Dulu, hal yang paling saya takutkan selain ketinggian adalah pertanyaan, "Apa pekerjaan ayahmu?". Dari kecil saya selalu menghindar. Siapapun yang bertanya pasti saya mengelak. Pernah saya bertanya pada mama, "Ma? Sebenarnya, pekerjaan ayah itu apa sih?" mama bilang, "Wiraswasta". Awalnya saya bingung, tapi makin ke sini saya mulai paham apa maksud mama. Beberapa tahun berlalupun, saat saya mengenyam bangku SMA. Pertanyaan 'itu' masih menghantui. Jawabanku masih sama. 'Wiraswasta'. Sampai tiba saat saya melihat ayah berkerja.

Ternyata selama ini saya sering lupa, betapa luar biasanya keluarga saya. Betapa hebatnya ayah. Beliau mencari nafkah untuk keluarga kami siang-malam tanpa henti. Tak pernah sekalipun saya mendengar ayah mengeluh kepada keluarganya, kepada saya khususnya sebagai anak laki-laki paling besar. Sesekali pernah saya pergoki ayah bersimpuh dalam tangis meminta ampunan untuk anak dan istrinya. Saya tahu ayah tidak pernah meminta untuk hidup seperti ini, namun daripada disesali lebih baik dijalani bukan? Selama ini, ayah tak pernah membebani saya dengan apa pun, ia selalu bilang, "Fokuslah nak pada sekolahmu, biar ini jadi tanggung jawab Ayah, kau tak perlu resah". Saya hanya bisa mengangguk. Sedih.

Sering saya lupa, betapa luar biasanya keluarga ini. Diberkahi Ayah yang kuat dan Ibu yang sabar. Di luar sana mungkin masih ada anak yang sudah tak punya ayah, bahkan ada yang tidak sempat mengenal ayahnya. Sedangkan saya? Merasa malu memiliki ayah yang bekerja secara halal demi menghidupi anak-istrinya. Hina! Betapa jahatnya saya. Mengakui apa pekerjaan ayah saja saya tak mampu. Semenjak saat itu saya tidak pernah lagi menjawab pekerjaan ayahku wiraswasta. Jika ada yang bertanya apa pekerjaan ayah, maka saya jawab dengan bangga bahwa ayah adalah seorang 'Tukang ojek'.