Yasir Husain

Seorang pembelajar...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sinyal Cinta, Frekuensi Hati (34)

Sinyal Cinta, Frekuensi Hati (34)

Ikuti kata hatimu! Ungkapan yang seringkali dianjurkan kepada seseorang yang bimbang dalam memilih. Kalimat yang juga selalu dijadikan landasan untuk memilih benar atau salahnya suatu perbuatan. Namun, benarkah ungkapan demikian? Sudah tepatkah petunjuk selalu didasarkan pada hati? Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita baca dulu hadis Rasulullah Saw., yang berhubungan dengan itu.

“Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu (3x), karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa.” (HR. Ahmad)

Sepintas, redaksi hadis di atas menunjukkan bahwa hati tidak pernah bohong. Namun, bukan berarti semua hati pasti benar. Sama ketika kita mengatakan, air yang langsung dari mata air selalu bersih, tapi jika di mata airnya sengaja diberi kotoran atau racun, maka air bersih tak lagi berlaku di sana. Begitulah hati. Jika masih konsisten bersandar pada aturan Allah, maka katanya pun boleh didengar. Sebab, di satu sisi, ada pula hati-hati yang rusak karena telah dikuasai hawa nafsu.

Al-Munawi menjelaskan tentang hadis Rasulullah Saw., di atas, “‘Mintalah fatwa pada hatimu‘, yaitu hati yang tenang dan hati yang dikaruniai cahaya, yang bisa membedakan yang haq dan yang batil, yang benar dan yang dusta. Oleh karena itu, di sini Nabi berbicara demikian kepada Wabishah yang memang memiliki sifat tersebut.” (Faidhul Qadir, 1/495)

Wabishah bin Ma’bad bin Malik bin Ubaid Al-Asadi radhiallahu’anhu, adalah seorang sahabat Nabi, generasi terbaik yang diridai oleh Allah. Beliau juga dikenal ahli ibadah dan sangat wara’. Maka layaklah Nabi bersabda ‘mintalah fatwa pada hatimu‘ kepada beliau.

Ya, hati itu ibarat frekuensi. Jika sinyalnya bagus dan stabil, maka pancarannya pun akan baik. Untuk menstabilkan sinyal hati tentu harus selalu dihubungkan dengan hal-hal yang benar berdasarkan syariat. Dikoneksikan pada ibadah dengan teratur, dan terus istikamah pada petunjuk Allah. Si pemilik hati harus melaksanakan semua kewajiban kepada Allah, dan mengiringinya dengan amalan sunah lainnya. Dengan begitu, sinyal hati akan selalu terkoneksi dengan jalan Allah, dan ketika dihadapkan pada suatu pilihan, tentu hati akan selalu memilih yang benar dan meninggalkan yang salah. Hati seperti inilah yang perlu didengarkan.

Coba perhatikan. Ada orang yang malas ibadah dan dengan itu dia merasa tenang-tenang saja. Hatinya bahkan kesal ketika disuruh untuk beribadah. Apakah hati seperti ini bisa menjadi rujukan? Tentu tidak! Ada pula yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas, melakukan zina, dan memakai narkoba, dengan itu dia merasa tenang. Apakah hati seperti ini bisa menjadi petunjuk? Jawabnya, tidak sama sekali. Hati-hati tersebut adalah hati yang sinyalnya telah rusak, frekuensinya telah salah.

Berbicara tentang hati berarti berbicara tentang perasaan. Jika ada perasaan, tentu ada cinta. Persoalan cinta inilah yang seringkali menipu. Ada yang ingin hatinya tenang, maka berhubunganlah dia dengan seseorang yang dia sebut sebagai kekasih. Dia menganggap cintanya lahir dari lubuk hati yang paling dalam dan ia menyebutnya sebagai cinta suci. Padahal, itu hanyalah dorongan nafsu untuk menjalin hubungan dengan seseorang melalui jalan yang tak dibenarkan. Semakin terbuai, semakin terlena. Akhirnya, terjebaklah dalam urusan yang sia-sia, bahkan ujungnya menjerumuskan.

