Yetti Muryati Tanjung

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Perjalanan Si Cucur

Perjalanan Si Cucur

Matahari pada siang itu tidak segan-segan menampakkan wajahnya. Cerah sinarnya, terasa panas menyengat kulit mudaku. “Papa, mengapa kita tidak naik becak?” kataku sambil mengernyitkan kening karena kepanasan campur bingung mengapa papaku tidak mau naik becak padahal pasar yang kami tuju 10 km jaraknya dari rumahku.

Dengan santai dan tenang papaku menjawab, “Iya, sebentar lagi di depan sana kita naik becaknya ya.” Mendengar jawaban itu aku pun diam sambil terus berjalan menggandeng tangan papa.

Setelah berjalan jarak 20 meter aku tagih kembali janji papaku. “Papa mana, katanya mau naik becak.” Keluhku karena kesal melihat reaksi papa yang diam saja padahal becak kosong tanpa penumpang banyak lalu lalang di jalan.

“Iya, di depan sana. Tunggu ada becak yang lewat.” jawab papaku dengan santai. Aku pun tetap menggandeng papaku sambil tetap berjalan sambil merasakan panas di ubun-ubunku.

Pasar memang sudah mulai tampak membayang di kejauhan. Ya, sekitar 50 meter lagi kami hampir sampai. Walaupun begitu, tetap aku tagih janji papa. “Papa, tadi kata papa mau naik becak. ” Tetap juga aku menunggu jawaban papa. “Apalagi kira-kira jawaban papa?” Bisikku penuh penasaran.

Lalu papa menjawab dengan nada makin santai penuh kemenangan. “Ah, kita kan sudah hampir sampai. Itu sudah kelihatan pasarnya. Tanggung kalau naik becak. Itu namanya tidak efisien.”

Walaupun aku belum mengerti makna kata efisien saat itu tapi aku tetap berbisik menyetujui kata papa “Benar juga ya, sudah tanggung.” Bisikku pasrah karena pupus sudah harapan naik becak.

Kelak ketika dewasa ini aku paham bahwa efisien yang dimaksudkan papa adalah jangan sampai ongkos lebih besar daripada jumlah belanja kami ketika itu. Maklum, papa begitu hemat karena beliau hanyalah seorang pedagang sembako. Penghasilan dari berdagang itu setiap hari tidaklah menentu. Aku pun kelak menjadi paham bahwa papa berbohong ketika itu adalah demi kebaikan.

Kami pun terus berjalan mendekati lokasi pasar. Keringat bercucuran di wajahku, di sela-sela rambut ikalku. Tepat di sisi kami berjalan, mataku tertuju pada seorang bapak yang sedang berjualan sambil duduk di bangku jongkok. Di depannya ada sebuah kompor minyak tanah ukuran kecil yang menyala. Ketika melihatnya, “Persis seperti mainan masak-masakanku di rumah” bisikku dalam hati.

Di atas kompor tersebut ada wajan kecil dengan sebuah sodet dan sebatang bambu mirip sumpit. Di sisi kanan kompor dan wajan itu, terpampang jajaran kue berwarna cokelat berbentuk bulat yang telah digoreng.

“Kue apa ya itu?” bisikku dalam hati karena baru pertama kali melihat kue seperti itu. Tak terbayang sedikitpun bagaimana rasanya olehku. Sambil melambatkan jalan, aku berkata “Papa, mau itu.” Kami pun menghampiri pedagang kue itu.

“Berapa, Pak?” Tanya papa menanyakan harga.

“lima puluh rupiah,” jawab tukang kue itu.

“beli enam, Pak,” jawab papa. Papa kemudian bertanya, “Ini namanya kue apa?”

“Cucur,” jawab singkat si penjual kue. Itulah perkenalan pertamaku dengan si cucur.

Sejak saat itu, kue manis berbahan utama tepung beras itu menjadi favoritku. Di mana pun aku bertemu dengan penjual cucur pasti aku membelinya. Ketika terhidang dalam suguhan acara syukuran, tak ayal aku akan memakannya.

Sembilan tahun kemudian saat duduk di bangku SMP kue favoritku tetaplah cucur. Suatu waktu aku menemukan resep cucur dalam sebuah majalah wanita bekas. Betapa bahagia hatiku. Kuamati bentuk cucur dalam majalah itu. Pikiranku melayang membayangkan rasanya, manis legit. Kupindai bahan-bahan serta cara membuatnya. Dalam imajinasiku tergambaraku sedang mengaduk-aduk adonan. Tentu saja tak kututup begitu saja lembaran berisi resep cucur itu. Kuambil gunting di atas meja belajarku. Dengan hati-hati kugunting resep itu secara berkeliling untuk kujadikan salah satu koleksi klipingku.

