yenni lusia

Seorang PNS, seorang ibu dari 2 putra, seorang perempuan biasa yang selalu ingin meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sehingga dapat memberi manfaat...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sa Suku Tabir Cintaku

Burung besi yang membawa kepulanganku ke kampung halaman, terbang semakin rendah menyusuri sepanjang bibir pantai yang elok menawan. Kemilau air laut diterpa mentari sore ikut menari-nari di pelupuk mataku, ada air yang menggenang bahagia di kedua netraku. Sebentar lagi aku akan memeluk ibu, orang tersayang nomor satu di hatiku. Hampir dua tahun ibu tidak bisa ku peluk tersebab pandemi Covid-19, Pandemi mereda, perjalanan bersyarat pun sudah dibolehkan namun kebijakan kantorku baru mengizinkan cuti untukku pada minggu ini. Lenggokan halus gerakan pesawat jet itu mendarat mulus di Bandara Internasional Minangkabau. Bergegas ku seret koper mungilku, tak sabar hati ini segera menumpahkan kerinduan pada sosok pahlawan hidupku.

***

“calon suami Mita itu putra sahabat pak Rudi, dia baru menyelesaikan studinya S2 nya di Belanda,” ibu mengurai cerita saat aku menanyakan kepastian kabar yang aku dengar tentang rencana pernikahan Mita. “orangnya santun, setahu ibu sudah dua kali dia berkunjung ke rumah pak Rudi,” ibu menambahkan dengan intonasi yang sangat biasa.

Lidahku kelu, niat ku sudah tak perlu diutarakan lagi. Aku tidak ingin membebani pikiran ibu.

Ibuku adalah asisten rumah tangga di rumah pak Rudi sejak 22 tahun yang lalu. Takdir Allah mempertemukan ibu dengan bu Husna. Waktu itu ibu sedang sibuk memisahkan dan membersihkan cabe merah keriting, aku yang berusia tiga setengah tahun terlelap tidur beralaskan tikar lusuh disamping ibu dan tumpukan cabe.

Bu Husna istri pak Rudi, pelanggan tetap kios cabe giling tempat ibu bekerja. Pak Haji Zainal pemilik usaha cabe giling mengizinkan ibu untuk tidak lagi menjadi buruh ditempat usahanya.

Yang aku ingat, besoknya aku dan ibu sudah di rumah pak Rudi. Menjadi rutinitas kami di rumah pak Rudi dari pagi hingga petang menjelang. Jarak rumah kontrakan kami dengan rumah bu Husna kurang lebih dua kilometer. Ibu beserta aku, pergi dan pulang dengan berjalan kaki setiap hari. Berangkat beberapa saat setelah sholat subuh menuju rumah bu Husna dan pulang menjelang magrib dengan membawa lauk dengan rantang untuk kami santap makan malam di rumah kontrakan yang seadanya. Tak jarang ibu harus mengendongku yang masih terlelap tidur. Nanti aku dimandikan ibu saat sudah di rumah bu Husna. Ibu yang menyiapkan sarapan untuk bu Husna sekeluarga. Akupun ikut sarapan bersama bu Husna, pak Rudi dan Mita putri tunggal pak Rudi. Umur Mita setahun lebih muda dari aku.

Gemuruh di dada ini tidak bisa ku bendung, namun berhasil kusembunyikan dihadapan ibu.

“santun nya bagaimana bu ? apakah lebih santun dari Iqbal anak ibu yang ganteng ini ?” ku coba menggoda ibu, sekedar untuk meredakan gemuruh yang masih mendera ini. Degub jantungku sangat tidak beraturan. Ibu yang tadinya berbicara sambil beres-beres perkakas dapur tiba-tiba sudah didekatku ”Kamu ada hati sama Mita, nak ?” tangan ibu memegang erat kedua pundakku. Mata teduhnya meminta jawabanku. “Sudah sejak lama bu, Mita anak baik” kalimat ini akhirnya bisa kuucapkan, hanya aku yang merasakan betapa kelunya.

“Pak Rudi juga ingin menjadikan mu menantunya”

“serius bu ?”

“iya setahun yang lalu, bu Husna bertanya tentang suku ibu”

“dan suku kita sama dengan bu Husna ?”

“kok kamu tahu ?”

