wulan sari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
AKU INGIN DIBANGKITKAN SEBAGAI ISTRIMU
Tantangan Hari Ke 82

AKU INGIN DIBANGKITKAN SEBAGAI ISTRIMU

“Terimalah aku Dean, aku mohon.” Ini untuk yang ketiga kalinya ia mengungkapkan keinginannya menikahi aku.

Aku sebenarnya mulai tertarik dengan perhatian dan kebaikannya. Dalam pandanganku ia adalah lelaki yang baik. Bahkan yang terpenting untuk kedua anakku ia sangat peduli. Sudah cukup banyak bantuan yang ia berikan untuk keluargaku yang timpang. Aku membesarkan kedua anak yang berusia 5 tahun dan juga 8 tahun tanpa ada seorang suami yang memberikan naungan tempat bergantung dan berbagi. Berat memang tak akan kupungkiri itu.

Sesungguhnya Bang Dimas mempunyai seorang calon yang sudah di pilihkan oleh orang tuanya. Mereka sudah saling bertukar cincin akan tetapi entah apa yang membuat ia justru memilih aku untuk menjadi pendampingnya. Bukankah menikahi seorang gadis jauh lebih baik dibandingkan dengan janda beranak dua seperti aku. Pernah aku melihat perempuan yang dijodohkan itu, parasnya ayu dan sepertinya bang Dimas sangat cocok dengannya. Bahkan ia seorang guru di salah satu SLTP yang ada di kota kami. Ia jauh lebih baik dibandingkan aku. Memang ada rasa penasaran mengapa aku, namun aku tak mau mempertanyakan apa alasannya karena aku tak ingin memberikan harapan apa-apa.

“Ini sebuah gelang emas, sebagai tanda mata jika engkau menerimaku maka pakailah.” Aku melihat pada sorot matanya sesaat.

Aku tak tahu apakah ini harus ku terima atau tidak. Melihatku hanya terdiam dan menatap jauh iapun seolah mengerti bahwa aku masih penuh kebimbangan.

“Baiklah aku pamit dulu sudah sore.”

Kepulan asap motornya sudah menghilang, namun masih saja aku bertahan duduk di beranda rumah. Saat masih ada bapaknya anak-anak setiap sore kami menikmati cemilan dan segelas teh hangat. Ia sangat senang sekali melihat kelincahan anak-anak yang asik bermain di rerumputan depan. Berlari kian kemari dengan penuh keceriaan.

Mungkin aku bukanlah perempuan yang kuat, akan tetapi aku belajar kuat. Aku bekerja demi kedua anak ini. Tidak kupungkiri banyak keadaan yang membuat aku sangat merindukan keberadaan pendamping. Namun setiap kali keinginan itu ada, wajah lelaki yang mendahuluiku itu selalu saja datang. Ia lelaki yang telah memberikan banyak kebahagiaan, ia yang membuatku kuat dan menjadi wanita yang berbeda. Karena cintanya aku ingin selalu bersamanya meski itu hanya berupa kisah lama. Akan tetapi ceritanya tak pernah usang dalam hatiku walau sudah tiga tahun yang lalu ia meninggalkan kami. Kenangan bersamanya akan selalu kesimpan dengan baik.

“Dek, berjanjilah untuk setia hanya aku lelaki di dalam hidupnya hingga engkau akhir hidupmu.” Sinaran matanya yang elok membuat aku selalu suka melihatnya dengan lama.

Ada keteduhan dari wajahnya yang sederhana. Ia adalah sahabat terbaik, suami bertanggungjawab dan ayah yang penuh dengan kasihsayang. Aku selalu merasa beruntung bisa mendapatkan imam seperti dirinya. Hingga di hari terakhir kami berjumpa, dalam dekapan dadaku ia menghembuskan nafas terakhir. Jangan Tanya bagaimana hancurnya aku saat itu, betapa sulitnya menata pecahan bagian hidupku hingga mampu kembali utuh menatap masa depan. Untunglah ada suara-suara penuh rindu yang selalu bergelayat. Itulah suara mereka yang memanggil ibu dari buah cinta kami membuatku tersadar dan kian kuat menata hari.

“karena janji itu engkau enggan menerimaku?” ia seolah kecewa dengan apa yang ku utarakan.

Aku menggeleng tanda menepis pernyataannya.

“Bukan,” berat aku untuk meneruskannya.

“lantas karena apa?” ia masih saja mencoba mempertanyakan alasanku yang sebenarnya.

Sesaat suasana hening. Iapun tak mengucapkan satukatapun setelah itu. mungkin baginya sudah cukup tanya yang ia lemparkan. Hanya menunggu, menunggu apa sesungguhnya yang membuat aku terus bertahan dengan kesendirian sebagai orang tua tunggal.

“Sejujurnya akupun tidaklah menafikan akan kekuranganku, engkaupun tampaknya seorang yang baik, akan tetapi aku ingin nanti di saat aku dibangkitkan aku tetap menjadi istri almarhum suamiku.” Keheningan hilang dengan kalimatku, namun kembali hening beberapa saat setelah itu.

Aku tak tahu pasti bagaimana perasannya saat itu. Entah mungkin ia kecewa untuk semua kebaikan yang ia berikan pada ku dan anak-anak yang tak berbalas. Akhirnya dengan lunglai ia berpamitan pergi. Sepertinya amat berat sekali dengan apa yang didengarkannya. Sejak saat itu tak pernah lagi aku bertemu dengannya. Bahkan sebuah pesan singkatpun tak pernah ada darinya. Dengan itu bertambah besarlah keyakinanku bahwa ia adalah lelaki yang baik. Sangat mengerti dan memahami kondisi yang dihadapi.

Setiap terbersit ingatan tentangnya, terus saja ku iringi dengan doa agar ia mendapatkan pendamping hidup yang baik. Penuh keberkahan dan bersama hingga JannahNya. Begitu juga dengan aku dan almarhum, “tunggu aku hingga nanti kita kembali bersama.”

Hadist Abu Dardaa Shahih no : 128

Seorang wanita bagi suaminya yang terakhir

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post