Sudaryanti

Yanti adalah nama panggilan. Bekerja sebagai guru MTs Negeri 2 Pontianak kelahiran 6 Juli 1973 di Kota Ketapang. Pendidikan terakhir S-2 Bahasa Indonesia. Ibu d...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kado Impian Nayra (Part 26)

Kado Impian Nayra (Part 26)

Tantangan menulis 60 hari (hari ke-41)

#tantanganGurusiana

Kado Impian Nayra (Part 26)

Sudah beberapa hari ini Arya berusaha mencari peluang agar bisa memanggil Jiwo. Sayangnya ia belum juga mendapatkan kesempatan karena Devi selalu berada di rumah. Apabila ia harus menemui Jiwo di luar sana lebih tidak mungkin dengan keadaan kesehatannya yang masih belum stabil. Sembari berbaring lelaki itu mengulik kontak-kontak sahabat lama di gawainya.

“Bang, abis magrib nanti aku akan pergi ke rumah Wak Saad. Hari ini Cik Imah ulang tahun jadi mereka mengadakan selamatan. Abang mau ikut?” suara Devi memecah perhatiannya. Arya merasa mendapat kesempatan yang selama ini ditunggunya.

“Tak usahlah, Dek. Pergilah bersama Emak. Abang ingin tiduran saja supaya cepat sembuh,” jawabnya pelan ia tak ingin Devi mengetahui kegembiraannya.

“Abang tak apa-apa bila ditinggal sendiri?” tanya Devi berusaha meyakinkan.

“Abang baik-baik saja. Tak usah buru-buru pulangnya. Pasti banyak sanak keluargamu di sana yang juga ingin bertukar cerita. Insyaallah Abang tak-apa-apa sendirian di rumah.”

Percakapan mereka sore ini adalah percakapan yang paling membahagiakan bagi Arya. Benar saja setelah salat magrib Devi dan Emak pamit pergi ke rumah Wak Saad. Bukan berjalan kaki tapi menggunakan skuter matiknya. Alasannya tentu saja karena Devi ingin cepat pulang jika Arya tiba tiba sakit dan menelponnya.

Suara skuter semakin menjauh. Arya bergegas turun ke halaman dan mengambil bola hitam yang ia sembunyikan dari balik daun-daun kering. Tergopoh-gopoh ia kembali ke rumah. Setelah menutup pintu depan dan menguncinya, ia meletakkan bola itu di meja. Selanjutnya lelaki itu pergi ke dapur untuk membuat secangkir kopi kemudian membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sana setelah terlebih dahulu mematikan lampunya. Tinggal bias cahaya dari beranda dan ruang keluarga yang menyinarinya. Dari balik saku celana panjangnya ia mengeluarkan sebungkus rokok. Mengambilnya sebatang dan menyulutnya. Sejenak bibirnya bergerak-gerak. Dengan mata setengah terpejam ia menghisap rokok itu dalam-dalam. Sebentar kemudian ia menuip ke atas. Asap tebal keluar dari mulut lelaki itu. Asap bergerak perlahan-lahan membentuk siluet sosok seseorang. Arya kembali menghisap rokok dan menghembuskan asap. Kini siluet itu samakin lengkap dan menyerupai seorang lelaki.

“Jiwo, maafkan aku harus memanggilmu,” suaranya pelan namun cukup jelas terdengar.

“Sudah lama sekali kau tak pernah melibatkanku,” ujar Jiwo.

Suara Jiwo terdengar sangat mirip dengan suaranya. Dalam keremangan lampu Arya mengamati wajah Jiwo. Arya merasa seperti menatap ke dalam cermin lalu bicara dengan pantulan wajahnya sendiri. Bukan Cuma suara, wajah Jiwo benar-benar menyerupainya. Mereka seperti saudara kembar. Perjumpaan kali ini bagai sebuah reuni kecil. Ia teringat pertemuan pertamanya dengan jiwo dimulai ketika ia berumur dua puluh tahun. Jiwo adalah sosok penjaga yang dihadiahkan oleh gurunya Tuk Banong. Sejak Arya masih bujangan, Jiwo selalu setia menemaninya berkelana. Bahkan dalam perjuangannya mendapatkan Laras, Jiwo berperan besar di sana.

“Aku butuh bantuanmu untuk mencari pengirim pulung ini. beberapa hari lalu aku menemukannya di bawah pohon lengkeng. Kau pasti tahu jawabannya.” Arya menunjuk bola hitam yang sejak tadi ia letakkan di atas meja. Jiwo menatap benda itu lalu memandang sahabatnya dalam-dalam. Bola matanya yang semerah saga tampak menakutkan bagi orang lain yang melihatnya. Namun tidak demikian dengan Arya. Ia mengenal Jiwo dengan sangat baik.

“Kenapa? Kau tahu pengirimnya?” tanya Arya penasaran.

“Tidak, aku tak tahu jika kau sendiri tak tahu,” jawab Jiwo yakin.

“Tak bisakah kita mengetahui orang yang mengirim ini?” Arya mengganti pertanyaannya.

“Untuk apa? Orang itu cuma suruhan,” jawab Jiwo pendek.

“Tapi aku penasaran dengan pengirimnya,”desak Arya.

