PASAR TERAPUNG
PASAR TERAPUNG
Oleh:Yosi Gumala
Perjalanan hidup tidaklah ada yang mengetahui. Apa dan bagaimana kedepannya adalah sebuah rahasia yang hanya diketahui Sang Pemilik Jagat Raya. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalani apa yang sudah digariskan dalam rahim sang bunda. Ketika takdir membawa nasib pada keadaan yang tidak diinginkan, hanya kekuatan hati untuk bangkit yang utama kita punyai.
Sama halnya dengan Achi yang dulu hidup diperkotaan dengan fasilitas hidup yang mudah didapat. Tidak perlu berlama – lama atau cape kesana kemari, kendaraan berseliweran dijalanan yang siap mengantar kemana saja ia suka untuk hanya sekedar belanja, shoping di mall – mall terkenal. Berwisata kuliner untuk memuaskan selera. Kini semua itu sudah berganti dengan kondisi yang memaksanya harus menyatu dengan alam. Negara telah menugaskannya di daerah yang jauh dari kata modern.
Waktu berlalu masapun berganti. Di desa tempat Achi mengajar perubahan terasa sangat lamban. Bertahun sudah ia disana, belum ada pembangunan infrastruktur atau akses untuk mengenal dunia luar. Namun hari ini Achi sangat gembira mendengar didesanya akan dibuka pasar tradisional di pinggir laut. Cukup jauh memang dari tempat tinggalnya, tapi berita itu merupakan sebuah anugrah, ia membayangkan dapat berbelanja apa yang diinginkan.
Bersama dengan Non sahabat senasib sepenangungan, Achi berangkat ke pasar yang dimulai digelar hari Kamis pukul 15.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Mereka berdua berjalan kaki sejauh 3 kilo meter melewati kebun karet untuk sampai ketujuan. Peluh bercucuran membasahi punggung dan wajah dua guru muda yang akan ikut menikmati sensasi pasar yang buka perdana dihari itu. Sepanjang jalan dua sahabat itu bercerita apa saja untuk sekedar mengisi waktu agar perjalanan tidak terasa jauh.
“ Ya Allah...” dua sahabat itu ternganga begitu sampai dipintu pasar.
Pasar yang mereka bayangkan akan bisa berbelanja dan cuci mata melihat jualan ala pedesaan sudah terendam pasang air laut setinggi betis. Seperti pasar berada diatas laut. Lama mereka terdiam memandangi pembeli yang kebanyakan hanya menggunakan celana pendek, berjalan diantara lapak yang hanya diisi beberapa orang pedagang. Air yang awalnya bening berubah seketika seperti lumpur.
“ Mati gaya kita jadinya, teman.” Ucap Achi sekonyong – konyong.
“ Udah terlanjur kesini, kita hajar aja, yuk !” Non menantang Achi untuk berbaur dengan masyarakat didalam lumpur.
“ Siapa takut.” Jawab Achi menerima tantangan.
Dengan menggulung kaki celana, keduanya berjalan memasuki pasar yang luasnya ± 2.500M² saja. Lapak – lapak dibangun sangat sederhana dengan tiang kayu bakau beratap rumbia. Beberapa puluh meter didepan, berbaris beberapa perahu motor yang dinamakan pompong, kendaraan para pedagang dari desa lain untuk berjualan dipasar ini. Didalam pompong terlihat ebih ramai.
“ Rasanya kita kembali seperti anak – anak, main lumpur dalam parit,” ujar Non dibarengi tawa cekikan mereka berdua.
“ Buk, kalau nak beli - beli, di pompong orang juga jualan.” Kata salah seorang tetangga yang lewat didepan mereka.
Dua sahabat itu spontan memandang pada deretan pompong yang berlabuh ditepi pantai.
“Berarti orang ramai yang dalam pompong itu bukan penumpang, tapi pembeli yang sedang berbelanja.” Non menjelaskan.
“ Kita kesana, yuk. Mencoba sensasi di pasar terapung.” Achi mengajak sahabatnya itu.
