Yeti Chotimah

Yeti Chotimah, saat ini menjadi guru di SMPN 3 Rogojampi Banyuwangi Jawa Timur. Motto "Menjadi guru adalah pilihan, mengabdi kepada masyarakat adalah kewajiban"...

Selengkapnya
Navigasi Web

GESEKAN BIOLA KANG PAIMIN

GESEKAN BIOLA KANG PAIMIN

Oleh: Yeti Chotimah, M.Arts.

Guru SMPN 3 Rogojampi-Banyuwangi`

Malam ini dingin semakin tak ketulungan. Semakin lamat lolong anjing di kejauhan semakin terdengar. Waktu semakin larut. Kang Paimin belum juga datang. ya, malam ini memang dia dan grupnya diundang untuk tampil pada pesta hajatan di kecamatan Kabat. Kang Paimin seorang panjak (penabuh musik). Sebagai panjak, dia harus bisa menguasai berbagai macam alat musik daerah, karena sekali waktu mereka harus menggantikan peran satu dengan yang lainnya.

Kang Paimin ahli memegang biola, petikan dan gesekannya membuat para gadis banyak yang gandrung padanya, termasuk aku. Kukenal dia disebuah acara padang bulanan di ruang terbuka hijau (RTH) taman Blambangan. Kala itu sekolah kami termasuk yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan sebagai penggembira. Hemh......gesekan biolanya membuatku terus memikirkannya. Dan pada berikutnya aku mengikuti pementasan-pementasan Paimin dengan susah payah. Hingga suatu hari, kuberanikan diri untuk unjuk tangan tampil mengisi pra acara padang bulanan dengan menyanyikan gending Banyuwangi “Kepingin turu ning dadane”.

“Hai,...suaramu enak dik,,,renyah sekali kayak tebu. Boleh tau namamu ?’ kata Kang Paimin usai pementasan berlangsung.

“ya, namaku Surti Dewi Soerkarno.” Jawabku

“ Masih sekolah ?” apa..sudah nikah ?

“Aku masih sekolah. kelas XII di SMA.” Kuberanikan diri membuka lebih banyak informasi tentangku. Malam itu kami bertukar nomor HP. Harapanku, dia menelfonku.

Malam berganti malam, minggu berganti minggu. Kang Paimin tak juga menelfonku. Meski sesekali waktu aku mengirim sms, dia hanya menjawab dengan singkat. Sementara waktu terus beranjak dari peraduannya, aku harus melewati masa penentuan kelulusan sekolah. Ujian Nasional sedikit membuatku melupakan Kang Paimin. Apalagi setelah itu aku melanjutkan studyku di Malang. Sampai akhirnya aku lulus dengan nilai sangat memuaskan dengan semangat bisa cepat kembali dan berburu keberadaan Kang Paimin.

“Surti, kau datanglah ke rumah bibimu. Sepupumu si Yuni menikah besok pagi. Kalau kau tak bisa datang paginya. Kau boleh datang malam hari pada upacara resepsinya di Gedung Wanita.” Kata Ibuku. Yuni memang adik sepupuku, namun dia lebih tua dua tahun dariku.

Gedung Wanita memang merupakan salah satu gedung bergengsi di Kabupaten Banyuwangi. Kata kakekku Gedung tersebut pada masa kolonial Belanda merupakan bekas gudang penyimpanan hasil rampasan macam-macam hasil bumi dari penduduk Blambangan sebelum pada akhirnya dibawa ke negeri Belanda. Letak gedung Wanita yang cukup strategis dan dekat dengan pantai Boom, memudahkan Belanda membawa hasil jarahannya. Gedung Wanita bersebelahan dengan gedung Kodim, yang dulunya merupakan Gedung Uchtrech markas pasukan Belanda. Baratnya adalah kawasan tegal loji tempat sekolah anak-anak bangsa Belanda pada masa lalu yang sekarang menjadi SD Kepatihan. Seputaran ruang terbuka hijau (RTH) Blambangan memang merupakan wilayah bersejarah, namun seringkali terlupakan.

Apalagi Gedung Juang ’45 yang kini sudah tinggal roohnya saja. Gedung Juang’45 yang dulu merupakan gedung sekiti (kamar bola sekaligus barr). Gedung Juang ’45 Kabupaten Banyuwangi. Pertama kali direhab tahun 1982, diresmikan oleh PANGDAM V/ Brawijaya Mayjend. Sjaiful Sulun Tanggal 29 Januari 1986. Disaat perang kemerdekaan 1945, Batalyon Hizbullah yang dipimpin H. Mohammad Arifin mengambil alih gedung tersebut. Jaman RIS-1953, gedung ini dijadikan Kantor Perwira Distrik Militer (PDM). Setelah ditinggal tentara-tentara PDM tempat ini dijadikan Gedung Nasional Indonesia (GNI) dengan pengelola Pemda Banyuwangi. Tahun 1960 GNI dijadikan Unit Universitas Jember dengan penyelenggara Pemda Banyuwangi serta kegiatan olahraga dan seni budaya sampai dengan tahun 1982. Usai pemilu 1982 mulai direhab untuk dijadikan Gedung Juang ’45. Sejak itu DHC ’45 mulai berkantor di Gedung Juang ’45 sampai dengan sekarang. Pak To biasa dia dipanggil begitu, dia penjaga kebersihan Gedung Juang ‘45 sering ditemui Noni-noni cantik di malam-malam tertentu. ..... meski keberadaan Gedung Juang ’45 semakin mengenaskan dan bagian dalamnya banyak yang bocor. Pemerintah daerah sejak tahun 2013 selalu saja berjanji untuk merehab peninggalan bersejarah ini, namun sampai dengan tahun 2015 janji itu belum terealisisr. Padahal, sampai dengan sekarang gedung itu didalamnya terdapat 8organisasipurna tugas dari angkatan bersenjata RI yang setia setiap bulan mengadakan pertemuan di gedung tersebut. Dan Pak To apapun keberadaan gedung itu, dengan setia menunggu dan membersihkan tanpa upah sedikitpun dari pemerintah daerah.

Selatan Gedung Juang ’45 yang dijadikan sebagai rumah dinas para tentara, masih disebut sebagai Inggrisan sampai sekarang. Bangunan bergaya setengah Portugal, dengan ciri khas terdapat tempat memelihara kuda dengan pintu bangunan berbentuk setengah melingkar. Inggrisan merupakan kantor pengurusan surat jalan perdagangan yang dilakukan oleh Negara Inggris yang melewati rute Asia transit di bumi Blambangan masa itu. Sedangkan Bank Jatim, masih kata kakekku dulu merupakan tempat parkirnya kereta jenazah. Dan Kantor Pos sampai sekarang tetap difungsikan sebagai Kantor Pos. Terakhir, wisma Blambangan merupakan perumahan para pembesar Belanda pada masa itu.

“Sur,...ayo bangun. Sholat subuh lantas ibu minta kamu yang memasak pagi ini. Ibu akan bersiap-siap untuk pergi ke rumah bibimu di Kali Lo.” Sontak aku terbangun dan segera laksanakan perintah ibu.

Jam 7.30 tepat, ibu, ayah dan adikkuku berangkat ke rumah bibiku. Aku tak ikut karena ingin bebenah rumah. Biar malam hari nanti aku datang ke Gedung Wanita. “tit..titit..tiiiit” dering sms HP ku berbunyi.

“Sur, datang ya nti malam....sekalian aku ingin beri kejutan padamu.” Bunyi sms itu yang ternyata dari Yuni, sepupuku. Kujawab “ya”. Tanpa menanyakan kejutan apa yang akan di berikan padaku.

Seharian penuh aku membersihkan rumah. Memang sudah kujadwal sendiri sejak Mbok Gina sudah tak ikut lagi dengan ibuku, sebulan sekali setiap minggu ke tiga aku membersihkan rumah. Hanya aku tak pernah membersihkan Gudang. Tikus membuatku enggan menjamah gudang yang dulunya adalah kamar kakekku. Namun ketika aku di depan pintu gudang, aku ingin mengintip gudang itu. Huh.....pengapnya.... aku semakin membuka pintu serta jedela kecil untuk mengurangi pengap. Tanganku mulai bergerak membersihkan gudang itu. Sedikit demi sedikit, detail ruangan kubersihkan dan ku lap dengan kain serta kutata barang-barang yang sebagian merupakan peninggalan kakekku.

