KESETIAAN IBU
KESETIAAN IBU
Bagian ke-1
“Nimas! Sejak kapan aku suka kopi pahit? Dasar nggak becus!” suara Ayah menggelegar dari beranda depan. Bunyi sendok yang beradu paksa dengan cangkir terdengar jelas. Bahkan gesekan kaki kursi dan tembok pun menghasilkan irama yang tidak enak di gendang telinga. Awal pagi yang tidak mengenakan.
Seperti biasa, Ibu tergopoh-gopoh menemui Ayah. Sapu tangan tersampir di pundaknya, beliau tadi sedang membersihkan meja makan. Perempuan yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, terlihat lebih tua dibandingkan kawan seusianya. Tidak jarang orang yang berumur lima tahun di atasnya, memanggil beliau dengan sebutan uni. Beban hidup hampir-hampir tak sanggup dipikulnya. Namun senyum dan tatap Ibu sangat menyejukkan.
“Maaf Bang, tadi gula tinggal sedikit, makanya terasa kurang manis,” Nimas memberikan alasannya, berharap suaminya memaklumi dan mengurangi kemarahan yang bergumpal dalam tatapannya. Nimas menundukkan Wajah, tidak berani menatap mata sang suami. Ia selalu ingat pesan seorang ustadzah bahwa salah satu pantangan laki-laki itu adalah menatap matanya. Apalagi kalau ia sedang marah, bisa berjilid-jilid murkanya.
“Kau nggak ngerti, kalau gula habis, ya dibeli!”ceracau Ayah lebih garang lagi. Nimas terpaku di tempatnya. Bayangan uang yang tinggal hanya seribu dalam dompetnya menar-nari menampakkan angka nol tiga buah dan angka satu berkacak pinggang di depannya. Mana mungkin ia bisa ia membeli gula dengan uang seribu.
“Bang, uangku hanya tinggal seribu, nggak cukup membeli pemanis itu,” takut-takut Nimas memberi tahu junjungannya.
“Nggak bisa ngutang, ha? Pandir itu jangan dipelihara!” kata Ayah sambil berdiri. Jika saja isterinya itu tidak segera pergi, air yang masih menyisakan asap itu bisa-bisa ditumpahkan di mukanya.
Di depan pintu kamar, Dina anak tertua Nimas berdiri nanar dengan kemarahan. Napasnya naik turun, seluruh selnya beriak penuh kebencian. Semenjak ia mengenal orang tuanya, ia telah dsuguhi pemandangan yang sama, Ayah yang berbuat semena-mena.
Laki-laki yang dipanggilnya Ayah, hanya bisa mengandalkan statusnya sebagai suami. Jangan tanya kewajiban yang dijalankan dengan status yang melekat pada dirinya. Nafkah? Ibu yang pontang-panting menghidupi keluarga ini. Dari semasa gadis ibu telah belajar menjahit dengan uwo, perempuan yang telah melahirkan ibu. Dengan bekal keterampilan itu, Ibu mengumpulkan rupiah agar dapur tetap ngepul. Membayar uang sekolah Dina, membeli beras satu-dua gantang ke rumak Mak Timah tetangga mereka. Membiayai adik Dina yang umur mereka tepaut lima belas tahun. Dari bayi, adiknya tidak bisa menyusu dengan ibu, karena itu ia hanya mengonsumsi susu instan. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan ibu. Sedang ayah? Laki-laki tersebut tak tahu tanggung jawab, bangun setelah matahari naik sepenggalan. Duduk berleha-leha di beranda sambil menunggu suguhan dari ibu. Kopi dan cemilan yang ibu buat sendiri atau dibeli di kedai yang persis berhadapan dengan rumah mereka di seberang jalan.
Kalau saja tidak teringat perasaan ibu, mau rasanya Dina melabrak Ayah agar jangan bersikap sepeti tuan tanah juga kepada ibu. Ketidaksukaanya kepada Ayah sudah sangat akut. Kebahagiaannya bisa beterbangan tak tentu arahnya, jika sudah mendengar suara Ayah. Apalagi sedang menyuruh ibu ini-itu padahal ibu sedang bekerja.
Dina menelan ludah yang tak berasa apapun. Matanya masih mengawasi Ayah dari balaik kaca jendela yang sudah semakin buram. Dari jauh, Dina memandang ibu yang berjalan cepat menuju rumah. Di tangan ibu ada kantong kresek , mungkin berisi gula. Tiada sedikit pun di wajah perempuan yang lembut itu menyimpan kesal. Bahkan beberapa kali tersenyum kepada tetangga yang menyapanya ketika pulang dari kedai.
“Ibu ngutang lagi?” tanya Dina tanpa menekan suaranya. Ibu memandang keluar, was-was jika Ayah mendengar pertanyaan anak gadisnya dengan intonasi sangat kesal. Perempuan itu tidak ingin keributan di rumah ini antara Ayah dan anak gadisnya. Ayah tidak akan segan-segan mengayunkan tangannya ke tubuh putri satu-satunya itu.
“Ibu tidak punya uang, Din, Ayah tidak akan minum jika kopi jika tidak berasa gulanya,” Ibu menghindari soot mata Dina yang menatapnya tajam. Wanita menjelang setenga abad itu paham bahwa anak gadisnya sangat benci dengan kelakuan ayahnya sendiri.