“mencoba menebak nebak saja bu”

“Begitulah nak, pak Rudi dan bu Husna sangat menyayangimu, namun kita hidup di nagari adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah”. Walau agama membolehkan namun berat bagi pak Rudi untuk mendobrak tradisi adat istiadat leluhur Minangkabau ini nak.

“Perjodohan Mita dengan calon suaminya ini bagaimana ceritanya bu”

“Mita anak baik, setahu ibu Mita tidak pernah punya teman dekat laki-laki”

“sekitar enam bulan yang lalu pak Rudi kedatangan tamu dari Bandung. Teman lama yang ingin menikmati keindahan ranah minang. Keinginan yang sudah lama namun baru saat situasi pandemic sudah membaik rencana itu bisa diwujudkan”

“Wah.. sudah diatur sepertinya itu bu, perjodohan antar anak teman satu frekuensi,” potongku dengan nada sumbang

“tidak baik berprasangka buruk begitu nak, dengarkan dulu kalimat ibu sampai selesai”

“siap bu”

“pak Rudi mengenalkan dengan Ihsan anak sahabatnya semasa kuliah di Bandung”

“oh nama laki-laki beruntung itu Ihsan ya bu”

“Iqbal… jangan berkecil hati nak, semoga nanti kamu menemukan wanita pendampingmu juga sama baik dan sholehahnya dengan Mita” ibu menghiburku dengan kalimat yang kudengar samar. Lamunan ku sedang berkelana ke masa lalu.

***

“Tunggu ya, papa mandi dulu. Setelah itu kita Tanya jawab” demikian kudengar ucapan pak Rudi sesaat turun dari mobilnya. Aku dan Mita sedang bermain setelah ibuku bergantian memandikan kami. Tanya jawab yang dimaksudkan pak Rudi adalah pak Rudi akan membacakan kami cerita dan nanti pak Rudi akan balik bertanya tentang nama tokoh dan hal-hal pokok dalam cerita tersebut. Pak Rudi tidak pernah membedakan bedakan antara aku dan Mita. Aktifitas sore cerita jelang magrib tersebut berlangsung sampai aku tamat Sekolah Dasar. Memang kadang-kadang ada jeda dan kosongnya jika pak Rudi ke luar kota atau ada kesibukan sehingga pulangnya sudah lewat magrib. Namun secara umum hal ini menjadi kebiasa rutin yang selalu menarik untukku. Polanya pun meningkat hingga kami yang membaca dan nanti menceritakan ulang kepada pak Rudi. Bagiku selalu menarik dan menyenangkan. Aku dan Mita selalu menjadi peringkat pertama di kelas. Jasa pak Rudi untuk aku dan ibu sangat tidak terhitung dan ternilai. Pak Rudi selaku orang tua asuhku juga tampil memberi sambutan sebagai perwakilan orang tua wisudawan ketika aku lulus sebagai sarjana teknik dengan predikat cumlaude. Pak Rudi memang rasa ayah yang sebenarnya untukku karena aku tidak pernah mengenal sosok ayah kandung dalam hidupku. Ayah meninggal saat usia kandungan ibuku masih hitungan delapan bulan.

***

Bulan depan Mita akan menikah. Ibu sengaja tidak memberitahukan tentang pernikahan Mita dan membiarkan aku pulang cuti sebelum hari”H”. Berarti hari pernikahan Mita pun tidak mungkin bisa ku hadiri. Sungguh bijaksana rencana ibu dan rahasia Allah. Penjagaan hati yang harus ku syukuri dengan peningkatan amal ibadah yang lebih baik lagi. Hari ini harus kumantapkan diri melepaskan Mita dari pikiran dan hatiku, kuiringi dengan doa tulus untuk kebahagiaannya, kebahagiaan adik angkat yang selama ini sudah kusayangi dengan sepenuh hati. Aku akan menjemput jodoh dari sang pencipta melalui keridhaan ibunda dan tidak menyalahi adat dan agama.

Padang 13 Maret 2023

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap Bu... idenya mengalir natural...

13 Mar
Balas

MasyaAllah. Terima kasih bu Arlina

13 Mar

Cerita yg bagus Bu Salam literasi

13 Mar
Balas

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Terima kasih bu yunita. Salam literasi

13 Mar

Mantap bu

13 Mar
Balas

Terima kasih bu Fatmawati

13 Mar

MasyaAllah Tabarakallah. Terima kasih support nya bu Arlina

13 Mar
Balas



search

New Post