Kesukaanku akan cucur berlanjut hingga ke bangku SMA. Bahkan saat pertama kali mempunyai alamat e-mail, pertanyaan dan jawaban rahasiaku sebagai cara untuk menjaga kerahasiaan data adalah “What is your favourite food?” dan “cucur”.

Memang tidak semua orang seperti aku. Ada sebagian yang makanan favoritnya berubah-ubah dari waktu ke waktu. Mak Etekku contohnya. Dulu sewaktu masih di kampung halaman sebelum merantau dan menikah dengan gadis jawa, ia suka makan ikan. Apalagi kampung halaman kami yang terletak di pelosok Sibolga, Tapanuli Tengah itu terkenal dengan kekayaan lautnya. Bisa dibilang mayoritas warganya suka makan ikan.

Tak tahu mengapa, sejak merantau ke Jakarta dan menikah, ia tidak lagi gemar makan ikan. Entah ikan di Jakarta yang tidak segar, entah istrinya yang tidak pandai mengolah ikan, entah ada trauma makan ikan di Jakarta karena pernah termakan ikan tidak segar, kami tidak tahu alasannya.

Lain lagi dengan ibuku. “Ibu dulu tidak suka makan semangka, busuk ibu cium.” Sambil menutup lubang hidungnya pada suatu sore sambil menonton TV. “Tapi sejak tante Win mengajari ibu cara memakannya, ibu jadi suka.” Cerita ibuku sambil tersenyum. “Tutup hidung kalau memakannya,” jelas ibu memberikan tips ketika memakan semangka.

Memang, kesukaanku akan cucur ini tidaklah dipaksakan. Aku tidak mengharuskan di meja makan selalu tersedia cucur. Jika secara tak sengaja aku menemui penjual cucur di pinggir jalan, aku segera mendekatinya dan membeli beberapa buah cucur. Jika tidak ada cucur, ya aku tidak memaksakan diri untuk mencarinya.

Yang menjadi masalah adalah ketika aku ingin sekali makan cucur tapi tidak menemukan penjual cucur. Kadang-kadang pula aku temukan tukang cucur di pinggir jalan, tapi dalam waktu yang bersamaan aku sedang berada di dalam kendaraan umum yang sedang melaju dan tidak mungkin untuk turun dari kendaraan. “Yaah, ada cucur,” bisikku campur kesal dalam hati. Namun, pernah juga aku menemukan penjual cucur tapi ketika ingin membelinya, aku sudah kehabisan.

Hasrat ingin makan cucur tak mengenal waktu, seperti pagi ini. Tiba-tiba otakku membayangkan cucur dengan bentuk bulat dan tekstur bersarangnya. Harum semerbak wangi gula aren melintasi hidungku. Kurasakan manisnya menyentuh lidahku.

Hujan turun sejak pukul tiga. Dingin udara di luar menjalar masuk melalui lubang angin ke dalam rumah. Air wudhu terasa dingin menusuk tulang. Satu kewajiban lepas sudah. Shalat subuh baru saja kutunaikan.

Minggu pagi yang dingin menggodaku untuk kembali meringkuk di kasur sekadar merapatkan kelopak mata. “Alhamdulillah, libur,” bisikku dalam hati. Tiba-tiba muncul hasrat ingin makan cucur.

Lain waktu, aku sedang berada di dalam angkot umum yang sedang melaju, kulihat tukang cucur di pinggir jalan, “Bang, kiri bang,” teriakku secara spontan kepada sopir angkot. Lalu kuhampiri tukang cucur itu.

Tergambar dalam benakku cucur dengan bentuk bulat dan tekstur bersarangnya. Harum semerbak wangi gula aren melintasi hidungku. Kurasakan manisnya menyentuh lidahku. Bayangan cucur itu langsung terkoneksi dengan perutku. Lapar pun menghampiri. Kuabaikan kasur yang memanggil itu.

Kudengar suara berisik minyak goreng panas yang terciprat air dari arah dapur. “Rupanya mamah sedang masak,“ bisikku dalam hati sambil mendekati mamah, “Mah, lagi goreng apa?”

“Mamah mau buat oseng tempe, Wen,” jawab mamah sambil terus mengaduk bumbu yang ditumisnya. Aku langsung utarakan niatku untuk membuat cucur, “Mah, aku ingin buat kue cucur.”

