MITOS KEMAMPUAN BERPIKIR
Oleh : Yudha Aditya Fiandra, S.Pd., M.Kom
Kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berpikir kreatif seringkali dikelompokan terpisah, seakan orang yang tajam dan kritis tidak bisa berpikir kreatif, orang yang kuat dalam hal logika lemah dalam kemampuan yang berkaitan dengan seni.
Ini tentu masih menjadi perdebatan diantara para ahli yang fokus pada penelitian mengenai cara kerja otak. Para ahli pun kadang terbagi menjadi dua kelompok, satu mengatakan bahwa otak terbagi atas dua bagian dengan fungsi berbeda, satu lagi mengatakan bahwa semua otak berfungsi sama.
Kelompok ahli yang mengatakan bahwa fungsi otak terbagi dua, mengelompokan kemampuan ilmu logika, analisis, strategi, hitung-hitungan dan berpikir kritis, merupakan fungsi otak bagian kiri. Sedangkan kemampuan dalam hal seni, musik, imajinasi, perasaan dan berpikir kreatif adalah bidang kerja otak kanan.
Berbeda dengan teori yang dikemukakan kelompok ahli yang mengatakan bahwa fungsi otak kiri dan kanan adalah sama, mereka cenderung tidak percaya bahwa manusia hanya menggunakan sebelah dari otak saja untuk berpikir.
Kepercayaan kita bahwa selama ini otak terbagi menjadi dua fungsi bagian, kanan dan kiri, logic dan art, kritis dan kreatif, seakan menimbulkan batas antara keduanya, seakan orang yang kreatif tidak bisa kritis, maupun sebaliknya. Antara dua kelompok ahli, satu mengatakan otak terbagi dua fungsi, satu lagi mengatakan otak keseluruhan mempunyai fungsi yang sama, mana yang lebih Anda percaya? Saya pribadi tidak terlalu ambil pusing dengan pembagian tadi, hanya satu yang ingin saya tekankan, menjustifikasi bahwa orang yang hebat dalam kemampuan analisis tidak mungkin menguasai bidang seni ataupun sebaliknya, sangatlah tidak bijak.
Muara dari segala macam justifikasi tadi akan berdampak pada mitos kemampuan berpikir. Berikut mitos-mitos lain tentang kemampuan berpikir yang sering saya temui dalam anggapan beberapa orang.
Mitos pertama, orang yang tinggi tingkat pendidikannya, kreativitasnya rendah.
Ini semacam dalih untuk membenarkan anggapan beberapa orang bahwa sekolah itu tidak penting. Sekolah memang tidak mengajarkan cara untuk menjadi kreatif dengan spesifik, tetapi kreatif adalah proses lanjutan dari berpikir kritis, berpikir kritis hadir dalam proses belajar di sekolah. Memang tidak ada jaminan seorang yang pernah sekolah atau kuliah menjadi seorang yang kritis dan kreatif. Namun bukan berarti kita mengatakan sekolah tidak penting, karena sekolah hadir untuk menjadikan siswanya mampu berpikir kritis dan kreatif, tercapai atau tidaknya fungsi sekolah bukanlah salah sekolahnya, banyak faktor, salah satunya orang yang bersekolah itu sendiri. Orang yang pernah bersekolah memang terbukti ia pernah menuntut ilmu, akan tetapi belum tentu membuktikan ia pernah berpikir.
Adapun orang-orang yang sukses menjadi seorang yang kreatif tanpa perlu sekolah, memang ada. Namun sekali lagi, tidak ada hubungan antara pendidikan yang tinggi dengan kreativitas yang lemah, seseorang dengan pendidikan yang tinggi tidak menutup kemungkinan bisa menjadi kreatif dan seseorang yang tidak pernah bersekolah tidak ada jaminan untuk otomatis menjadi seorang yang kreatif.
Mitos kedua, orang yang berpikir kritis akan selalu sinis terhadap orang lain.
Kritis dan sinis tidaklah sama, perbedaannya jauh. Kritis hadir dalam bentuk menguji argumen lama dengan argumen baru untuk mengetahui mana yang mendekati kebenaran, sinis hadir hanya untuk sekedar mematahkan argumen yang ada, tidak mencari kebenaran apapun. Orang yang kritis memang berangkat dari sikap skeptis, mempertanyakan, meragukan, lalu mencoba menjawab keraguan tersebut dengan ide dan sudut pandang lain. Sinis terkurung dalam sikap skeptis, tidak mencoba keluar dari kurungannya, dan cederung menegasikan segalanya.
Mitos ketiga, orang yang pintar tidak bisa bergaul dengan baik.
Ini juga merupakan mitos yang keliru. Tidak selamanya kepintaran membuat seseorang tidak bisa bergaul, mungkin hanya kelas pergaulannya saja yang berbeda. Orang pintar tentu memilih pergaulan yang senantiasa mengembangkan dirinya, cenderung selektif dan hati-hati dalam bergaul. Resep kepintaran mereka mungkin saja berasal dari lingkup pergaulan itu sendiri, bergaul dengan orang-orang yang positif. Namun orang-orang negatif yang tidak bisa bergaul dengan orang positif tadi, bisa jadi merekalah yang menjadi penyebar mitos bahwa orang pintar tidak bisa bergaul dengan baik.
Yudha Aditya Fiandra | Gurusiana.id | 8 November 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren...kritis terhadap kesenjangan persepsi tentang berpikir kritis dengan berpikir kreatif Salam literasi...semoga selalu mencerahkan melalui tulisan-tulisan kritisnya...
Paparan yang luar biasa mas Yudha, sangat bergizi. Salam kenal n selamat berkarya.
Terimakasih Pak Agus telah memberi tanggapan. Salam kenal Pak Agus.
Mantap
makasih Mbak Faidah