Dengan kaki celana yang sudah basah sampai kepaha, mereka terus menerjang air pasang menaiki pompong. Angin yang bertiup membuat pompong berayun – ayun. Keramaian pasar dalam pompong lebih terasa. Bermacam buah – buahan lokal dan impor juga ada dijual. Sembako dan beberapa kebutuhan rumah tangga juga tersedia. Tidaklah terlalu lengkap, tapi cukuplah untuk mengganti selera yang makan dengan menu itu ke itu saja setiap hari.
“ Hai Ci...” sapa salah seorang pedagang dalam pompong.
Achi mengerutkan kening. Rasanya ia tidak mengenal orang itu, tapi suaranya seperti akrab di telinga. Si pedagang mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. Baru lah Achi tau itu adalah teman mereka yang biasa di frekwensi radio Handy Talky. Suasana semakin akrab ketika Non ikut bergabung. Ia sudah lama mengenal teman pedagang tersebut. Suara riuh tertawa mereka memenuhi ruangan pompong, orang yang lalu lalang berbelanja dalam pasar terapung melirik seketika. Sesaat dua sahabat itu mengabaikan sekelilingnya dan lupa kalau pakaian mereka sudah kotor dan basah.
Ada yang menarik dari kegiatan belanja di pasar terapung. Para pedagang tidak menjual kebutuhan harian dan buah – buahan dalam ukuran ons. Pembeli harus membeli paling sedikit sekilo bila barang yang diinginkan belum dibungkus dalam ukuran tertentu. Achi dan sahabatnya mencoba berbelanja dari satu pompong kepompong lain. Keduanya sudah mahir menentukan dimana posisi yang harus diinjak bila berpindah diantara ayunan ombak yang membuai kapal – kapal kecil itu. Bagi yang tidak biasa, mungkin saja akan pusing dan mual. Dengan berpegangan pada tiang atau dinding pompong, keduanya menyelesaikan kegiatan membeli kebutuhan harian lebih dari tiga jam dari satu pompong ke pompong lain.
Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Dua sahabat itu kembali pulang dengan membawa banyak belanjaan untuk stok dua minggu. Dengan menjinjing beberapa kantong kresek mereka berjalan dengan beban yang cukup berat. Belum sampai saru kilo mereka berjalan, rasanya tangan seperti mau patah menenteng barang belanjaan. Non mengambil kayu untuk memikul belanjaan dipundaknya.
“ Buk, sini belanjanya saya bawa.” Ujar seorang bapak – bapak yang tinggalnya tidak jauh dari rumah Achi.
“ Alhamdulillaaah.” Kedua sahabat itu mengucap syukur.
Dengan senang hati mereka menyatukan belanjaan dalam satu kantong dan memberikan pada bapak yang menaiki sepeda kago yang sudah karatan. Rasa kekeluargaan yang masih dirasakan dipedesaan membuat beban berat akan terasa ringan. Dengan langkah yang lebih cepat mereka menyusuri kebun karet untuk sampai dirumah sebelum matahari tenggelam bersama beberapa orang yang sama – sama kembali dari pasar terapung. Sebuah pengalaman hidup telah didapatkan hari ini yang tidak akan pernah didapatkan ditempat lain.
Lembah Harau, 22 Maret 2021
#tantangangurusiana
Menulis hari ke-332
33 hari 365
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Pengalaman pribadi ya..
Iya suhu
Nice story Buk Yosi. Barakallah
Cerita yang keren, sangat menarik. Sukses selalu buat sahabat tersayang.
Cerita yang keren, sangat menarik. Sukses selalu buat sahabat tersayang.
Cerita yang keren, sangat menarik. Sukses selalu buat sahabat tersayang.
Cerpennya keren bunda. Salam literasi
Terimakasih bunda Siti.Salam literasi dari Lembah Harau
Mantap bunda ceritanya salam literasi
Terimakasih bunda Laily.salam.literasi
Daerah mana bun ada pasar terapung nya? Sukses selalu bunda