Hampir mendekati adzan maghrib, selesai sudah aku membersihkan kamar kakekku. Yah, tinggal menata buku di atas almari. Samar-samar dari sekian buku yang kutata, ada sebuah buku yang warnanya sangat elegan....coklat berbulu dengan ketebalan seperti kamus Bahasa Inggrisku. Wau....ternyata bungkusnya dari kulit sapi. Kakekku memang tergolong orang pintar. Banyak sekali dulu pada masa aku masih kecil, orang datang menemui kakekku dan meminta nasehat bahkan kadang ada yang minta air yang di doai oleh kakekku. Sampai aku duduk di SMP kelas IX, kakekku meninggal dunia.

Rasa ingin tau makin menjadi, kubawa buku itu ke kamarku........lembar pertama kubuka. Terdapat tulisan latin sangat bagus “Japa Mantra Wong Osing”. Hatiku mulai dag-dig dug. Kubuka lembar kedua, ternyata merupakan daftar isi buku dengan masih bertuliskan huruf latin. Ada hampir 300 daftar isi buku tersebut. Pada daftar ke 35, terdapat mantra “jaran Goyang”. Penasaran aku jadinya........Adzan maghrib berkumandang segera aku membersihkan diri dan menunaikan sholat maghrib. Tak khusyu’ sholatku karena pikiranku tertuju pada buku mantra kakekku.

“Kepingin turu ning dadane.....” suara Dering Hp ku berbunyi. Aku memang gandrung dengan musik Banyuwangi. Hingga saat SMA, aku tak pernah peduli pada ocehan temanku yang menjuluki dering HP ku dering jadul. “ Sur, cepat berangkat. Jam 6.30 temu manten di gedung. “ suara ibuku dari seberang. “Ya, Buk segera berangkat.”.

Kuputuskan malam ini memakai baju batik Khas Icon Banyuwangi yakni Gajah Oling warna biru yang dipadupadankan dengan broklat. Ibuku sendiri yang menjahitkannya untukku. Segera aku tancap gas menuju gedung wanita yang bisa kutempuh 10 menit dari rumahku yang ada di Setro Penganten.

Sesampai di Gedung Wanita, persis acara temu pengantin akan dimulai. Aku ikut mengiring manten dari belakang. Dengan menggunakan adat Osing, *1Kosek ponjen namanya. Cucuk lampah (orang paling depan penunjuk arah) mulai beradu pantun sambil diiringi musik Osing,....”.Hah...musik Osing...?” aku baru sadar dan mengenali gesekan biola itu. “Kang Paimin......” aku tak pernah lupa pada gesekan biola Kang Paimin. Mungkinkah...?

“Surti...kamu itu sudah hampir melewati sang pengantin......Sur” suara ibuku sambil mencoba rengkuh tanganku dan ditarik kebelakang.

“Mak....., maaf buk......” aku belingsatan (bingung) tak karuan sama dengan pikiranku. Sambil sedikit sembunyi di belakang punggung ibuku....aku coba mengintip prosesi pernikahan. Sekaligus kucoba cari tahu siapa pemain biola di ujung timur dekat kuade (kursi pengantin). “Duggggg...” jantungku semakin berdebar keras. Ya benar...itu Kang Paimin. Hatiku semakin campur adug oleh perasaan yang tak menentu.

Rupanya Kang Paimin seperti tak tak mengenaliku, mungkin karena aku sedikit berpoles dan berkebaya. Kunikmati saja wajah Kang Paimin dari tempat duduk keluarga. Sampai usai resepsi pernikahan, para pemain musik diminta untuk makan malam oleh bulekku.

Tiba-tiba Yuni datang mendekat “cie.....kadung demen ngomongo baen” (jika suka bilang saja).

“Paran baen (apa saja) dik Yuni....ehm...itu.......... kejutanmu buat saya ?” sedikit malu kubertanya.

“Iya. Bukankah Mbak Surti sudah cukup usia untuk.......dan yang saya tahu dialah cinta pertama Mbak kan ?”

“Ngawur kamu. Tau dari mana kamu ini.” Jawabku sedikit ladhak (mencoba menghindari tuduhan).

