Yoga Adi Pratama, S.Pd.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Horornya Honorer: Hilangnya gairah pedagogik

Pendidikan merupakan sesuatu yang universal dan berlangsung secara terus menerus tidak terputus dari generasi ke generasi. Maksud universal adalah di manapun berada, manusia pasti memerlukan pendidikan karena pendidikan merupakan hak dasar manusia di manapun ia berada. Dalam pelaksanaannya, pendidikan sering dipengaruhi oleh pandangan hidup suatu bangsa. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia tidak akan terlepas dari pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila. Pancasila menjadi dasar pendidikan sebagaimana tertuang secara yuridis dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal2 yang berbunyi: Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Bertemali dengan pernyataan sebelumnya sudah barang tentu Tujuan pendidikan di Indonesia akan seirama dengan pancasila. Tujuan pendidikan yang mulia ini pun di perkokoh oleh filosofis pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Berdasarkan kajian metafisika, kajian epistimologi dan kajian aksiologi, filsafat pendidikan pancasila merujuk pada satu titik, terwujudnya manusia paripurna.

Segudang cita-cita dan filosofis tentang pendidikan di Indonesia ternyata hanya utopis belaka. Semua orang tahu, fakta di lapangan sangat “patojaiah” dengan filosofis yang telah disepakati bersama. Bukti yang paling kongkrit adalah pendidikan Indonesia terkesanberjalan ditempat bahkan cenderung mundur. Hal ini sesuai dengan hasil riset OECD melalui lembaga PISA yang menyatakan Indonesia konsisten berada di peringkat bawah dalam hal literasi matematika, bahasa, dan sains. Dari berbagai masalah, saya fokus menyoroti hilangnya gairah pedagogik pada mahasiswa keguruan khususnya guru sekolah dasar.

Hilangnya gairah pedagogik sudah menjadi penyakit menular pada kalangan mahasiswa keguruan. Hal ini terlihat manakala banyak lulusan PGSD yang justru tidak menjadi guru dan banyaknya mahasiswa keguruan yang dengan bangga memproklamirkan dirinya “Salah Jurusan”. Ini masalah. Paradigma berfikir seperti ini seolah-olah menular antar satu mahasiswa ke mahasiswa lain yang membuat gairah pedagogik memudar. Pola berfikir seperti ini pun akan meng-kerdilkan profesi mulia ini.

Hasil wawancara saya dengan beberapa narasumber yang terjerumus dalam masalah ini menyebutkan bahwasannya faktor fee atau gajih lah yang paling signifikan mengurangi gairah pedagogik sehingga banyak lulusan keguruan yang meninggalkan keguruan. Dan yang paling saya tak habis pikir, saya mendapat info dari narasumber yang bisa dipertanggungjawabkan bahwasannya ada sebagian guru SM3T yang setelah pulang mengabdi di daerah terpencil memutuskan untuk menjadi SPG atau pegawai di swalayan ketimbang menjadi guru untuk mengisi kekosongan waktu menuju PPG. Sebuah fenomena aneh yang makin menguatkan dugaan saya bahwa uang lah yang menjadi faktor dari segala faktor.

Lantas, siapa yang salah? Pemerintah? Jelas, karena upah yang tidak manusiawi dan tidak adanya kejelasan bagi honorer membuat profesi guru makin tenggelam. Tetapi menyalahkan pemerintah sepenuhnya pun bukan cara yang benar dan mungkin tidak akan pernah ada jalan keluar. Menurut saya yang harus diperhatikan adalah proses pendidikan keguruan di pergeruan tinggi,mengapa? Karena di sini kita akan menemukan hal substansial terkait permasalahan di atas.

