Kuluk kuluk kuluk

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Budaya Sekolah. Sekolah Berbudaya

Sekolah adalah produk budaya. Tanpa kebudayaan, tidak akan ada dunia persekolahan. Sebagai produk budaya, sekolah sudah semestinya mengembangkan nilai-nilai kebudayaan masyarakatnya. Sekolah yang tidak mengangkat nilai-nilai kebudayaan masyarakatnya, akan menghasilkan lulusan yang gagap ketika menghadapi dunia masyarakat asalnya. Para lulusan tidak mampu bergaul dengan masyarakatnya. Para lulusan tidak mampu memberikan solusi terhadap permasalahan di masyarakatnya.

Utopia? Mungkin. Namun sekolah berbudaya bukanlah hal mustahil. Tergantung pada pemangku kebijakan persekolahan dan para penggerak di sekolah itu. Tentu kepala sekolah, guru, pegawai, siswa, dan orang tua sangat berperan dalam memberbudayakan sekolah. Tentunya sekolah harus menjadi sangat otonom. Dunia persekolahan yang mengembangkan bilai-nilai budaya masyarakatnya tidak bisa diseragamkan baik kurikulumnya maupun pengelolaannya.

Perkembangan teknologi mesin dan teknologi informasi memaksa dunia persekolahan menyiapkan calon-calon pekerja. Tentu saja calon-calon pekerja yang dihasilkan harus mampu memenuhi kebutuhan dunia industri. Persekolahan harus mengubah kurikulum kebudayaan menjadi kurikulum yang menyiapkan calon tenaga kerja siap pakai.

Perkembangan teknologi mesin dan teknologi informasi yang merupakan hasil kebudayaan manusia, terbukti telah mengubah arah dunia persekolahan. Persekolahan tidak lagi menjadikan nilai-nilai kebudayaan yang luhur sebagai tujuan akhir pendidikan. Kurikulum bermuatan kebudayaan hanya menjadi pelengkap dengan alokasi waktu yang sangat sedikit. Itu pun diperparah lagi dengan fakta bahwa kurikulum seni dan kebudayaan diurus oleh pusat. Peran daerah dalam mengembangkan kurikulum kebudayaan lokal sangat terbatas.

Sentralisasi kurikulum semestinya hanya mendapatkan porsi minimal. Sentralisasi pengelolaan guru bisa dijadikan cara untuk standarisasi mutu guru. Meski begitu, pengelolaan guru oleh pemerintah pusat mesti diimbangi dengan desentralisasi sebagian besar kurikulum persekolahan. Daerah mesti mendapatkan porsi lebih besar dalam pengembangan kurikulum. Dengan cara ini, kebudayaan daerah dapat dikembangkan oleh daerah itu sendiri.

Permasalahan selanjutnya akan muncul seiring dengan kenyataan bahwa pengelola kurikulum di daerah yang lebih banyak yang tidak benar-benar memahami pentingnya pendidikan dan nilai-nilai budaya. Akibatnya, sebaik apapun pemerintah pusat mengurus pendidikan, persekolahan tidak akan beranjak menjadi lebih baik.

Dunia persekolahan yang digawangi oleh para guru tidak banyak berpengaruh pada peningkatan kualitas pendidikan. Apalagi jika semua pemangku kebijakan pendidikan di daerah hingga para kepala sekolah dan guru tidak memiliki visi yang jauh. Visi pendididkan budaya yang sangat lemah dimiliki oleh para pemangku kebijakan ini terjadi karena budaya kerja yang tidak kondusisf.

Kreativitas yang tidak mendapatkan apresiasi adalah salah satu penyebabnya. Kreativitas guru atau kepala sekolah seringkali dicurigai sebagai kegiatan yang merongrong pejabat di atasnya. Kreativitas guru dianggap merongrong kewibawaan kepala sekolah. Kretivitas kepala sekolah dianggap merongrong kewibawaan kepala dinas kabupaten. Kreativitas kepala dinas dianggap merongrong kewibawaan kepala di atasnya, dan seterusnya. Benang kusut itu sangat sulit diurai.

Rekrutmen guru dan rekrutmen kepala sekolah menjadi penyumbang utama pengembangan dunia persekolahan. Guru yang tidak kreatif dan kepala sekolah yang ingin aman jabatannya menjadikan sekolah mengalami stagnasi. Membosankan bagi guru-guru yang kreatif yang masih tersisa. Kondisi ini tentu menjemukan dan membuat guru-guru yang kreatif itu menjadi frustrasi.

Jika hal seperti itu terjadi, maka akan muncul situasi pemberontakan dalam diam. Ini sangat membahayakan. Kepala sekolah sulit mengendalikan guru yang frustrasi. Kebijakan kepala sekolah akan dihadapi oleh guru-guru yang frustrasi dengan sikap masa bodoh. Rencana kerja sekolah tidak akan berjalan sebagaimana harapan kepala sekolah.

Kondisi seperti itu akan menghasilkan sekolah yang berjalan apa adanya. Sekolah hanya sekadar menggugurkan kewajiban sebagai sebuah institusi sekolah. Akhirnya, para siswa pun ikut frustrasi. Secara kasar saya katakan bahwa akan muncul siswa seperti sapi yang dibedaki, diberi uang saku dan tas berisi buku-buku. Sapi berbedak itu tidak menikmati persekolahan. Mereka hanya menuntut identitas sebagai seorang pelajar, namun nihil pembelajaran. Mereka menjadi robot yang diprogram untuk cepat-cepat lulus sekolah. Tidak ada belajar yang sesungguhnya. Tidak ada pendidikan budaya yang sesungguhnya. Yang ada adalah penciptaan robot-robot siap kerja.

Tidak semua sekolah. Tidak semua guru. Namun itu ada.

2/8/17

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap pak.. Banyak pemimpin yg bertindak sebagai pimpinan..hanya pandai bicara tapi tidak pandai melakukan..menyedihkan pak..

02 Aug
Balas

that's it. mantap. santun tapi tetap tajam

02 Aug
Balas

Ya,hebat Mas, bagaimana pun aku ingin maju terus, walaupun motivasi intrinsik yang harus dikeluarkan.

19 May
Balas



search

New Post