Yudha Kurniawan

Salah satu editor mediaguru. Senang eksplorasi wilayah baru. Menjadi tenaga volunteer di beberapa wilayah baru, Indonesia dan CLC Etania Sabah Malaysia. Menjadi...

Selengkapnya
Navigasi Web

Puisi Multatuli

Aku tak tahu di mana aku kan mati

Aku melihat samudera luas di pantai selatan ketika datang ke sana

dengan ayahku, untuk membuat garam;

Bila ku mati di tengah lautan, dan tubuhku di lempar ke air dalam,

ikan hiu berebutan datang;

Berenang mengelilingi mayatku,

dan bertanya: “siapa antara kita akan melulur tubuh yang turun nun di dalam air?”

Aku tak akan mendengarnya.

Aku tak tahu di mana aku kan mati.

Kulihat terbakar rumah Pak Ansu, dibakarnya sendiri karena

ia mata gelap;

Bila ku mati dalam rumah sedang terbakar, kepingan-kepingan

kayu berpijar jatuh menimpa mayatku;

Dan di luar rumah orang-orang berteriak melemparkan

air pemadam api, –

Aku takkan mendengarnya.

Aku tak tahu di mana aku kan mati.

Kulihat Si Unah kecil jatuh dari pohon kelapa, waktu memetik

kelapa untuk ibunya;

Bila aku jatuh dari pohon kelapa, mayatku terkapar di kakinya,

di dalam semak, seperti Si Unah;

Maka ibuku tidak kan menangis, sebab ia sudah tiada. Tapi

orang lain akan berseru: “Lihat Saijah di sana!”

dengan suara keras; –

Aku takkan mendengarnya.

Aku tak tahu di mana aku kan mati.

Kulihat mayat Pak Lisu, yang mati karena tuanya, sebab

rambutnya sudah putih;

Bila aku mati karena tua, berambut putih, perempuan meratap

sekeliling mayatku;

Dan mereka akan menangis keras-keras, seperti perempuan-

perempuan menangisi mayat Pak Lisu; dan juga cucu-cucunya

akan menangis, keras sekali; –

Aku takkan mendengarnya

Aku tak tahu di mana aku kan mati.

Banyak orang mati kulihat di Badur. Mereka dikafani, dan

ditanam di dalam tanah;

Bila aku mati di Badur, dan aku ditanam di luar desa, arah

ke timur di kaki bukit dengan rumputnya yang tinggi;

Maka Adinda akan lewat di sana, tepi sarungnya perlahan

mengingsut mendesir rumput,…

Aku akan mendengarnya.

(Sajak ini ada di hlm. 283-284, tak memiliki judul. Juga hadir di sampul belakang buku, tentu dengan pemenggalan kalimat yang berbeda. Di roman ini, sajak dibuat oleh Saijah).

Masih ingat Multatuli dalam Maxhavelar? Tulisan fenomenal orang asing tentang potret di tanah jajahan. Cerita Saijah dan Adinda. Cerita tentang perjalanan hidup. Pendidikan tentang perjuangan yang masih tetap hangat disampaikan kepada anak-anak agar memiliki semangat berjuang. Setidaknya kesan itu yang didapat saat menuntaskan novel ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post