“Cucur? Buat saja. Tapi kamu tahu tidak cara membuatnya?”

“Tenang, Mah, kan ada Youtube,” jawabku dengan penuh keyakinan sambil menuju kamar untuk mengambil HP.

Betapa zaman telah berubah. Resep yang kukliping dalam buku waktu SMP dulu kini terasa kuno. Tak lagi kulirik. Internet telah mereformasi cara manusia mendapatkan informasi.

Kuambil HP-ku yang tergeletak di atas kasur. Segera kubuka aplikasi youtube. Ku tik di kolom search “cucur”. Browser internet di HP-ku berputar mencari video yang aku maksud. Jreng, tampillah di layar HP-ku berbagai resep cucur dengan judul yang menarik, “Cucur Enak Bersarang”, “Cucur Anti Gagal”, “Kue Cucur Enak”, dsb. Ku mulai putar video urutan paling atas, “Cucur Enak Bersarang”.

Sang youtuber memberi salam pembukaan, “Hai guys, apa kabar semuanya? Jumpa lagi dengan saya “Indri Adriani”. Kali ini saya akan berbagi sebuah resep kue. Kue ini adalah kue yang berasal dari Jakarta. Kue ini sering kita jumpai di pasar atau di pinggir jalan. Baiklah langsung saja saya akan mulai mempraktrikkan cara membuatnya,”

Sang youtuber dengan follower 1,2 juta itu lalu menjelaskan mengenai bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan cucur terlebih dahulu. Berlanjut penjelasan mengenai langkah-langkah pembuatan cucur. Aku amati baik-baik video berdurasi 12 menit 25 detik itu . “Sepertinya mudah,” bisikku meyakinkan diri sendiri.

Setelah video selesai kutonton kubuka pintu kulkas di dapur. “Tepung terigu ada, tepung beras ada, gula aren ada, santan ada. Alhamdulillah lengkap.” Bisikku sambil memilah isi kulkas.

Waktu di HP-ku menunjukkan pukul tujuh lewat 15 menit. Bahan-bahan kukumpulkan di atas meja lalu kumasukkan tepung ke dalam baskom dengan takaran menggunakan gelas. Sementara itu secara bersamaan kumasak empat bongkah gula aren, dua sendok gula pasir dan air hingga mendidih. Lalu kuaduk tepung dan larutan gula itu setelah hangat. Untuk menghilangkan gumpalan dalam adonan, menurut tutorial di youtube adonan di-mixer selama 15 menit. Antara yakin dan tidak terus ku mixer adonan hingga waktu yang dianjurkan. Setelah adonan halus merata, kudiamkan adonan selama 40 -50 menit sebelum digoreng. “Semoga jadi ya, Allah,” bisikku dalam hati.

Sambil mendiamkan adonan dalam waktu yang lumayan lama, kuambil handuk. “Ma, Weni Mandi dulu, ya,” kataku pada mama.

“Iya. Bagaimana adonan kuenya, Wen?” Tanya mama penasaran.

“Sedang diistirahatkan, Ma.” Jawabku sambil menuju kamar mandi.

“Ooh,” mama membalas singkat.

Tak sabar segera kubuka tutup wadah adonan setelah mandi. Kuaduk sebentar adonan itu. Lalu kupanaskan wajan berisi 5 sendok makan minyak goreng di atas kompor. “Bismillah,” ucapku pelan sambil menuangkan satu sendok sayur adonan ke dalam minyak goreng yang telah panas. Dengan api kecil kumasak kue pertama itu selama tiga menit lalu aku tiriskan. “Alhamdulillah, bentuknya mirip dengan kue yang dijual oleh abang-abang pedagang cucur,” seruku kegirangan.

Kue pertama kuletakkan di piring kecil dan kupersilakan mama untuk mencicipinya. “Enak,” kata mama singkat sambil mengunyah cucur. Sementara aku cermat mengamati cucur kedua yang masih aku masak. Dua menit kemudian kue kedua pun matang. Lalu kutiriskan dan kembali kuhidangkan di piring kecil. Segera kumasukkan adonan berikutnya ke dalam pengorengan. Sementara itu di meja makan mama siap menunggu cucur kedua. Kuhidangkan di hadapannya cucur kedua. “Kurang sedikit cokelat, Wen warnanya,” ujar mama sambil mencomot cucur itu. “Oke, mah,” jawabku sependapat dengan mama sambil ikut mencomot juga. Rasa kue cucur itu sama dengan rasa cucur dalam bayanganku, seperti cucur yang dijual abang-abang.