Menurut Majid & Andayani dalam buku Pendidikan Karakter Perspektif Islam, untuk membentuk sebuah moral atau karakter yang sesungguhnya diperlukan pilar-pilar moral, yaitu moral knowing, moral loving, dan moral doing. Moral knowing artinya pada tahap awal siswa diberitahu apa itu moral sehingga siswa memahami secara komprehensif hal-hal mengenai moral. Selanjutnya moral loving, artinya siswa dibuat untuk jatuh hati pada moral, karena ketika cinta sudah ada, maka kesungguhan untuk melaksanakan akan semakin kuat. Dan yang terakhir adalah moral doing, setelah mengetahui dan mencintai moral maka untuk melaksanakannya bukan hal yang sulit.

Berdasarkan pemaparan di atas, untuk membentuk jiwa pedagogik sejati diperlukan upaya teaching knowing, teaching loving, dan teaching doing. Teaching knowing sudah dilaksanakan dengan sangat baik diperguruan tinggi, dan saya yakin para lulusan keguruan yang murtad pun sudah knowing dengan segala hal tentang guru. Tetapi memahami saja tidak cukup untuk mengangkat gairah pedagogik, dan hal pentingnya disini, teaching loving. Lembaga penyelenggara pendidikan harus paham betul bahwa pilar teaching loving sangat penting untuk dimiliki oleh setiap mahasiswanya, rasa bangga dan cinta terhadap profesi guru harus ditanamkan sejak semester awal dan terus di kawal hingga semester akhir. Di sini poin penting, ketika yang di ajarkan di perguruan tinggi hanya bersifat positivistik yang mengutamakan rasio, padahal menyentuh hati adalah hal esensial yang harus diperhatikan agar menekan jumlah mahasiswa yang murtad dari keguruan. Ketika kita jatuh hati pada seseorang, maka dunia terasa milik berdua, berkorban materi dan tenaga pun bukan sebuah persoalan, bayangkan jika hal tersebut dilakukan pada profesi guru, maka akan banyak kita temui sosok guru yang berintegritas, total, dan loyal, sehingga dapat dipastikan profesi ini akan kembali digandrungi para generasi muda. Teaching loving pun perannya sangat penting, di sini dosen bisa memberikan penguatan tentang bangga jadi guru, dan perlu adanya pengkajian khusus tentang guru dari perspektif agama sehingga lulusan keguruan tidak money oriented. Guru yang sudah melewati ketiga pilar ini akan mampu membangun peradaban intelektual.

Setelah jiwa teaching loving dimiliki setiap mahasiswa dan lulusan keguruan, maka tahap selanjutnya akan jauh lebih mudah, yakni teaching doing. Melaksanakan pembelajaran akan menjadi semakin menggairahkan. Segenap kemampuan pun akan ikhlas dicurahkan total demi tercapainya generasi emas bangsa Indonesia tanpa pikir sana-pikir sini, tanpa pikir ada uang atau tidak.

Bagi mahasiswa yang keukeuh salah jurusan, hemat saya lebih baik mundur, karena akan menambah rentetan jumlah lulusan yang murtad yang tidak mempertanggungjawabkan janji wisuda yang telah diucapkan atas nama Tuhan. Bagi lulusan keguruan yang tetap enggan berprofesi menjadi guru, hidup adalah pilihan dan itu hak, yang terpenting aplikasikan ilmu yang telah didapat selama empat tahun ditempa di perguruan tinggi sekurang-kurangnya untuk anak agar membantu tugas guru di sekolah. Jaya selalu guru, salam sejahtera untuk kita semua.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

"Bagi mahasiswa yang keukeuh salah jurusan, hemat saya lebih baik mundur, karena akan menambah rentetan jumlah lulusan yang murtad yang tidak mempertanggungjawabkan janji wisuda yang telah diucapkan atas nama Tuhan." Waduh ultimatumnya galak banget.

24 Aug
Balas

Iya, ini pendapat saya mas, soalnya guru itu bukan profesi main-main. Harus tegas :D

24 Aug

cukup bagus,.karna dihadapan sang pencipta apapun yg tlh kt prbuat akn ada prtgjwbn..

14 Nov
Balas



search

New Post