yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-10)

KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-10)

KESETIAAN IBU

Bagian ke-10

Fidel membelokkan mobil ke arah rumah sakit terbesar di kotanya. Kendaraan pengantar pasien dan milik nakes telah berjejer di sepanjang halaman bangunan yang di cat serba putih itu. Agak susah mencari tempat parkir. Walau hari masih menjelang siang, orang-orang telah banyak berurusan di tempat ini. Kekhawatiran sangat jelas diceritakan oleh wajah-wajah mereka. Sekalipun pohon pelindung ada di banyak titik, tapi aura panas tetap memancar dari setiap pojok bangunan kokoh yang sudah dirancang dengan gaya modern itu.

Fidel menurunkan kecepatan, matanya mencari-cari penunjuk arah agar ia bisa langsung menuju UGD. Sayang tidak satu pun penanda yang memberikan petunjuk. Berbekal nalar saja, Fidel membawa kendaraan itu ke bagian depan rumah sakit. Biasanya letak ruang UGD adalah tempat yang paling mudah dijangkau.

Mobil berhenti persis di depan ruangan yang petugasnya tampak paling sibuk. Bukan hanya petugas, melainkan semua orang yang berurusan di sana, berjibaku dengan masalahnya masing-masing. Pasien yang di dorong dengan kursi roda, pendamping pasien yang bejalan bolak balik tidak sabar, serta kerumunan pengantar koban kecelakaan yang menangis meraung. Semuanya mengesankan bahwa uang UGD tempat segala kesedihan dan harapan saling besinggungan. Bau khas rumah sakit pun menambah hilangnya kenyamanan.

Fidel begegas turun membuka pintu mobil dan berlari memberi tahu petugas tentang keadaan pasien yang dibawanya. Dua orang Petugas tampak begegas membawa brankar dorong. Mereka dengan cekatan mengangkat Nimas yang tampak tak berdaya dan memindahkan ke iatas ranjang dorong itu.

Fidel menatap Nimas sesaat, ia memejamkan matanya menahan segala rasa yang mencubit-cubit jantungnya. Terasa tertukar antara bilik dan serambi di organ utama penyambung kehidupan itu. Detaknya seakan menyanyikan kepiluan yang tak bisa dikisahkan. Hatinya pun ikut perih melihat keadaan wanita empat puluh tahun itu.Segala laranya telah diceritakan oleh kerutan di wajahnya. Tiada sanggup Fidel menatapnya lebih lama.

Bu Haji dan Dina begegas mengikuti ke dalam ruangan. Di pintu masuk, ia dihadang oleh dua orang nakes. Salah satu dari mereka yang suara melengking itu menegur dengan bahasa yang sangat tidak nyaman di telinga Dina.

“Hey, ke dalam ruangan ini nggak bisa rame-rame. Ini bukan tontonan, bukan bioskop. Ini tempat perawatan orang yang butuh pertolongan cepat. Silahkan menunggu di luar!” kata petugas itu melotot.

“Bu, itu ibu saya, ibu kandung, saya tidak mau lepas sedetik pun beralih dari memandangnya. Ibu sangat membutuhkan saya, tolong jangan halangi saya,” jawab Dina memelas.

“Tidak bisa, ini peraturan! Jika kamu tidak mau dilarang, kau rawat sendiri ibumu di rumah!” balas nakes tidak mau kalah. Dina membeliak, tangannya mengepal. Kesedihan dan kemarahan bekolaborasi menghasilkan gelombang marah di dadanya.

“Bu, apakah ibu menjamin ibu saya baik-baik saja? apakah ibu tahu bahwa ibu saya sangat membutuhkan saya? “ Dina bekata sambil menangis. Ia tidak memedulikan lagi larangan perempuan berseragam serba putih itu. Dina berlari ke tempat perawatan ibunya yang tengah dikerubungi bebeapa petugas dan dokter jaga.

Dokter memprioritaskan Nimas untuk ditangani segera. Bebagai peralatan digunakan dokte dalam memeriksanya. Beberapa orang perawat yang berada di dekat dokter itu tampak selalu siaga mengerjakan dan mengambil apa yang disuruh oleh dokter yang terlihat sangat tegas dan ramah.

Di luar ruangan Fidel duduk sambil memainkan benda pipih dengan layar menyerupai persegi panjang itu. Bekali-kali ia mengonta- ganti aplikasi, tiada yang dapat menarik pehatiannya. Bahkan status Meyllinda, isterinya sendiri tiada ingin ia komentari.

Andai bisa masa itu diputar, ia ingin kembali ke saat itu, ketika Nimas kembang desa yang sangat ia gilai, tersenyum malu-malu manakala Fidel menyapanya dari balik batang akasia, dekat rumah Pak jorong. Ia dengan setia menunggu Nimas pulang sekolah dan duduk di pokok kayu itu. Hanya sekedar menyapa, tidak lebih dari itu. Melihat lesung di pipinya, sudah cukup membuat Fidel jingkrak-jingkrak dan berlari ke rumah temannya si Atang. Kadang ia melebih-lebihkan cerita kepada si Atang, hingga pemuda yang sudah di antuk-antukan nasib itu menelan ludah.

“Tiiitttt,” bunyi Klakson Fortuner membuat Fidel tersentak. Semua keping kenangan yang coba ia kumpulkan tentang Nimas menjadi ambyar. Ia tergagap, salah tingkah dan segera meninggalkan jalur keluar masuk UGD sambi menggaruk kepalanya yang tiba-tiba merasa gatal.

Beberapa orang turun dari mobil Fortuner, wajah mereka terlihat tegang. Salah seorang dari mereka menggendong anak yang belumuran darah, ia membopong berlari ke dalam UGD. Penganta yang lainnya tetahan di pintu, hanya satu orang yang dibolehkan masuk, demi kenyamanan pasien, kata petugas.

Nimas telah mulai sadar, ia menggerrakan kepala ke kiri dan kanan. Ia mendapatkan wajah Bu Haji dan anaknya Dina.

“Bu Haji, kita di mana?” tanya Nimas lemah.

“Rumah sakit, kau tadi pingsan Nimas,”Bu Haji menjawab lembut. Tangan Bu Haji membelai kepala Nimas dengan segenap rasa sayangnya. Dokter dan petugas telah beralih kepasien lain.

“Bu, maafkan Dina,” kata Dina sesenggukan. Dina mencium ibunya, lama sekali. Seakan-akan itu adalah kesempatannya yag teakhi r bisa berdekatan dengan perempuan yang berlimpah kasih sayang.

“Ibu tidak apa-apa Nak,” jawab Nimas sambil mengumpulkan tenaganya agar bisa merangkai senyum. Berharap kecemasan anaknya bisa terurai. Ia tidak ingin sedikit pun ada kabut menyelimuti hati sang buah hati.

“Dina, tadi ayah belum makan, siapa yang akan mengambilkan beliau nasi?” kata Nimas menatap Dina. Gadis itu tersedak, ia menyembunyikan raut kebencian yang seolah berelasi saja jika disebutkan nama ayah. Ia menghembuskan napas perlahan, sepanjang hidupnya ibu hanya memikirkan laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu.

“Ibu,ibuuuu!” pekik keras anak yang berlumuran darah itu, mengalihkan pandangan Dina ke pintu UGD. Gadis itu terkesiap, pandangannya mendapatkan Pak Jorong sedang menggendong anak beusia sekitar tiga tahun. Darahnya berdesir, baju yang dikenakkan oleh bocah itu serupa dengan baju Doni ,adiknya (Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

06 Mar
Balas

Makasih, Pak

06 Mar
Balas



search

New Post