Rendezvous (Bagian 6)
#TantanganGurusiana hari ke-8
“Poh padup, Kak? Kaleuh ashar?” (Jam berapa kak? Sudah ashar?)
“Golom. Baroe poh seutingoeh peut. Siat teuk.” (Belum. Baru setengah empat. Sebentar lagi.)
Fani berusaha bangkit. Kya langsung mendekat membantunya.
“Mau ke kamar mandi?.”
Fani menggeleng. “Nanti saja.”
Kya menyetel tempat tidur agar duduk Fani nyaman.
“Bunoe Reihan trok lom. Jinging get that tingeut drokeuh nunoe kakeuh jiwoe laju. (Tadi Reihan datang lagi. Dilihatnya kamu tidur begitu nyenyak jadi dia pulang.)
“Oh.”
Fani memegang kepalanya yang terasa sakit. Memang tak sesakit saat ia masih di Meulaboh. Ia sedikit meringis.
“Kak.”
“Ya.”
“Tadi waktu di kamar mandi aku dengar kakak bicara dengan perawat tentang morfin. Maksudnya apa?”
Kya tergagap. Ia ragu antara memberitahu adiknya atau tidak.
“Itu, pil kecil yang warna putih itu morfin. Penghilang rasa sakit.”
Akhirnya Kya memilih untuk berterus terang saja. Fani terdiam.
Di ruangan itu hanya mereka berdua. Ayah baru saja pergi ke mesjid di sebelah rumah sakit sesaat sebelum Fani bangun tadi.
Azan ashar berkumandang dari ponsel Fani. Ia turunkan kakinya perlahan. Kya yang masih berdiri di sebelah tempat tidur membantunya turun dan menyeret pelan tiang infus sambil menopang sebelah tubuh mungil Fani menuju kamar mandi.
Usia kakak beradik itu terpaut hampir 4 tahun. Saat Fani masuk kuliah dulu, Kya sudah di semester 8, sedang dalam proses mengerjakan skripsi. Kya memang berniat segera menyelesaikan kuliahnya sebab orang tuanya akan kesulitan jika harus membiayai dua anak di perguruan tinggi dalam waktu yang bersamaan.
Syukurlah kebijakan kampus cukup membantu. Saat itu, mahasiswa yang sedang dalam proses pengerjaan skripsi dan tidak lagi kuliah tatap muka, hanya diwajibkan membayar separuh uang kuliah. Ia mendahului beberapa teman dekatnya, yang karena sesuatu dan lain hal, terpaksa harus menunggu lebih lama. Kya tak henti bersyukur sebab dosen pembimbing skripsinya begitu mendukungnya. Tak dirasakannya kendala yang cukup berat seperti yang banyak dihadapi teman-temannya.
Fani telah selesai mandi dan shalat ashar. Ia lalu berbaring. Sesekali sakit di kepalanya datang, lalu hilang sekejap. Datang lagi, dan hilang lagi.
Ayah menawarinya minum. Diangkatnya sedikit kepalanya agar air tak menyusup ke hidung. Kemarin ia minum dalam keadaan berbaring. Alhasil air masuk bukannya melalui tenggorokan namun ke hidung. Ia terbatuk-batuk. Hidungnya terasa sakit.
Kya menyobek roti tanpa selai menjadi potongan kecil lalu diberikannya kepada Fani. Sambil mengunyah pelan roti tawar itu, Fani memikirkan apa yang dikatakan Kya tadi. Morfin. Apakah itu berarti obat yang selama ini diberikan itu bukan untuk menyembuhkan penyakitnya, hanya untuk menghilangkan rasa sakit untuk sesaat. Apa artinya ia hanya menunggu kematian? Hingga saat ini ia tak tahu persis apa penyakitnya. Dokter yang datang hanya menanyakan apa yang ia rasakan. Beberapa kali petugas lab datang mengambil darahnya.
Awal-awal ia merasakan sakit kepala yang berkepanjangan, Fani berobat ke RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh. Dokter menyatakan Fani kemungkinan menderita Papiledema, pembengkakan di daerah syaraf mata yang bisa terjadi akibat dari peningkatan tekanan di kepala. Sebulan lebih ia mengonsumsi obat yang diberikan dokter, namun sakitnya tak berhenti. Iapun mengurus rujukan ke RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Libur sekolah semester ganjil ia mengajak Kya berangkat ke sana.
Untuk menemukan penyebab sakit di kepalanya, dokter di rumah sakit Banda menyarankan agar Fani melakukan pemeriksaan MRI. Karena Pemeriksaan MRI hari ini sudah penuh, Fani harus datang lagi besok. Esoknya, Fani ditemani Kya, menjalani pemeriksaan MRI di kepalanya. Hasilnya diserahkan ke dokter. Fani bisa merasakan keterkejutan dokter itu saat melihat foto MRI-nya. Dokter itu tak langsung menjelaskan. Lama ia terdiam.
Sepulang dari rumah sakit, Fani meminta Kya tak memberitahu Ayah dan Mak mengenai apa yang dikatakan dokter. Toh dokterpun belum bisa memastikan, apakah kanker atau bukan. Dokter mengatakan bercak putih yang tampak di foto MRI otaknya adalah lesi, artinya ada tumor marker atau penanda tumor. Jumlah lesi yang tampak cukup banyak dan lumayan besar. Yang sedikit melegakan, dokter mengatakan tumor marker tidak mutlak menandakan bahwa terdapat penyakit kanker.
(Bersambung)
Tadukan Raga, 09 April 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terima kasih sudah selalu mendukung Bu.
Mantap.
Terima kasih sudah selalu mendukung Bu.