melintasi pematang sawah. Banyak kulihat tanaman pertaniannya, termasuk tanaman cabai dan sayuran. Sambil keliling kampung, kami berkenalan dengan penduduk yang kami temui. Di tengah sawah ada dangau tempat berteduh. Setelah hari semakin panas, kami berteduh di dangau. Enak sekali melempar pandangan jauh ke hamparan sawah yang hijau. Semilir angin di terik siang serasa hembusan angin surga. Daun dan batang-batang padi seperti ombak mengalun lembut. Di kejauhan kulihat beberapa burung bangau terbang berarak. Lalu bersama-sama turun ke persawahan. Gunung yang melatari pemandangan ini tampak menjulang . Cuaca sangat cerah. Langit biru membuat gunung itu tampak utuh. Hanya pucak kepundannya yang tertutupi gumpalan awan cumulus yang putih berarak terbawa angin.

“ Wah, enak sekali duduk di sini,ya? Pemandangan ini seperti lukisan. Damai sekali orang hidup di sini,” kata Mela.

“ Petani itu lebih merdeka daripada orang kantoran. Mereka bisa mengatur sendiri waktu kerja mereka. Tidak ada yang membatasi dan mengawasi. Yang membatasi mereka hanya rasa lelah dan cuaca. Mereka bekerja dengan ikhlas dengan keyakinan yang mengawasi Allah.” kata Reza yang paling alim diantara kami.

“ Benar kamu,Za. Tapi meskipun tidak ada yang mengatur, mereka tidak santai-santai. Mereka bekerja dari pagi-pagi sebelum matahari terik menyengat. Siang selepas dzuhur mereka sudah kembali ke ladang.” kata Randy.

“ Ray, itu temanku ngapain di sana?” tanya Mela sambil menunjuk orang-orangan sawah. Kami menoleh ke sana semua.

“ Enak saja, kau pikir beta seperti orang-orangan sawah?” Kata Raymon. Kami semua tergelak.

“ Kalian itu berantem terus. Lihat saja nanti, kalau berpisah kalian pasti akan saling merindukan.” kata Aditya.

“Kau benar, Dit. Jangankan berpisah lama, setiap detik aku selalu merindukannya,” kata Raymon. Mela jadi manyun bibirnya. Matanya yang bulat indah mendelik kearah Raymon.

“ Yuk kita kembali saja. Sudah hampir Dzuhur nih.” Ajak Randy.

Akhirnya kami kembali ke rumah Pak Kades sambil ngobrol di jalan. Sampai di rumah tercium bau masakan yang harum. Bu Prawira dibantu asisten rumah tangganya rupanya sudah memasak. Selesai sholat dzuhur kami makan siang dan kembali ke pavilion.

Kurebahkan tubuhku di kamar. Kamar ini sederhana tapi cukup rapi dan luas untuk kami berdua. Aku dan Mela tidur satu ranjang . Ada lemari pakaian dan meja kerja di kamar ini. Aku ingin istirahat sebentar. Nanti sore aku dan Mela akan bertemu dengan ibu-ibu di pendapa.

Sore selepas ashar aku dan Mela siap menemui ibu-ibu. Di desa ini belum ada perkumpulan semacam PKK yang terorganisir. Apalagi posyandu. Hanya ada kelompok pengajian. Aku dan Mela menjelaskan pada ibu-ibu pentingnya membentuk PKK dan Posyandu. Kami akan membantu pembentukannya karena kami akan tinggal di desa ini selama sebulan. Ibu-ibu tampaknya senang sekali. Bu Prawira sebagai ibu kepala desa menyambut baik dan beliau bersedia menjadi ketua penggerak PKKnya. Kami akan mengajarkan keterampilan pada ibu-ibu, seperti menjahit, memasak, dan membuat kerajinan. Aku bersyukur selama ini dididik keras oleh kedua orang tuaku. Ibuku selalu mengatakan bahwa perempuan harus bisa ini itu. Tidak boleh bilang tidak selama sesuatu itu kelihatan dan bisa dipelajari. Ternyata besar sekali manfaatnya. Aku bisa berbagi dengan ibu-ibu di sini. Sore itu Aditya sebagaai koordinator kami sempat menunggui kegiatan kami. Ibu-ibu senang melihat Aditya yang ganteng.

“ Aduh… ganteng sekali nak Aditya ini. Coba ibu punya anak gadis. Pasti ibu jadikan menantu,” kata seorang ibu. Ibu- ibu yang lain tertawa.

“ Kalau dokternya ganteng dan cantik-canti begini, pasti pasiennya senang berobat,” kata ibu yang lain.

Aditya sangat fleksibel. Dia tidak canggung menanggapi ibu-ibu. Dia memang sudah pantas jadi dokter yang sabar dan baik hati.

Malamnya seperti biasa sesudah makan malam kami ngobrol di teras pavilion. Raymon memainkan gitar yang selalu dia bawa kemanapun sambil menyanyi. Suaranya bagus memecah keheningan.

