“Andi, sepertinya kamu salah. Data panjang timunnya tidak begitu deh,” tegur Rahman.

“Nggak kok. Ini sudah benar, tahu.” Andi tidak mau disalahkan.

“Itu kamu salah ukurnya. Bukan melintang, tapi membujur,” kata Rahman mengoreksi.

“Saya sudah tahu, Rahman. Saya tidak mau dengar lagi,” cetus Andi.

“Lagian saya punya cara sendiri. Saya tidak mau dengar lagi dari siapa pun.” Andi membuat pernyataan.

“Hei, ada apa ini, Anak-anak.” Pak guru menghampiri mereka.

“Ini Pak Guru, Andi tidak mau mendengar cara mengukur panjang buah timun. Padahal sudah saya beri tahu,” lapor Rahman dengan kesal.

“Menurut kamu, bagaimana mengukurnya, Man?” selidik pak guru.

“Ini loh. Mengukurnya membujur bukan melintang.” Rahman menerangkan.

“Arahan temanmu, benar nih, Andi,” kata pak guru.

“Tapi, Pak. Saya mau mengukur besar bukan panjang,” protes Andi tak mau kalah.

“Coba lihat di LKS-mu. Diminta mengukur apa?” Pak guru mengarahkan pada LKS.

“Iya, Pak Guru. Membujur untuk mengukur panjang.” Andi berkata pelan.

“Nah. Itu sudah ada informasinya, kan.” Pak guru menunjuk informasinya.

“Dengar, Nak. Jangan suka membantah dulu. Jangan keras seperti batu. Padahal batu pun bisa dilubangi oleh tetesan air yang jatuh satu per satu.” Pak guru memberi nasihat pada keduanya.

“Saran Pak Guru, coba dengar dulu. Tangkap saran temanmu. Bisa jadi berguna, ya.” Pak guru meminta perhatian Andi.

“Lunakkan hatimu. Belajar memahami orang lain. Sarannya jangan diremehkan, ya.” Sekali lagi pak guru memberi nasihat.