Musim Gugur di Negeri Tropis
Musim Gugur Kembali di Connecticut adalah salah satu cerita pendek karya Umar Kayam yang terkumpul dalam buku ‘Seribu Kunang-kunang di Manhattan’.
Apakah kita harus ke Connecticut untuk bisa menikmati musim gugur? Sebagai negara tropis yang luar biasa kaya, sebenarnya kita pun kaya dengan berbagai musim yang tidak pernah kita sadari. Beberapa orang bahkan berbagai peristiwa alam itu dianggap sebagai bencana atau sekadar menambah pekerjaan.
Pada saat orang mendaki gunung ke puncak Everest, kita sebenarnya bisa mendaki ke Puncak Jayawijaya. Musim panas bahkan bisa secara merata dinikmati oleh hampir seluruh penduduk di Indonesia. Kita juga punya Bogor yang dikenal dengan kota hujan dan beberapa kota lain yang tidak begitu terkenal yang setiap harinya bersuhu sejuk atau bahkan dingin.
Musim semi yang selalu mengikuti musim gugur, apakah hanya bisa dinikmati di Connecticut seperti dalam cerita pendek Umar Kayam? Sebagai negara di wilayah tropis, Indonesia memang tidak mengenal musim gugur dan musim semi. Meski demikian, fenomena gugur dan semi itu ada di negeri ini saat menjelang musim kemarau dan di akhir musim kemarau atau sebaliknya, yaitu menjelang musim penghujan dan di akhir musim penghujan. Memang tidak merata dalam cakupan wilayah yang luas, namun fenomena itu bisa kita rasakan.

Saat sekolah SMP pada tahun 1981 hingga 1984, saya sangat suka saat berada di awal musim kemarau. Kesukaan saya itu terjadi saat berangkat atau pulang sekolah, karena sepanjang perjalanan di depan sekolah sejauh beberapa kilometer, saya akan melewati jalan yang di kanan dan kirinya dipenuhi dengan daun-daun mahoni kering di tepian jalan. Kita tahu mahoni adalah pohon yang akan meranggas di awal musim kemarau. Alam saat itu demikian indah. Tak pernah daun-daun mahoni yang berserakan itu dianggap sebagai sampah. Saya dan teman-teman tentu merasakan hal yang sama, musim gugur di depan sekolahku.
Seperti halnya pohon mahoni, pohon ketapang juga mengalami hal yang sama. Ia akan menggugurkan daun-daunnya hingga habis pada saat musim kemarau. Akibatnya, tanah di bawah pohon ketapang akan ditutupi oleh daun-daunnya yang kering. Pada saat daun-daunnya berguguran itu, kita akan merasa menikmati musim gugur. Sayangnya kita seringkali mengganggap daun-daun ketapang yang berguguran itu sebagai sampah sehingga harus disapu, dibuang, atau bahkan dibakar. Banyak pula terjadi, karena dianggap mengotori, pohon-pohon yang cepat besar dan cocok untuk penghijauan ini harus jadi korban keganasan kapak atau gergaji mesin. Suasana yang sejuk di bawah pohon ini akan kembali menjadi panas dan gersang.

Sayang sekali bahwa cara pandang kita terhadap alam seringkali sudah terpola bahwa dedaunan adalah sampah. Padahal menurut saya, sampah adalah segala sesuatu yang tidak diterima oleh alam. Dedaunan adalah bahan organik yang bisa diterima oleh alam melalui proses alamiah. Dedaunan itu pulalah yang akan tetap menjaga kesuburan tanah.
Mungkin, pendapat saya salah. Namun jika harus mengorbankan pohon peneduh, tentu tidak benar.

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sekarang pohon yang tak berdaun itu menjadi ajang untuk berfoto ria, seakan-akan berada di luar negeri. Terima kasih informasinya, Mas.