“ Ayo Put, kamu yang nyanyi.” Kata Raymon.

“ Ngga ah. Lagi ngga in the mood. Mela saja tuh. Bagus suaranya.” kataku.

“ Ok aku nyanyi. Tapi habis ini gentian,ya?” kata Mela.

Setelah Mela menyanyi, Aditya menggamit lenganku.

“ Kita duet saja,yuk. Lagu lama. Endless love,” ajak Aditya. Aku sebenarnya malu, tapi akhirnya aku mengiyakan setelah didesak Raymon dan Mela. Mungkin karena kami menyanyi dengan perasaan, semua hening mendengarkan. Rasanya syahdu sekali.

My love

There’s only you in my life

The only thing that’s bright

My first love

You’re every breath that I take

You’re every step I make

And I

I want to share

All my love with you

No one else will do …

Aditya menyanyi sambil menatapku mesra. Tampaknya dia bahagia sekali. Aku pun larut dalam lagu. Selesai menyanyi, semua tepuk tangan.

“ Wuih! Ternyata kalian pasangan yang serasi sekali,” kata Raymon yang dari awal suka menggoda kami.

“ Apaan sih kamu, Ray.” Kataku tersipu malu. Mungkin aku tak pandai menyembunyika perasaanku.

“ Iya dong… jangan sirik,ya?” kata Aditya.

Malam kian larut. Jam menunjukkan pukul 22.30 . Udara malam mulai menusuk tulang hingga ke sumsum. Kami segera masuk kamar masing- masing. Tetapi perasaanku tidak enak. Tiba-tiba aku kepikiran orang yang tadi pagi mondar-mandir seperti memata-matai kami. Kucoba memejamkan mata. Mela sudah mulai pulas di sebelahku. Tepat jam 24 malam, aku mendengar suara orang mengetok- ngetok tembok kamar dari luar. Tiba- tiba terdengar suara pintu ditimpuk batu. Aku menajamkan pendengaranku. Kudengar kamar cowok di buka pintunya.

“ Siapa itu?” Suara Raymon memanggil. Aku keluar kamar. Pada waktu kubuka pintu, aku melihat sebuah bayangan berkelebat lari ke arah belakang. Antara pavilion dan rumah induk adalah ruang terbuka yang hanya dipagari pagar hidup berupa pohon beluntas yang di potong rapi. Ada pintu pagar dari kayu untuk akses keluar ke pekarangan belakang pavilion. Mungkin untuk memudahkan orang ke pekarangan belakang daripada harus memutari rumah induk dan pendopo. Orang itu lari melewati pagar itu. Raymon mengejar orang itu. Aditya, Reza dan Randy keluar kamar mendengar kegaduhan.

“ Ada pa,Put?” tanya Aditya.

“ Ada orang nimpuk pintu kamarku dan lari ke sana. Raymon sedang mengejarnya.” Jawabku cemas.

Tanpa banyak bicara, ketiganya menyusul kea rah Raymon. Gelapnya malam yang mulai berkabut membuat repot pencarian. Aditya mendengar suara mengerang di bawah pohon nangka. Segera dia menuju ke sana. Ditemukannya Raymon sedang mengerang kesakitan memegangi kakinya.

“ Ray, kemana orang itu? Kamu ngga apa=apa?” tanya Aditya.

“ Dia lari ke sana. Aku ngga bisa mengejarnya, dia memukul kakiku dengan balok itu.” kata Raymon sambil menunjuk arah larinya orang itu.

Reza dan Randy yang sudah sampai ditempat itu segera menolong Raymon. Memapahnya ke pavilion. Aku tidak diperbolehkan menyusul khawatir ada yang menyusup. Mela bangun dan menghampiriku.

“ Ada apa,Put?” tanya Mela sambil mengucek matanya.

“ Ada yang menteror kita. Teman-teman sedang mengejar orang itu.”

“ Ih. Serem amat. Aku jadi ngga nyaman.” Kata Mela ketakutan. Sebagai mahasiswa kedokteran, Mela tidak takut dengan darah atau semacamnya, tetapi dia tidak pernah mengalami kekerasan.

“ Itu mereka datang. Aduh… apa yang terjadi dengan Raymon?” tanya Mela.

Reza dan Randy membaringkan Raymon di tempat tidur. Mereka segera mengobati Raymon. Aditya memeriksa sekeliling. Dia menemukan batu yang dipakai melempar pintu. Ada secarik kertas yang membungkus batu itu. Kertas ancaman.

AWAS KALAU KALIAN MACAM-MACAM DI KAMPUNG INI.TUNGGU APA YANG AKAN TERJADI”

Aditya meremas kertas itu dan membawanya ke kamar cowok. Dia tidak ingin membuat kami semakin takut.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

cerpen yang selalu luar biasa

07 Nov
Balas

Pengin kukumpulin jd novel

07 Nov

Luar biasa..kerennnnn..

11 Nov
Balas

terima kasih Mbak

11 Nov



search

New Post