“Ya tau mbak.....Kang Paimin itu temanku mulai SMA. Kamipun sama-sama kuliah ambil jurusan Biologi. Dia suka bercerita tentang kamu, hanya selama ini dia takut memberikan harapan kepadamu. Dia takut karena kala itu Kang Paimin masih belum punya pekerjaan tetap. Sekarang dia sudah menjadi guru di sebuah SMP dengan masih tetap sekali waktu bermain biola jika ada undangan..... “ Panjang lebar Yuni bercerita tentang Kang Paimin. Sampai tanpa sadar ada seseorang mendekati tempat kami mengobrol.

“ Ehem....asiknya ngerumpi....selamat ya Yuni.” Kang Paimin menyalami Yuni. Kaget dan campur aduk hatiku. Wajah Kang Paimin sedikit lebih dewasa dan semakin manis saja kulihat. Ah...kang Paimin...

“Sama-sama. Mudah-mudahan sebentar lagi kamu menyusul. Eh, sebentar kutinggal dulu. Rupanya aku sudah ditunggu mantan pacarku...kasihan dia sendirian dari tadi”...Yuni langsung ngeloyor pergi.

“Bagaimana kabar kuliah kamu, sudah selesaikah ?” Kata Kang Paimin membuka percakapan.

“Su...sudah Kang. Mulai senin depan aku diterima kerja sebagai pegawai tetap di Kantor Pos.” Jawabku gugup.

“Selamat ya. ....Surti...ehm..kapa-kapan aku boleh main ke rumah kamu kan ?” Kata Kang Paimin.

“boleh.....kapan?” jawabku singkat.

“kapan-kapan. Eh..sudah ya...waktuku pulang. Itu sudah ditunggu teman grup musikku” tanpa menunggu jawabanku. Kang Paimin melesat meninggalkan beribu onak dipikiranku.

#

Dengan kesibukan baruku sebagai pegawai kantor Pos, aku sedikit terhibur dari lelahku menunggu Kang Paimin.

Sepulang dari kantor, entah kenapa sore itu kembali aku teringat buku kakekku. Usai membersihkan diri aku membaca lembaran tulisan dalam buku yang halamannya memang sudah kutandai. “Ilmu Jaran Goyang..” kubaca lengkap syarat dan lelakon ilmu Jaran Goyang. Ilmu masa lalu yang fungsinya untuk menarik simpati lawan jenis dengan cara magic. Tanpa sadar, ada sesorang menepuk pundakku. Waduh...aku lupa menutup pintu.

“Surti, kau tak perlu gunakan mantra itu untuk memelet Paimin. Tuh, dia sudah ada di ruang tamu” kata ayah dan ibuku sambil tersenyum melihatku yang terlalu bersemangat membaca buku kakekku.

“Ah, Ayah...kan aku hanya ingin tahu saja. Eh........benarkah ada Kang Paimin ?” kataku menutupi rasa malu.

“Ya....dia sudah menunggumu sejak 15 menit lalu, temuilah dia” kata ibuku

Aku langsung melesat keluar kamar untuk membuktikan kata-kata ibuku. “Eit...tunggu dulu.” Kata ayahku sambil menarik tangan kananku. “Sampaikan salam padanya, minggu depan suruh orangtuanya datang untuk melamar kamu” ayah melanjutkan bicaranya.” Eh...satu lagi....nggawe upacara perang bangkat yo !” (pakai upacara *2perang bangkat ya !). Sambil tersenyum menepuk punggung tanganku dua kali seraya membangunkan kekagetanku.

“Hah....?????”......entah rasa apa ini. Tapi semua terasa begitu indah. Seperti mimpi sore hari.......kupeluk dua orang yang sangat kukasihi itu sambil berbisik “Terimakasih Yah-Buk, mohon do’a restunya.......”.

Banyuwangi, 2 Juni 2015

Pegiat Sanggar Teater Merah Putih “45 Banyuwangi

*1 & *2 : Upacara adat pengantin Osing yang ketentuan pemakaiannya tergantung dari urutan keluarga pasangan pengantin pria dan wanita.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

terimakasih..

20 May
Balas

Wah keren banget cerpennya, makna jodoh tidak akan pergi kemana-mana

16 May
Balas



search

New Post