Atas nama cinta, sinyal kebaikan pun di dalam hati diabaikan. Cinta dunia, cinta harta, cinta jabatan dan kedudukan, cinta popularitas, dan cinta-cinta semisal lainnya, membuat lalai dalam ibadah yang akhirnya menyebabkan hati terabaikan. Suara hati tak lagi berarti, tak bisa lagi menjadi rujukan. Maka sungguh benar jika dikatakan bahwa, cinta yang berdasarkan pada aturan Allah hanya akan berujung pada hawa nafsu yang menjerumuskan.

Olehnya itu, tingkatkan lagi ketaatan kepada Allah. Kuatkan iman dan istikamah dalam takwa mengerjakan seluruh perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, berusaha terus menjadi ahli ibadah. Cintailah apa yang dicintai Allah, dan jauhilah apa tak disukai-Nya. Mudah-mudahan, hati kita selalu memancarkan sinyal-sinyal kebaikan yang menjadi rujukan pada setiap tindakan kita.

Ibnu Allan Asy Syafi’i mengatakan:

“Sabda beliau (Rasulullah Saw) ‘istafti qalbak‘, maknanya: mintalah fatwa pada hatimu. Ini merupakan isyarat tentang keadaan hati orang yang diajak bicara (Wabishah) bahwa hatinya masih suci di atas fitrah, belum terkotori oleh hawa nafsu terhadap sesuatu yang tidak diridhai Allah, lalu Nabi menjelaskan buah dari meminta fatwa dari hati yang demikian, dan bahwasanya di sana ada jawaban dari apa yang ia tanyakan.” (Dalilul Falihin, 5/34)

Ada pula Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan:

“Ini berlaku bagi orang yang jiwanya baik dan rida terhadap syariat Allah. Adapun orang fasik (yang gemar melanggar syariat Allah) dan fajir (ahli maksiat) mereka tidak bimbang dalam melakukan dosa. Engkau temui sebagian orang ketika melakukan maksiat mereka melakukannya dengan lapang dada, wal ‘iyyadzu billah. Maka ini tidak teranggap. Namun yang dimaksud di sini adalah pecinta kebaikan yang diberi taufik dalam kebaikan yang resah ketika melakukan kesalahan, hatinya tidak tenang, dan sesak dadanya, maka ketika itu, itulah dosa.” (Syarah Riyadish Shalihin, 3/498-499)

Ada banyak penyesalan dari banyak perbuatan yang hasilnya merusak hati. Segala langkah tak lagi berjalan untuk menentramkan hati. Setiap gerak tak lagi tertuju untuk menenangkan hati. Tak ada lagi ibadah yang dilakukan untuk menghidupkan hati. Akhirnya, sinyal hati menjadi rusak. Frekuensinya telah ke arah yang salah, hingga rasanya pun selalu tenang dalam hal-hal maksiat. Sungguh penyesalan akan benar-benar hadir jika selalu mengikuti kata hati seperti ini. Cinta akan berubah menjadi nafsu, dan kasih sayang akan berubah menjadi iri dengki. Inilah hati yang penuh dengan penyakit.

Kembali ke hadis di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, “Jika engkau mengetahui bahwa hatimu itu penuh penyakit, berupa was-was, ragu, dan bimbang terhadap apa yang Allah halalkan, maka jangan ikuti hatimu. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di sini berbicara kepada orang yang di hatinya tidak ada penyakit hati.” (Syarah Riyadish Shalihin, 3/499)

Ikuti kata hatimu. Itu hanya berlaku pada orang yang hatinya jauh dari maksiat. Hati yang senantiasa tertaut di jalan Allah. Hati yang diselimuti cinta karena Allah, bukan cinta berlandaskan hawa nafsu. Begitulah hakikatnya hati kita selalu terjaga. Memastikan bahwa frekuensinya stabil di jalan Allah dengan sinyal yang kuat dari petunjuk-petunjuk-Nya. Ya, itulah sinyal cinta, sinyal yang selalu kuat dan benar karena terpancar atas dasar iman dan takwa.

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post