Yessi Eka Nofita

Yessi Eka Nofita, berasal dari Bukittinggi dan seorang guru SMK di Kota Bekasi Jawa Barat,...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sedetik Sebelum Menikah Masih Milik Bersama

Sedetik Sebelum Menikah Masih Milik Bersama

Lanjutan.

Melamar? Pikirku. Secepat itu?

"Bagaimana?" Tanya pak Zainal kembali.

"Kok, buru-buru pak?" Tanyaku ingin membantah. Tenggorokanku tersedak saat menanyakannya.

"Sesuatu yang baik itu harus disegerakan," Pak Zainal menjawab.

Aku terdiam dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutku kelu. Hanya diam yang dapat kulakukan dalam kebingungan itu. Syukurnya mubaligh disamping Pak Zainal tahu dengan kebingunganku.

"Uni, ga usah jawab sekarang. Uni sholat Istikhoroh dulu," katanya menenangkanku. Selama ini dia memanggiku Uni untuk menghargaiku karena kami seumuran.

Ku paksakan tersenyum padanya. Pikiranku kosong. Aku masih bingung untuk bertanya atau menjaqab sesuatu.

"Uni pikir dulu ya. Saya hanya guru mengaji. Berapalah gajinya. Kalau nanti ga ada yang akan kita makan. Mungkin kita akan sering puasa sunah," katanya.

Perkataanya semakin membuatku bingung. Guru ngaji? Gaji kecil? Puasa? Masyaallah. Apa ini? Ku biarkan pikiran itu bermain dibenakku.

"Uni sudah belajar tentang sholat istikhoroh?" Tanyanya.

Aku mengangguk. Masih dengan mulut yang terkunci. Aku seperti kerbau yang di cucuk hidungnya.

"Apa mau diajarkan lagi," katanya lembut.

"Ga usah," kataku ketus. Aku tidak punga perasaan apa-apa padanya. Dia melamarku blak-blakan dengan segala keadaannya. Kalau orang bilang, dia bukan tipeku.

"Bagusnya, besok kamu pulnag dan minta restu pada orang tuamu," kata Pak Zainal ditengah kebingunganku

"Cie... Dilamar," kata ni Fera padaku.

"Orangnya baik loh. Ta'at agamanya. Sudah belajar 5 hadist besar. Kesayangan orang tua di sini karena dia santun," bujuk ni Fera dan cerita bujukan-bujukan lain.

Pikiranku masih kosong, bingung. Malamnya ku paksakan sholat istikhoroh. Ku pasrahkan semua pada-Nya.

"Tunjuki aku ya Allah..," bisikku. Apa yang harus ku katakan pada orang tuaku. Seorang sarjana D3 menikah dengan guru ngaji?

"Gimana perasaanya ni?" Tanya mubaligh itu lagi.

"Apaan sih," kataku ketus.

"Husss, kok gitu jawabnya. Calon suami loh," kata ni Fera.

"Hep... Sedetik sebwlum menikah masih milik bersama ya. Siapa saja boleh melamarr. Belum ada kata taat pada suamj," jawabku semaunya.

Paginya ku beranikan diri pulang ke rumah. Ni Fera mengantarku menaiki Bus ke Bukittinggi.

"Apa perlu uni antar," kata ni Fera menawarkan diri.

"Jangan," kataku. " Nanti malah jadi masalah. Bisa makin ribet."

"Hati-hati, kalau ada apa-apa hubungj uni ya," kata ni Fera lagi.

Ku lambaikan tangan sambil berlalu bersama bus yang mengantarku ke Bukittinggi.

Sesampaidi rumah, semua orang kaget melihat kepulanganku.

"Loh, katanya mau cari kerja. Kok sudah pulang?" Tanya mamaku.

Aku diam sesaat. Lalu kukatakan semuanya.

"Guru ngaji? Berapa gaji guru ngaji? Kamu mau makan apa nanti?" Mamaku khawatir.

"Kamu kan lulusan D3, carilah yang sepadan,"kakakku menyela.

"Masalah ijazah?" Kataku. "Jual aja kalau itu jadi penghalang," ucapku. Kenapa aku menjawab itu? Padahal aku tidak punya perasaan apa-apa. Apa ini jawab dari Allah, pikirku.

"Ya sudah, besok suruh dia kesini. Biar dia yang datang menemui Papamu, kan ada sodara papa juga. Biar tahu sekalian," kata mamaku mendengar jawabanku.

Memang saat ini semua saudara papa pulang dari rantau. Mereka menghadiri pernikahan sepupuku kalau di padang disebut Bako.

Besoknya aku kembali ke rumah ni Fera. Ku katakan kalau dia disuruh kerumah. Nanti akan bertemu dengan saudara papa juga.

Besoknya dia datang dengan temanya kerumah. Dengan niat ingin kenal keluarga. Aku lihat dia bercerita panjang lebar. Entar berdiskusi, entah berdebat aku tak mengerti karena aku hanya duduk di dapur. Aaku tak berani duduk bergabung.

Tiba-tiba sepupuku bertanya, "Yanga mana sih orangnya?"

"Itu, yang lagi cerita," kataku

Dia tertawa, "biasanya orang kalau diantar itu diam. Ini malah dia yang cerewet."

Memang aku lihat dia aktif berbicara, justru temannya yang diam seribu bahasa. Taklama setelah itu dia pamit.

Salah satu pamanku berkata, "Ini baru kami yang ditemui. Besok cobalah temui jendralnya." Katanya. Jendralnya yang dimaksud adalah kakak papa ku yang merupakan ketua KAN (Karapatan Adat Nagari) yang lumayan dipandang orang.

Besoknya kami janjian menemui beliau. Aku naik angkot. Kiki panggilanku pada mubaligh itu naik sepeda motor. Dia dari Payakumbuh dan aku dari rumah.

Aku tidak mau diboncengnya. Kami belum ada ikatan apa-apa. Aku tak mau merusak niatku.

"Assalamu'alaikum," kata kami berdua.

(Bersambung)

#tantangangurusiana hari ke 10

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menunggu lanjutannya

28 Oct
Balas

Menunggu lanjutannya

28 Oct
Balas

Menunggu lanjutannya

28 Oct
Balas

Trimakasih..

28 Oct

Tak sabar me nanti. .. Sukses Ibu

27 Oct
Balas

Trimakasih bu

28 Oct

Semangat!

27 Oct
Balas

Trimakasih ibu

27 Oct

Di tunggu kelanjutannya ya bu yessi

28 Oct
Balas

Hehehe... Ya bu nurul. Lg nyari waktu. Semangat bu nurul

28 Oct

Lanju UNI....

27 Oct
Balas

Besok lanjutannya bu. Xixixi... Td lagi jenuh ngedit yang mau dikirim

27 Oct

Lanju UNI....

27 Oct
Balas



search

New Post