“Jangan cari tahu siapa pengirimnya. Itu berbahaya. Bukan wewenangku. Yang bisa mencarinya hanya kau atau Tuk Banong. Maksudku hanya kalian para manusia. Ingat Arya, orang itu cuma suruhan. Kembalikan saja langsung pulung ini ke pemiliknya. Pemiliknya adalah orang yang ingin kau celaka,” kata-kata jiwo begitu lugas dan tegas.

“Tak bisakah kau masuk ke tidurnya seperti saat dengan Laras dulu?”

“Masalahnya berbeda. Dulu kau minta aku masuk ke mimpi Laras lalu membuatnya terbayang-bayang wajahmu. Kau sendiri yang mengantarku. Tapi kali ini kau akan mengantarku ke mana?” tanya Jiwo bingung.

Arya tercenung mendengar penjelasan Jiwo. Ia mengakui kebenaran kata-kata Jiwo. Dulu ia mengantar Jiwo ke alam pikiran Laras dengan meniupkan asap rokok ke wajah wanita yang dicintainya itu dengan tujuan agar Laras tak bisa melupakannya. Tapi, kali ini ia sendiri tak tahu kemana harus mengantar Jiwo.

“Kau tahu siapa yang ingin aku celaka?” suara Arya penuh nada kesal. Ia tak tahu harus bagaimana untuk mengetahui sumber kekaucauan dalam hidupnya beberapa bulan terakhir. Kalau saja Tuk Banong masih hidup, pasti masalahnya tidaklah sesulit ini, Tuk Banong pasti dengan mudah akan mengeahui orang pintar yang mengirim tuju ini.

“Hanya ada satu cara untuk mencari tahu. Kau minta saja aku mengembalikan tuju ini. Dengan sendirinya tuju ini akan mencari pemiliknya. Aku hanya mengawal. Beberapa hari kemudian kau akan mendengar orang yang sakit sepertimu. Dialah pelakunya.”

“Apakah ada risiko lain?”

“Sakit atau mati. Hanya itu saja. Pilihanmu hanya membiarkan atau mengembalikan. Membiarkan artinya kau siap menerima sakit berkepanjangan. Mengembalikan artinya kau ingin orang itu sakit seperti yang kau rasakan. Tapi kau harus ingat Arya. Jika ini dikembalikan, Tak bisa kau tarik lagi atau kau batalkan.”

Jiwo menyelesaikan kalimatnya dengan suara yang semakin sayup. Asap yang membentuk siluet pun semakin menipis lalu menghilang. Arya menatap kepergian sahabatnya dengan hati diliputi kebimbangan. Nasihat Jiwo bagai simalakama baginya. Berdiam diri risikonya sakit berkepanjangan atau mati baginya. Namun jika ia berkeras mengembalikan tuju itu, akan ada orang lain yang mengalami nasib sepertinya.

Arya mengeluarkan sebatang rokok lagi. Ia harus menuntaskan ini segera. Esok atau lusa belum tentu ia bisa leluasa memanggil Jiwo seperti ini. Asap Rokok kembali bergulung di depannya seperti tadi.

“Cepat sekali kau memutuskannya, Arya,” suara Jiwo kembali terdengar.

“Ya, waktu kita terbatas. Lagi pula aku tak ingin terus-terusan sakit seperti ini. Tubuhku sudah sangat letih berbaring. Tenagaku habis terkuras oleh penyakit jahanam ini,” keluhnya.

“Aku bisa merasakannya,” ucap Jiwo bersimpati., “Kau siap menerima konsekwensinya?” lanjutnya.

“Maksudmu?”

“Kau tak akan menyesali apa yang akan kau lakukan. Kau tak menyesal jika orang itu ternyata orang yang kau kenal,” ketegasan suara Jiwo membius Arya. Arya mengangguk yakin. Hatinya telah mantap untuk mengembalikan saja pulung alias tuju itu kepada pemiliknya. Ia tak mau menderita sendiri tanpa tahu siapa musuhnya.

“Perintahkan kepadaku untuk mengembalikannya, Arya,” kata-kata Jiwo lebih seperti sebuah perintah di telinganya.

“Baiklah. Jiwo, hari ini aku perintahkan kau untuk mengembalikan tuju ini kepada pemiliknya,” ucap Arya sambil menyerahkan bola hitam kepada Jiwo.

“Aku memenuhi permintaanmu untuk mengembalikannya segera,”Jiwo menerima bola hitam itu dengan kedua tangannya.

Seketika bola hitam mengeluarkan sinar biru kehijauan dan mengambang di hadapan Arya sejenak. Perlahan-lahan tubuh Jiwo menghilang. Detik berikutnya bola itu terbang dari hadapannya menyelinap dari lubang angin di atas pintu dan melesat membelah langit malam.

Arya menghirup kopi yang telah mulai dingin. Terasa begitu nikmat. Direbahkannya kepala di sandaran kursi. Lelaki itu menarik napas dalam-dalam. Tak lama lagi ia akan sembuh. Betapa tidak sabar hatinya menunggu kabar tentang penderitaan musuhnya. Siapakah dia? jika Arya bisa mengetahuinya, ingin rasanya ia memukuli saja orang yang telah membuatnya menderita itu dengan kedua tangannya sendiri.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post