“Bu, sampai kapan seperti ini, mengapa ibu selalu menuruti Ayah? Karena sikap Ibu yang terlalu patuh pada Ayah, beliau berbuat seperti itu. Menikmati harinya tanpa beban dan rasa tanggung jawab. Ibu tahu kenapa? sebab ada Ibu yang akan memikul beban yang berkwintal-kwintal itu.” Dina berkata sambil menahan air matanya yang telah sebak. Dina menggigit bibir, luapan emosi yang telah ditahannya bobol seketika. Suaranya parau. Dina memegang daun pintu, kakinya seakan tak bertenaga.
Ibu menatap Dina dengan pandangan sayu. Namun arti dan signal pandangannya menembus ke relung jiwa. Dina mengalihkan pandangan dari mata Ibu. Tangan Dina masih berpegangan di daun pintu yang telah mulai lapuk digeranyang waktu.
“Dina, kita tidak ditanya tentang perbuatan orang lain, tetapi Ar-Rahman akan bertanya apa yang kitalakukan. Jangan pikirkan segala perlakuan Ayahmu kepada kita, tetapi berpikirlah apa yang kita lakukan terhadap beliau. Seburuk apa pun Ayahmu, ia tetap kepala di keluarga ini. Tidak ada pengecualian untuk berbakti kepada Ayah,” jelas ibu panjang lebar. Dina tercenung, ia semakin tidak paham dengan belantara pikiran perempuan yang telah berjuang untuk denyut dalam kehidupan ini.
“Nimas, kok masih belum kelar juga? Aku sudah membatu menunggu!” suara Ayah dari beranda semakin meremas-remas perasan Dina. Gadis itu berjalan ke kamar mandi, ia ingin mengguyur badannya biar terasa sedikit segar.
Langkah ibu terdengar tergesa, sepertinya ibu tidak akan menunggu panggilan Ayah untuk kesekian kalinya. Kadang Ibu juga merasa malu dengan tetangga. Setiap sebentar ada saja yang akan diumpati Ayah.
“Nimas, apa kata anak gadismu?” tanya Ayah sambil menyeduh kopinya. Matanya lurus mengamati hidangan pagi yang aomana menguar dari gorengan itu. Sepertina sangat lezat. Sepiring pisang goreng yang ditaburu kelapa dan sedikit garam.
“Ah, nggak, emang Abang mendengar apa?” balas Nimas balik bertanya.
“Masih dibawah asuhan kita, sudah mulai pandai melawan kepada orang tua. Kau lihat anakmu itu, keras hati. Sudah beberapa hari ini, ia selalu diam dan menghindar dariku,” Suara Ayah menyimpan kesal.
“Biasa itu Bang, anak masih labil. Ia hanya tahu kekurangan orang tuanya. Kelak ia akan paham, bagaimana kita telah berjuang untuk kehidupannya,” jawab Nimas tanpa berniat menyindir. Ayah sedikit tersedak, ia merasa tertusuk dengan ucapan isterinya.
“Kau tunjuk ajarilah dia, bagaimana bersikap kepada orang tua,” lanjut Ayah. Laki-laki itu memainkan telunjuknya sambil mengayun-ayunkan di depan hidung isterinya. Nimas terdiam, itulah cara paling tepat menghadapi laki-laki ini. Bertahun-tahun warna hidupnya tetap sama, kelabu, dengan sikap suami yang sangat tidak layak dikatakan sebagai pemimpin.
“Insya Allah, Bang. Namun Abang doakan juga Dina, biar lebih lembut hatinya.” Nimas berucap serius. Nimas mengangsurkan ke mulutnya kopi yang kata Ayah tidak berasa gula.
“Berdoa? Kau menyindirku? Kau tahukan Aku sudah lama tidak shalat.Kau saja lah yang berdoa untuknya. Kau yang rajin shalat, hampir tap malam Kau hilang dari ranjang kita sejak berpuluh tahun yang lalu. Apa doa yang selama itu tidak cukup?” Ayah berujar sambil menatap isterinya . Mencoba memojokkan perempuan yang telah bertahun-tahun mengindahkan ajaran Tuhan, tapi penghidupan tidak sedikit pun berubah.
“Bang, berdoa itu juga ibadah, tidak ada batasnya. Nabi Nuh lebih sembilan ratus tahun berdoa dan mengajak anaknya ke jalan yang lurus, ia tiada pernah bosan sampai Allah yang mengingatkan bahwa putranya bukan anaknya lagi, saat air bah sudah hampir menenggelamkan darah daginya yang disayangnya. Lalu, baru berapa lama kita menengadahkan tangan bermohon kepada-Nya? Tanya Nimas sambil memberi penjelasan kepada suaminya dengan sepenuh hati.
“Alaahhhh,Kau kalau bicara suka ngelantur kemana-mana. Masa nyeret-nyeret nama Nabi. Aku hanya nyuruh kau mengajarin anakmu agar berkata dan bersikap sopan kepada orang tua!” balas suami Nimas tidak mau kalah. Bahkan ia sudah mengubah posisi duduknya sebagai pertanda ia tidak suka dengan ucapan isterinya.
Nmas memilih tidak mengomentari agar suaminya tidak bertambah naik darah. Laki-laki itu tidak akan segan unuk menggebrak meja atau menendang kursi yang sudah tampak reot. Mata Nimas memandang ke dalam rumah, netra tuanya menangkap kemarahan yang menyala dari Dina, darah dagingnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar