COBA SAJA TINGGALKAN DAN ABAIKAN ANAKMU!
Terkadang kita sebagai guru merasa sangat lelah, gregetan dan nelangsa ketika menghadapi anak – anak usia remaja yang “sulit”, sulit untuk diajak bekerjasama saat di kelas, suka mengganggu temannya, tidak peduli dengan pelajaran yang diberikan, kurangnya rasa hormat kepada teman bahkan gurunya sendiri, lebih jauh lagi menjerumuskan diri mereka sendiri pada tindakan yang merugikan masa depan mereka. Tingkah laku yang demikian itu acap kali dilakukan oleh anak – anak tertentu, yang seolah – olah meminta perhatian lebih dari sang guru. Dan anak – anak inilah yang sering kali membuat kita mengelus dada dan membuat kita belajar untuk lebih bersabar dan bijaksana dalam menyikapinya.
Mungkin akan sangatlah mudah jika dengan hanya sekedar memberikan hukuman ataupun teguran kepada anak tersebut, tingkah laku buruknya bisa segera berubah. Akan tetapi pada kenyataannya anak – anak “sulit” ini tidak mempan dengan sekedar pemberian ceramah ataupun siraman kalbu yang pada umumnya hanya akan masuk lewat telinga kiri dan langsung keluar dari telinga kanan mereka.
Ada banyak faktor yang perlu dijadikan pertimbangan dalam mendekati anak – anak “sulit” ini. Dan diperlukan sebuah “obat” yang pas bagi mereka. Namun jika kita mau telusuri lebih jauh, pada umumnya dan yang paling sering dijumpai, anak – anak “sulit” ini paling banyak berasal dari keluarga yang tidak lagi harmonis. Memang harus diakui sejatinya ada teriakan duka yang tidak disuarakan dan bahkan mereka sendiri tak bisa menyadari dari anak – anak yang dianggap “sulit” ini.
Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa adanya pengaruh hubungan antara perceraian orang tua terhadap perkembangan kognitif seorang anak maupun kemampuan anak dalam membuat keputusan yang tentunya akan mempengaruhi masa depan anak tersebut. Dalam sebuah artikel berbahasa inggris yang dimuat di situs heritage.org mengungkapkan hubungan perceraian dengan perbagai permasalahan serius yang bisa terjadi yaitu:
“Divorce is linked to a number of serious problems beyond the immediate economic problem of lost income. For instance, the children of divorced parents are more likely to get pregnant and give birth outside of marriage, especially if the divorce occurred during their mid-teenage years, and twice as likely to cohabit than are children of married parents. Moreover, divorce appears to result in a reduction of the educational accomplishments of the affected children, weakens their psychological and physical health, and predisposes them to rapid initiation of sexual relationships and higher levels of marital instability. It also raises the probability that they will never marry, especially for boys.” (Patrick Fagan, 1999)
Salah satu permasalahan yang disebutkan dalam artikel diatas adalah adanya kemungkinan yang lebih besar bagi anak korban perceraian untuk hamil di luar pernikahan dan berkurangnya pencapaian dalam pendidikan. Belum lagi permasalahan hubungan sosial anak yang berakibat pada pergaulan mereka, kecenderungan untuk bertingkah agresif dan terlibat dalam tindakan bullying atau perundungan.
Terkadang bukan hanya sekedar perceraian tetapi ada juga beberapa kasus seperti si anak ditinggalkan begitu saja oleh ayah atau ibu sejak kecil tanpa sedikitpun memberikan kabar. Ataupun anak yang sebenarnya memiliki keluarga lengkap namun kontrol yang kurang dari orang tua juga bisa menyebabkan anak – anak ini cenderung untuk memiliki tingkah laku yang tidak dibenarkan secara nilai - nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.
Anak – anak yang kita anggap sulit dan menjengkelkan ini dengan berbagai permasalahan yang mereka timbulkan ternyata adalah korban. Korban dari sebuah tindakan pengabaian dari orang tua mereka yang secara emosional tidak lagi ada untuk mereka. Hal inilah yang kadangkala kita luput untuk menyadarinya. Dan kita sebagai guru tidak bisa hanya memandang dari kulit luar seorang anak yang kita anggap “sulit”. Diperlukan pemahaman isi yang lebih dalam dari si anak tersebut dan hangatnya kasih sayang untuk mendekati mereka.
Beruntunglah bagi mereka yang berasal dari keluarga yang lengkap, yang memiliki seorang ayah dan ibu yang masih mau memarahi saat anak berbuat salah dan memberikan contoh teladan bagi anak – anak mereka. Pada dasarnya pondasi sebuah pendidikan adalah berasal dari keluarga. Guru dan institusi pendidikan adalah ibarat orang asing yang dititipi untuk melatih, mengasah dan mengembangkan anak kearah yang lebih baik. Namun penanaman karakter dasar untuk menjadi seorang anak yang siap menjadi pribadi baik dan sukses itu berasal dari keluarga.
Semoga kita semua sebagai orang tua diberikan kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik dalam setiap langkah yang kita ambil. Karena keputusan kita itu mempengaruhi arah masa depan kita dan secara tidak langsung juga masa depan yang lain.
Referensi :
https://www.heritage.org/marriage-and-family/report/how-broken-families-rob-children-their-chances-future-prosperity diakses pada tanggal 8 Februari 2020.
http://www.allresearchjournal.com/archives/2017/vol3issue2/PartG/3-2-106-798.pdf diakses pada tanggal 8 Februari 2020
https://www.youthvoices.live/2017/01/12/child-development-and-behavior-broken-homes-hopes-and-dreams/ diakses pada tanggal 8 Februari 2020
http://ftp.iza.org/dp1206.pdf diakses pada tanggal 8 Februari 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar