Kuluk kuluk kuluk

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Sekolah kakek kita hingga sekolah saat ini (Belajar di Era Digital 3)

Sekolah orang tua kita dimaksudkan untuk memberi gambaran mengenai kondisi persekolahan pada masa orang-orang tua kita masih mengenyam bangku pendidikan. Orang tua di sini dibatasi pada orang-orang yang berusia 60 tahun ke atas. Asumsinya adalah bahwa pada usia seperti itu, ada yang sudah memiliki cucu.

Usia 40 hingga 60 tahun atau lebih adalah sebuah periode umum di mana dua puluh tahun adalah usia manusia sudah menikah. Angka 20 sendiri digunakan hanya untuk memudahkan pembuatan batas saja. Siklusnya dibuat menjadi 1-20 tahun, 21- 40 tahun, 41-60 tahun dan 60 tahun ke atas. Usia 60 tahun ke atas tidak banyak perubahan pada pola belajarnya bahkan mungkin sudah tidak belajar lagi.

Bagaimana kondisi persekolahan pada masa penjajahan?

Sebelum kemerdekaan, persekolahan dipaksa untuk mengikuti model Eropa. Meski politik etis idealnya dilaksanakan untuk membantu mencerdaskan bumi putera, namun penjajah tidak mau begitu saja mencerdaskan bumi putera. Penjajah sadar benar bahwa kecerdasan atau keberpendidikan itulah awal mula kebangkitan. Mereka tidak mau bangsa Indonesia merdeka.

Pada masa ini, pendidikan diselewengkan menjadi alat untuk mencetak tenaga kerja terampil yang murah. Dalam cerita-cerita Indonesia klasik, istilah sekolah angka dua dan sekolah angka lima sudah menimbulkan decak kagum dan melahirkan kebanggaan. Kedua jenis pendidikan model penjajah ini memberi kesempatan kepada bumiputera untuk menjadi sekedar seorang juru tulis.

Sekarang kita tahu, juru tulis bukanlah penulis. Juru tulis hanyalah sekedar pekerjaan tanpa perlu menggunakan kemampuan berpikir mendalam. Tugas seorang juru tulis hanyalah menyalin tulisan konsep untuk penggandaan surat. Ya, juru tulis sekadar mesin fotokopi.

Meski sekadar mesin foto kopi, saat membuat salinan tulisan berupa surat atau apapun, kegiatan membaca berlangsung. Saat membaca inilah pengetahuan akan isi surat yang ditulisnya dapat diketahui pesannya.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa pendidikan pada masa itu bukanlah pendidikan yang mencerdaskan. Pendidikan pada masa itu hanyalah pembelajaran kemampuan membaca,menulis, dan berhitung. Persekolahan pada zaman penjajahan ini bersifat pembinaan kedisiplinan dan ketaatan akan perintah atasan. Bahkan pada saat itu ada dua jenis persekolahan. Pertama adalah persekolahan khusus untuk warga negara Belanda, dan persekolahan untuk bumi putera. Tentu saja muatan materi pembelajaran di keduanya sangat berbeda.

Meski penjajah sudah memberikan kesempatan kepada bumi putera untuk mengikuti persekolahan, namun kesempatan itu tidaklah merata. Di sisi lain, sebagian besar bumi putera masih mengikuti model pendidikan model pesantren. Sebagian di antara para kakek kita bahkan menikmati kedua jenis model pendidikan yang sangat berbeda.

Pendidikan model penjajah ini diadopsi dari pendidikan di Eropa. Persekolahan model Eropa ini lebih menekankan pada aspek pengetahuan dan keterampilan dasar. Persekolahan pada masa penjajahan ini dibuat sangat formal. Formalitas pendidikan saat ini bertahan sampai saat ini. Perbedaan persekolahan model penjajah ini hanya pada muatan kurikulumnya saja.

Adakah yang beda sekolah kakek kita dengan sekolah pada zaman ayah ibu kita bersekolah? Tidak ada perbedaan yang berarti selain adanya penambahan jumlah sekolah, program sekolah inpres, dan program wajib belajar.

Di awal kemerdekaan negeri ini dikaruniai dengan keterpurukkan ekonomi. Pembangunan lebih ditekankan pada pembangunan momentum untuk meyakinkan bahwa bangsa ini telah merdeka. Periode ini terjadi semenjak masa kemerdekaan hingga tahun enam puluhan.

Pemerataan pembangunan pada zaman orde baru, meningkatkan jumlah sekolah dan angka partisipasi anak untuk bersekolah, perbaikan kurikulum, dan pemerataan pendidikan. Bahkan dengan kekuasaannya, pemerintah orde baru membuat sekolah-sekolah inpres untuk mempercepat pemerataan pembangunan pendidikan.

Setelah zaman orde baru berlalu, dunia persekolahan di Indonesia tidak banyak berubah. Sistem persekolahan tetap saja seperti itu. Perubahan kurikulum yang memang mesti terjadi, telah berlaku beberapa kali. Berbagai usaha peningkatan kualitas pendidikan dibenturkan dengan ambisi pribadi-pribadi serakah dengan idealisme pendidikan yang semakin lemah.

Pengukuran kualitas pendidikan bahkan hingga saat ini masih sebatas pada tes tertulis pada ranah kognitif. Ujianah Nasional yang telah menghancurkan sendi-sendi keunggulan sebuah lembaga pendidikan, terus saja dipertahankan demi pribadi-pribadi serakah yang sebenarnya tidak mengerti tujuan pendidikan.

Persekolahan yang semakin formal, mematikan ruh pendidikan yang sesungguhnya. Pembelajar hanya diukur dengan angka-angka sehingga pendidikan berubah menjadi pembelajaran. Pembelajar hanya dicekoki dengan berbagai ujian dan angka-angka, sementara pendidikan karakter justru tercerabut dari ruhnya pendidikan.

Menyadari kondisi itu, pemerintah berupaya memasukkan unsur pendidikan karakter dalam kurikulum persekolahan. Apa daya, kekuasaan angka-angka dalan ujian yang diberi nama Ujian Nasional justru menjadi titik balik pengembangan karakter. Institusi pendidikan yang semestinya mengutamakan kejujuran, yang terjadi malah menjadi agen ketidakjujuran. Kebocoran soal dan jawaban Ujian Nasional yang merebak beberapa waktu lalu menjadi indikasinya.

Saat ini pemerintah menyadari kekeliruan penggunaan nilai Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan. Institusi pendidikan hingga ke menterinya menginginkan penghapusan Ujian Nasional. Namun kekuasaan yang kuat, bukannya menghapuskan Ujian Nasional. Saat ini, siswa malah semakin dijejali dengan berbagai ujian hingga memakan waktu nyaris satu bulan penuh. Perbedaannya, hanya bahwa nilai Ujian Nasional tidak menentukan kelulusan.

Pendidikan di negeri ini semenjak kemerdekaan hingga saat ini telah nyata hanya menghasilkan calon tenaga kerja. Pendidikan hanya menyiapkan calon tenaga kerja yang terampil maupun calon tenaga kerja yang siap latih. Tidak ada calon tenaga kerja yang siap pakai. Ini artinya duniapersekolahan kita hanya memberikan bekal hidup yang paling dasar.

Kreativitas dalan dunia pendidikan telah nyata sekali telah dipasung. Tidak ada kebebasan bagi siswa uantuk berlajar dengan cara dan gayanya sendiri. Semua kegiatan belajar harus mengikuti perintah sang komandan. Sang komandan sendiri lebih penurut kepada komandan yang berada di atasnya yang memberikan tugas melalui setumpuk silabus yang ketat.

Persekolahan pada saat ini lebih takut jika siswanya tidak lulus ujian nasional ketimbang membekali siswa dengan keterampilan. Benar bahwa pada perangkat kurikulum itu dibenamkan pembelajaran keterampilan bahkan pembelajaran keimanan, namun semua itu teredam oleh hiruk-pikuknya ujian nasional. Kreativitas mandek.

Siswa dan orang tua sama saja. Mereka lebih mendewakan selembar kertas yang bernama ijazah. Orang tua dan siswa akan merasa malu jika ada anaknya yang tidak lulus atau bahkan hanya sekadar tidak naik kelas. Slogan wajib belajar berubah menjadi sekadar wajib sekolah.

Dalam setiap kesempatan, saya selalu mengatakan bahwa pada saat ini, untuk memperoleh ijazah tidak perlu jadi manusia. Sapi saja jika dibedaki, diberi uang saku, setiap hari diantar ke sekolah, maka enam tahun atau tiga tahun kemudian akan lulus dengan ijazah di tangannya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Yah, apa yang dapat kita perbuat. Tentu kita sebagai pendidik juga akan menanamkan karakter untuk bekal masa depan mereka.

20 May
Balas



search

New Post