Kembali aku sesaat kemudian ke dapur untuk mengecek cucur ketiga di penggorengan. Perubahan warna mulai dari cokelat muda hingga cokelat tua kuamati dengan cermat. “Sudah pas belum ya warna cokelatnya,” bisikku sambil membolak-balik cucur di penggorengan untuk memastikan. “Insya Allah sudah pas,” kuangkat cucur dengan penuh keyakinan.

Cucur ketiga kuserahkan pada papa untuk mencicipinya. “Pa, coba deh,” kuhampiri papa yang sedang duduk santai menonton TV di ruang keluarga. “Enak,” kata papa sambil mengacungkan jempolnya.

Mama kembali ke dapur mengambil piring kecil dan diisinya dengan empat cucur yang masih panas-panas. “Ini kita kasih Oma ya, Wen,” ujar mama sambil mengambil tisu untuk menutup piring itu.

“Iya, Mah,” jawabku sambil mengamati cucur di penggorengan.

Cucur telah menjadi rezeki Oma. Allah Mahakuasa. Rezeki tak meleset.

Jam dinding di atas TV menunjukkan pukul 10.45 Aku pun selesai memasak seluruh adonan cucur. Tiga piring besar cucur tersaji di meja makan, masing-masing sepuluh cucur. Aku tak menyangka akan jadi sebanyak itu.

“Banyak sekali cucurnya, Wen,” ungkap mama heran setelah melihat cucur yang tersaji dalam tiga piring besar.

“Iya, Mah, Weni juga gak menyangka jadi sebanyak itu, maklum chef amatiran,” jawabku cengengesan karena tidak pandai menakar jumlah adonan. Lalu aku berlalu sambil merapikan dan membasuh alat masak yang dipakai untuk membuat cucur.

Sementara itu kasur dalam kamar seolah memanggilku. “Alhamdulillah,” desahku lega sambil berbaring setelah menyelesaikan pekerjaan di dapur. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul sebelas.

RT 02 RW 07 No. 5, Jatijajar Depok

“Mah aku sudah rapi,” kata Rindi pada mamanya.

“Yuk, kita berangkat,” balas mamanya kepada Rindi.

Seperti biasa hari Minggu Rindi ditemani mamanya pergi ke rumah Weni untuk belajar tambahan. Pukul sebelas lewat lima menit mereka tiba di rumah Weni. Kali ini dua orang adik Rindi turut serta.

“Assalamualaikum,” seru Rindi sambil mengetuk pintu.

“Waalaikumsalam,” jawab papa yang sedang duduk di ruang tamu dan langsung membukakan pintu. Rindi dan kedua adiknya segera menyalam papa dan mama.

“Wen, ada Rindi nih,” ujar mama setengah berteriak memanggilku yang baru lima menit merabahkan badan di kasur.

“Iya, Mah,” sahutku dengan suara agak berat. Kupakai hijab dan langsung menuju ruang tamu. Aku sapa eka, mama, serta adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Aku pun duduk di samping Rindi. “Ada PR Matematika Kak,” kata Rindi memulai percakapan.

“Tentang apa?” tanyaku

“Jaring-jaring kubus dan balok,” jawab Rindi sambil membuka buku Matematika kelas 6 SD.

Sementara kami belajar, mama Rindi dan papaku berbincang-bincang, adik-adik Rindi bermain mobil-mobilan yang mereka bawa dari rumah. Ibuku datang dari arah dapur membawa empat gelas minuman dan sepiring cucur dengan menggunakan baki.

“Ayo, silakan minum dulu,” kata mama sambil menaruh minuman di atas meja tamu. “Ini ada kue cucur, Ariel, Dimas,” Kata mama mengajak Ariel dan Dimas makan kue cucur yang dihidangkan. Ariel dan Dimas pun menghentikan permainan mereka. Tanpa malu-malu mereka mengambil cucur lalu memakannya. Dapat dimaklumi karena mereka masih berusia 3 dan 6 tahun. Selesai makan cucur pertama, Dimas melanjutkan makan cucur kedua. Senangnya hatiku melihat mereka makan dengan lahapnya. Rindi pun turut mencicipi cucur yang dihidangkan setelah selesai mengerjakan PR. Kami berbincang sejenak. Rindi pun menyandang tasnya. Mereka berpamitan pulang. Cucur telah menjadi rezeki mama Rindi, Rindi dan kedua adiknya.

Allah Mahakuasa. Rezeki tak meleset.

Tak bisa kutentukan siapa yang mempunyai rezeki mencicipi kue cucur buatanku. Benar-benar Allah yang berhak menentukan rezeki setiap hamba-Nya. “Masya Allah, Tabarokallah.” Zikirku dalam hati sambil membawa piring dan gelas kosong ke dapur.

Sayup-sayup Alunan adzan berkumandang dari masjid Baitul Muttaqin dekat rumah kami. Mama segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan bergantian dengan papa. Mama menunaikan shalat di kamar; papa menuju ke masjid. Aku masih berleye-leye di kasur kamar.

“Weni, shalatlah,” perintah mama setelah melipat mukenah dan pergi ke kamarku.

“Iya, mah,” sahutku sambil berusaha bangkit dari pembaringan menuju ke kamar mandi. Air wudhu yang menyentuh kulitku seketika menyegarkan mataku kembali. Kutunaikan shalat zuhur di kamar. Kurebahkan tubuhku setelahnya di atas kasur bersprei pink. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit.

RT 07 Rw 011 No. 54 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan

“Ayo cepat, Kak kita berangkat” Desak Ikhsan yang telah duduk di atas motor kepada Era, kakak keduanya. “Nanti kesiangan kita sampai tempat Kak Weni.”

“Iya sebentar, Kakak ambil jaket dulu, De,” jawab Era sambil berjalan cepat. Mereka pun berangkat menuju rumahku. Tepat pukul dua belas lebih dua puluh menit mereka tiba.

“Assalamualaikum,” suara wanita memberi salam terdengar dari arah pintu. Mama yang sedang membenahi isi kulkas di dapur segera menjawab salam,

“Waalaikumsalam,” jawab mama sambil menuju pintu. Ketika pintu dibuka tampak Era yang langsung meneringai, “Mak tanga,” serunya sambil memperlihatkan giginya dan mengembangkan tangan ingin memeluk mama.

“Hei, mengapa kalian datang ndak memberi tahu dulu?” tanya ibu sambil tersenyum senang karena tak menyangka adik bungsu beserta istri dan anak-anaknya akan datang.

“Surprise,” balas Ikhsan sambil menyeringai.

“Masuk, masuk,” ajak ibu kepada mereka.

Aku pun langsung keluar kamar karena mendengar suara gaduh di ruang tamu. Padahal aku baru saja merebahkan tubuhku di kasur selepas shalat zuhur tadi. “Haii,” sapaku sambil tersenyum lebar kepada mereka.

Mereka pun membalas dengan, “Haii,” sambil tersenyum senang.

Setelah bersalaman dengan tamu tak terduga itu, aku langsung ke dapur untuk menyiapkan air minum dan cucur sebagai hidangan. Kubawa empat gelas air putih dan sepiring cucur ke ruang tamu.

“Apa ini?” tanya Om Hadi

“Cucur, Om” jawabku singkat

Satu persatu jumlah cucur berkurang di atas piring. Mereka menikmatinya sambil bercengkrama akrab bersama kami. Hampir dua jam lamanya kami berbagi cerita. Pukul 15.30, setelah shalat Ashar mereka berpamitan hendak pulang.

“Kami pulang dululah,” ujar Om Hadi sambil menyalam mama. Kemudian menyalam papa dan aku.

“Cepat kali kalian pulang, tunggu sebentar,” sahut mama. Bergegas mama pergi ke dapur, mengambil plastik makanan lalu dibungkusnya beberapa cucur di dalam tudung saji. Diberinya bungkusan cucur itu kepada Era sambil berkata, “Ra ini oleh-oleh buat De Wulan,”

Era pun menerima bungkusan itu, “Terima kasih, Mak tanga,” sambil tersenyum.

Mereka ke luar pintu, Om Hadi dan Ikhsan menyalakan mesin motor. Era dan Tante Yun pun siap-siap naik ke atas motor untuk dibonceng. Motor mereka mulai melaju. “daaah, Assalamualaikum,” seru Era yang disusul Ikhsan.

“Waalaikumsalam,” jawab kami serentak di depan pintu pagar sambil melambaikan tangan.

Ruang tamu pun kembali sepi. Piring dan gelas kotor kubawa ke dapur. Cucur tak tersisa. Cucur telah menjadi rezeki Era, Ikhsan, Om Hadi, Tante Yun, dan Dira.

Allah Mahakuasa. Rezeki tak meleset.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post