Siapa tamu yang baru saja datang? Ia duduk dengan sopan sambil memperkenalkan diri. Ia mengatakan, bahwa dirinya bernama Iman alias Kasiman. Orangtuanya telah memberinya nama seperti itu. Apa makna nama itu? Kasiman mencoba meraba-raba. Ia mencari makna yang tersurat dan tersirat pada namanya. Pertama, ia lakukan pada sebuah buku yang membahas nama-nama bagus dan cantik untuk anak anda. Di situ tak dijumpai sama sekali nama Kasiman. Kedua, ia mencarinya di buku kamus bahasa Banyumasan. Tak ada juga. Ketiga, pada kamus bahasa Indonesia KBBI tidak ada juga.

Tidak berhenti sampai di situ. Apa arti namanya? Susah payah ia pinjam uang kepada teman untuk membeli pulsa kuota internet. Ada yang berbaik hati meminjamkan uang sebesar seratus ribu rupiah. Ia segera bergegas menuju konter yang menjual kuota internet Telkomsel. ia mencoba searching di Google. Iman mulai mencari arti namanya.

Usia Iman masih sangat muda. Ia mengaku bukan anak sekolahan. Tamat SD ia melanjutkan ke sebuah pondok pesantren. Ia ikut penyetaraan kejar Paket B kemudian kejar Paket C. Ia bersyukur mendapat kesempatan menyelesaikan jenjang pendidikan kesetaraan sampai setingkat SMA. Ia dapat sekolah setinggi itu berkat dorongan dan motivasi gurunya di pesantren.

Cita-citanya menggelora ingin menjadi penulis besar. Sebesar apa yang ia maksudkan? Barangkali sebesar Hemingwaykah? Pak kyai mendorongnya untuk terus saja menulis. Jangan berpikir besar atau kecil. Teruslah menulis terus. Tirulah orang yang produktif menulis seperti Buya Hamka. Iman tertatih-tatih menjalani nasihat gurunya. Ia seperti tak sanggup.

Ia tak sanggup mewujudkan mimpi konyolnya, menjadi penulis besar. Sedangkan menjadi penulis kecil saja ia tak sanggup. Ia merasa tidak tahu apa-apa. Ia tidak ada apa-apanya. Begitu ia merasakan betapa tiada berarti dirinya. Ia tidak ingin berandai-andai ingin jadi ini atau jadi itu. Angan-angan kosong bukanlah sebuah cita-cita. Ia menyadari, bintang-bintang di langit bukanlah tempat yang nyaman untuk menggantungkan cita-citanya.

Mimpinya setinggi bintang. Ia terbangun dari mimpi untuk menatap langit luas. Masih ada rembulan di sana. Purnama dengan cahayanya yang sejuk-lembut. Tak terasa ada air hangat meleleh di pipinya. Ia tak sanggup. Benar-benar tak sanggup. Biar aku memilih jalan lain, bisiknya. Bagaimana mungkin ia dapat mewujudkan mimpinya? Ia hanya sosok kumal bernama Kasiman. Tidur di atas lantai beralaskan karpet kumal. Ia hanya punya balpoin dan buku tulis sidu seharga tiga ribu. Buku tulis untuk menulis ucapan-ucapan gurunya. Pelajaran ilmu agama yang berasal dari gurunya.

“Aku tak sanggup,” bisiknya lirih.

Tiga tahun telah berlalu sejak Kasiman mengubur mimpinya, ia datang kepadaku dengan membawa sebuah buku kumpulan cerpen “Santri dan Pangeran Ganteng”. Buku keren yang sudah ber-ISBN.

“Ternyata kau sanggup, Iman?” aku menepuk pundaknya.

Ia hanya tersenyum. Senyum percaya diri seorang Kasiman. Senyum untuk gurunya yang tulus. Senyum kemenangan Kasiman. Senyum Kasiman yang sudah imun. Ia, Kasiman yang tidak lagi memerlukan belas kasiman, eh kasihan. Ia sudah sanggup menghadapi orang-orang yang meledeknya dengan kata-kata paling menyakitkan.

Purbalingga, 1 Juli 2018