Tak ada mentari, selalu dingin, dan pakaian beberapa layer untuk menghangatkan diri. Musim hujan tahun ini tak main-main. Setelah kudengar bencana dibeberapa daerah, disusul erupsi gunung berapi secara bersamaan membuatku giris, pesimis, sekaligus apatis kapan keadaan segera membaik. Bagiku, pandemi telah memukul sisi mentalku. Kuharap semesta tak sebercanda ini.

Suasana di kaki Gunung Bromo pagi ini dipenuhi kabut. Kaos kaki tak pernah lepas, jaket, dan topi gunung menemaniku berjalan pelan. Aku harus ke luar, setidaknya pagi ini. Tiga hari berada di dalam rumah dengan hujan yang terus menderas tiada henti memaksaku tunduk pada laptop untuk menghibur diri. Siang hari, saatnya listrik padam, seolah sudah terjadwal. Aku berlama-lama di depan jendela, melihat hujan, tak pernah bosan. Sesekali lewat lelaki memanggul rumput yang berjalan cepat karena kehujanan. Sepi sekali.

Aku berjalan perlahan, memastikan kakiku bergerak perlahan, menyusuri jalan kecil menuju sawah. Di ujung sawah, aku bisa melihat punggungan bukit-bukit yang mengitari Gunung Bromo. Entah sudah berapa lama, Aku akan menunggumu pulang. Aku tak pernah menghitung hari, menghitung waktu. Bagiku, ketika Aku mau menunggu, waktu tak akan jadi masalah. Karna embun tak perlu warna untuk membuat daun jatuh cinta. Kulihat kaos kakiku basah. Aku menghela nafas panjang. Bapak pernah bertanya, sampai kapan Aku menunggu? Sampai termakan usia? Aku tak pernah menjawab. Kulihat ulat kecil menggeliat bersembunyi dibalik daun padi, dan plug! dia jatuh ke tanah. Ku ambil ulat itu, hijau dengan tekstur lembut dan bulu halus menggeliat-geliat di jariku minta dilepaskan. Kutaruh di atas daun padi lagi. Kutunggu, dan ia tertidur kembali. Kuhela nafas sepanjang mungkin. Merasakan oksigen sampai di paru-paru, kusimpan sebanyak mungkin sambil kupejamkan mata. Lama. Ketika mataku terbuka, kulihat seseorang di ujung sawah. Lekat kuperhatikan. Aku kenal sosok itu. Melambaikan tangan dan tersenyum: hey U! my universe!